Raya menguap dengan kerasnya saat ponsel berwarna hitam berdering. Ada nama Devan muncul di layar.
"Halo, ini masih terlalu pagi untuk menelepon orang tahu! Nggak sopan sekali sih." Raya mengucek mata, melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam!
"Maaf, Ray. Saking senangnya ingin pergi ke nge-date sama kamu, aku malah tak bisa tidur," celetuk orang di seberang telepon.
"Nge-date? Kita hanya akan pergi cari jajanan di pasar, Dev. Ini bukan termasuk kencan. Jangan berpikiran ngelantur dong," pungkas Raya kembali merapatkan selimutnya akibat cuaca yang dingin.
"Iya, sama saja. Intinya 'kan kita pergi berdua," ucap Devan tak mau kalah.
Raya hanya bisa pasrah. "Terserah kamu deh. Aku mau tidur dulu. Ngantuk."
"Tunggu, Ray," cegah Devan. "Kumohon jangan ditutup teleponnya. Aku ... kesepian."
Malam ini setelah mengerjakan tugas sekolah, Devan tak juga bisa tertidur lelap. Tiap dia memejamkan mata hanya bayangan Raya saja yang ada dalam benaknya.
Dia tak bisa melupakan kejadian siang tadi saat menemani Raya mengerjakan laporannya. Mata sendu menyiratkan rasa kecemasan yang membuat Devan ingin selalu melindungi wanita itu. Baru kali ini dia menemukan wanita seperti Raya, kuat di luar tapi sesungguhnya rapuh di dalam. Begitulah gambaran seorang Raya baginya.
"Baiklah. Kamu ingin kita ngobrol apa?" Sekali lagi Raya menguap menahan rasa kantuk.
"Apa saja, yang terpenting aku bisa mendengarkan suaramu," goda Devan di tengah malam yang tak mendapatkan respon dari Raya.
Antara mengantuk atau memang Raya sudah terbisa menerima godaan dari Devan membuat perkataan muridnya tadi yang jujur apa adanya tanpa filter sama sekali ditanggapi biasa oleh Raya.
"Aku mau cerita, Ray." Sebenarnya ini hanya siasat Devan saja agar dia bisa mengobrol dengan Raya sepuasnya.
"Iya, cerita saja." Untuk ketiga kalinya, wanita itu menguap.
"Jadi tadi siang, temanku dulu satu sekolah di Singapura tiba-tiba menelepon. Katanya ingin memberikanku kejutan. Karena penasaran aku tanya dong. Tapi dia merahasiakannya. Menurutmu kejutan darinya itu apa, ya?" Terdengar suara dengkuran halus dari seberang telepon. "Ray, kamu masih mendengarkan aku 'kan?"
Tidak ada jawaban.
Fix. Raya sudah tertidur nyenyak sekarang. Dan anehnya Devan membiarkan saja teleponnya tanpa dimatikan. Dia malah senang mendengar suara dengkuran Raya. Rasanya seperti wanita itu tidur tepat di sampingnya. Damai sekali.
Saat alarmnya berbunyi, Raya terperanjat dari tempat tidur. Kaget setengah mati melihat Devan belum menutup teleponnya.
"Dev, kamu masih di sana? Halo!" Teriak Raya juga mengagetkan lawan bicaranya di seberang telepon.
"Iya, aku masih di sini menemanimu."
Raya menepuk keningnya. "Ya Tuhan, ternyata tak sadar aku tertidur begitu saja. Kenapa kamu tidak menutup teleponnya?" Baru tersadar ternyata panggilan mereka 6 jam lebih. Wow, ini menjadi panggilan terlama sepanjang hidup Raya.
"Sangat tidak sopan jika aku tiba-tiba menutup teleponnya kan? Lagi pula aku suka mendengar suara dengkuranmu. Lebih merdu daripada saat kamu bernyanyi kemarin," ledek bocah itu.
Sialan! Bisa-bisanya dia berkata begitu kepada gurunya sendiri. Ah, Raya tak mau ambil pusing. Dia hanya ingin happy saja di hari Minggu yang cerah ini.
"Satu jam lagi aku tunggu kamu di sini. Kita akan pergi ke pasar."
"Siap, Nona. Tunggulah aku, ya."
Nona? Entah kenapa panggilan itu menjadi sangat khas bagi Raya. Telinganya sudah mulai terbiasa mendengar semua hal aneh itu dari mulut Devan. Sindiran, pujian, kata penenang, sudah tak lagi membuat Raya terkejut.
***
Tepat pukul setengah tujuh, Raya yang sudah mandi kemudian berhias di depan kaca.
Nadia masuk tanpa permisi. Dan terjadi lagi kasus perampokan minyak wangi miliknya. Raya yang sedang berada dalam mode 'kalem' membiarkan saja hal itu terjadi. "Cie, si Eneng. Dandan rapi bener, mau ke mana pagi-pagi gini?"
"Ish, kepo." Raya menjulurkan lidahnya. "Ya, mau pergi dong. Aku mau ke pasar."
Nadia membuka mulutnya lebar-lebar. "Ke pasar dandan rapi banget, Ray. Biasanya ke pasar juga cuma pakai daster. Out fit lo kan hampir bersaing sama ibu-ibu jualan gorengan." Dia terkekeh.
"Enak aja. Cantikkan juga aku ke mana-mana. Aku mau pergi sama Devan. Kamu kenal kan? Itu adeknya Claytone."
"Ternyata cowok ganteng yang biasa nyamperin lo ke sini dan punya muka hampir mirip artis Korea Cha Eun Woo itu adiknya Claytone? Asli, parah banget sempurnanya. Pantesan dia ganteng banget melebihi kakak kandungnya sendiri. Gue rela nuker apa pun demi jadi lo sehari aja, Ray." Nadia senyum-senyum sendiri membayangkan bisa sehari saja dekat dengan dua pria yang gantengnya sudah spek dewa.
"Apaan sih? Kamu melihat dia dari teropong Eiffel, ya? Bocah resek itu jangan dibandingkan sama Cha Eun Woo. Sebagai penggemarnya, aku nggak rela. Devan lebih pantas mirip Sun Go Kong atau Cu Pat Kai sekalian," tukas Raya.
"Sadis," komentar Nadia pendek.
"Jangan cepat menilai orang hanya dari bentuk fisik dan wajah saja. Kamu belum tahu aslinya dia seperti apa kan?"
"Tak masalah bagi gue, dia tetap paling ganteng. Itu yang paling penting."
Tin, tin.
Suara klakson sepeda dari luar menginterupsi keduanya. Nadia langsung melongok keluar. "Ray, Pangeran gue datang. Inikah yang dinamakan asupan gizi mata pagi-pagi."
Raya geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya yang sangat absurd.
"Iya, bentar, Dev!" teriak Raya dari dalam kamar. Dia segera mengambil tasnya. "Gue pergi dulu, ya. Jaga bapak kos baik-baik. Jangan ampek dia ngelirik janda rumah sebelah."
"Nejong, ngapain gue jagain bapak lo. Pulangnya jangan lupa beliin gue mie ayam sekalian angkut gerobaknya."
"Okay, siap." Raya mengunci pintu kamarnya dan segera berlari menuju pria yang sudah menunggunya di depan kontrakan. "Selamat pagi," sapanya seraya menghadiahi Devan dengan senyuman manis.
"Pagi juga. Ray, hari ini kamu cantik sekali. Celana jins dan kemeja putih kita tampak serasi, ya."
Tanpa sadar mereka menggunakan baju dengan mode dan warna yang sama, celana jins biru dan kemeja putih. Jika jalan berdua, pasti orang-orang akan salah paham dengan mereka. Tapi Raya malas harus berganti pakaian lagi. Biarlah hari ini mereka menyatu dalam busana.
"Ayo kita berangkat saja."
"Baiklah."
Raya memang membutuhkan liburan sejenak agar bisa melupakan gundah di hatinya akibat sikap Claytone yang kini mulai menjauh. Banyak sekali pertanyaan yang sejak seminggu lalu menyumpal di otak Raya tentang kekasihnya itu. Tapi ke mana dia bisa mencari jawabannya? Lewat Devan? Oh, itu tak mungkin. Mengingat bocah itu sangat protektif padanya sekarang. Dia takut Devan akan memusuhi Claytone. Karena Raya tahu bagaimana renggangnya hubungan antara kakak adik dalam keluarga Sanjaya.