Chereads / Jodohku Bocah Resek / Chapter 9 - BATAGOR CENIL

Chapter 9 - BATAGOR CENIL

Begitu masuk ke dalam pasar mereka langsung berburu jajanan khas Indonesia. Ada kue lapis, klepon, nagasari, pukis, putu ayu, dan masih banyak lagi lainnya.

"Bagaimana rasanya?" tanya Raya penasaran dengan komentar Devan yang sedang mencoba cenil. Dia yakin pasti ini pertama kalinya Devan memakan jajanan semacam ini.

"Hmm, enak. Manis dan gurih dari kelapa bercampur menjadi satu. Unik sekali rasanya."

"Iya, dong. Ini makanan favoritku banget." Raya dengan lahap menghabiskan sepiring cenil lupis. Tanpa sadar sedari tadi Devan memperhatikannya dengan jantung yang berdebar.

"Ray, jika kita bisa hidup bersama, aku ingin setiap pagi mengajakmu bisa ke pasar," celetuk Devan membuat Raya terbatuk-batuk.

"Aduh, kamu ini ngomong apa sih? Selalu saja ngelantur." Mendadak otak Raya mencerna dengan cepat setiap kalimat Devan. "Eh, tapi ada benarnya juga. Kalau kita bisa hidup bersama itu artinya aku sudah sah menjadi istri Claytone dan tinggal menetap selamanya di rumahmu kan?"

"Iya juga, ya." Ah, padahal bukan itu jawaban yang ingin Devan dengar. Dia tak rela sama sekali jika Raya benar-benar menjadi istri Claytone, si pria mata keranjang.

"Ngomongin masalah Claytone, sebenarnya dia sekarang ada di mana sih? Kenapa susah sekali dihubungi? Aku jadi galau seminggu lebih menanti kabar darinya."

Malas sekali rasanya, mendengar nama Claytone disebut. "Iya, aku kurang tahu. Dia jarang pulang ke rumah."

"Maksudnya dia menginap di tempat lain?" Lagi-lagi Raya tersedak ludah sendiri.

"Ray, pelan donk makannya." Daniel dengan cekatan mengambil minuman untuk Raya.

"Aku benar-benar nggak mengerti, maksudnya Claytone menginap di mana, Dev?" ulang Raya sekali lagi.

"Sudah aku bilang, aku kurang tahu. Mungkin di tempat teman atau bahkan di rumah selingkuhannya," jawab Devan ngasal tapi malah mendapatkan reaksi berlebihan dari Raya.

Api seolah membakar hati Raya. "Selingkuhan? Jadi benar yang mereka bilang itu bahwa Claytone dekat dengan wanita dari New York?"

Di luar dugaan, Devan hanya mengangkat bahu saja. Malas melanjutkan pembicaraan ini.

"Jawab, Dev. Siapa wanita itu?" Raya bertanya setengah membentak membuat bocah di sampingnya terpancing emosi.

"Cukup, Raya! Aku tak mau membicarakan tentang Claytone saat kita sedang bersama." Devan menatap penuh nanar mata Raya. Dia tak pernah semarah itu sebelumnya.

Devan berjalan di depan, meninggal Raya. "Devan, maafkan aku. Kamu marah ya?" Wanita itu menarik lengan Devan hingga hampir terjatuh menimpa dirinya.

Sepersekian detik adegan saling menatap diiringi musik alami dari detak jantung masing-masing yang berdegub tak keruan, terjadi mengalir begitu saja. Dalam pikiran Devan hanya ingin menghentikan putaran waktu agar bisa mencium bibir pink itu. Sedangkan dalam benak Raya terus mempertanyakan hatinya yang merasakan debaran aneh saat dia berdekatan dengan Devan.

"Sorry, Ray. Kamu sih tiba-tiba menarik tanganku. Hampir saja terjatuh kan." Devan sedikit menjauh dari Raya.

"Kok jadi aku yang salah? Ya sudah, kita ke taman saja." Raya berlari demi menutupi rasa malunya.

Beruntung tepat di depan pasar tradisional ini, terdapat taman hijau yang cukup luas dan dilengkapi tempat bermain anak. Di sana banyak sekali pedagang kaki lima yang mangkal di sisi jalan raya.

"Wah, sudah lama tidak main ayunan." Raya gembira sekali bisa main ayunan, semua tergambar jelas pada senyumannya.

Devan mengamati Raya. "Imut sekali," batinnya memuji. Tubuh mungil Raya yang duduk di ayunan mirip seperti anak sekolahan. Orang-orang tak akan mengira bahwa dia seorang guru berusia 25 tahun.

"Ah, segar sekali udaranya. Oh, ada Abang batagor. Aku mau beli."

Astaga meski badannya mungil, tapi daya tampung perut Raya begitu besar. Sepanjang perjalanan sudah membeli aneka jajan hingga berkeresek-keresek banyaknya dan sekarang masih tergoda membeli batagor.

Anehnya hal itu malah menjadi nilai plus seorang Raya di mata Devan. Raya bisa tampil apa adanya tanpa berusaha keras untuk menjaga image, malah membuatnya semakin manis dalam kesederhanaan. Sungguh berbeda dari wanita yang pernah dekat dengan Devan. Apakah ini yang membuat Claytone menyukai Raya?

"Dev, ayo sini. Kita makan batagor."

Devan menghampiri Raya. "Aku sudah kenyang, Ray. Tapi bolehkah aku mencicipi sedikit punyamu?" Hmm, dia mulai tergoda melihat tampilan batagor si Abang.

Raya menjulurkan piringnya "Kita makan sepiring berdua."

Deg.

Beruntungnya hari ini, bisa makan di piring yang sama dengan Raya. Kapan lagi ada kesempatan seperti ini? Tak boleh disia-siakan. "Baiklah, aku akan mencobanya."

Devan menyuapkan sepotong batagor ke mulutnya.

"Bagaimana? Enak tidak?"

"Perfecto numero uno. Mantap." Devan mengacungkan jempol kanannya."Setelah ini kita ke mana, Ray?" tanya Devan yang sedang lahap menyantap makanan di depannya.

"Nggak tahu, Dev."

"Bagaimana kalau kita ke rumahku?"

Glek.

Selama tiga tahun menjalin hubungan dengan Claytone, Raya tak pernah sekali pun diajak untuk datang ke kediaman keluarga Sanjaya. Ada saja alasan yang dibuat Clay tiap Raya meminta berkunjung ke rumahnya. Dan yang paling sering dia katakan adalah Clay belum siap mengenalkan Raya pada kedua orang tuanya. Lebih menyedihkannya lagi, orang pertama yang mengajaknya ke rumah sang kekasih adalah calon adik iparnya sendiri, Devan.

"Kok bengong? Mau nggak? Ya, siapa tahu saja Kak Clay ada di rumah. Jadi kalian bisa melepaskan rindu kan?"

"Eh, bagaimana ya?" Raya meragu.

"Kenapa? Takut ketemu calon mertua? Belum siap?" Devan terus-menerus menyudutkan Raya.

Pikiran Raya kini terbelah menjadi dua. Di satu sisi, dia sangat penasaran ingin menginjakkan kaki di kediaman mewah itu. Tapi di sisi lainnya, benar seperti tebakan Devan. Dia belum siap bertemu calon mertuanya di saat hubungannya dengan Clay sedikit merenggang.

Raya mengangguk. "Aku takut."

Devan menyipit. "Takut kenapa? Kami bukan keluarga vampir yang akan mengambil darahmu di sana." Dia terkekeh.

Raya diam. Tak tergoyahkan oleh gurauan garing Devan.

Bagaimana jika di sana Raya bertemu Claytone bersama wanita yang sedang dikabarkan dekat dengannya? Lalu, sang mertua mulai membanding-bandingkan mereka berdua. Seperti adegan dalam sinetron. Ah, apa yang harus dilakukan Raya menghadapi situasi seperti itu?

Devan mendadak merangkul pundak Raya. "Tenang, Bu. Tidak akan terjadi apa-apa padamu. Aku akan selalu menjagamu." Dia berbicara seolah bisa membaca pikiran Raya.

Meskipun terkesan gombal, tapi anehnya ada rasa ketenangan menyusup di hati Raya.

"Bagaimana? Pliss, mau ya? Nanti aku bilang ke Mama kalau kamu mengajariku tugas sekolah."

Raya mengangguk lemah. Dia tahu Devan tak akan berhenti membujuk sampai Raya setuju. "Baiklah, tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa itu?"

"Katakan padaku sesuatu tentang Claytone dan wanitanya. Aku hanya ... ingin tahu saja, tidak ada maksud lain. Jadi kamu tak perlu cemas. Kumohon jujurlah padaku, Devan," pinta Raya yang membuat Devan sedikit kesal.