"Ga mungkin lah, anakku kan dah ada suami. Ga mungkin dia kek gitu," ucap Nenek Khom yang terus berpikir positif kepada anaknya itu, meskipun ada sedikit keraguan di hatinya.
"Yee si Ibuknya malah ga percaya, udah ada buktinya tuh kalo gada kabar kan sampek sekarang," si Ibu satunya ikut ikutan mengompori.
"Heh, tak kasih tau ya Buk. Orang yang udah kerja di luar negeri itu pasti rumah tangganya bakal hancur, bakal kecantol tuh sama orang sana," Ibu Ibu lainnya menganggukinya.
"Liat aja tuh rumah tangganya si Ika sama Royan, itukan suaminya juga kerja di luar negeri Buk."
"Trus si Heni sama Lukman, itu juga cerai Buk. Padahal belum lama mulai kerjanya disana, paling juga masih setengah tahun."
"Tapi anak saya ga bakal gitu kok Buk," bela Nenek Khom terus. Matanya mulai khawatir setelah mendengar omongan Ibu Ibu itu.
"Aduh Buk, jaman sekarang tu udah banyak yang kek gitu. Bahkan yang bareng sama sama di rumah aja juga kadang masih kecolongan, apalagi yang jauh di luar negeri," Ibu Ibu itu tetap ngotot memberitahu jika sudah banyak kasus yang terjadi ketika seseorang sudah bekerja di luar negeri.
"Ya semoga saja anak saya tidak seperti yang Ibu Ibu bicarakan. Yaudah kalo gitu saya pamit dulu ya Buk, kasian Yuan sama Pak Karman kalo mereka udah kelaparan," pamit Nenek Khom buru buru. Sebenarnya itu hanya alibi Nenek Khom saja, padahal dia buru buru pamit karena takut pikirannya semakin khawatir jika terus mendengarkan apa yang Ibu Ibu tadi bicarakan.
Apalagi jika sampai darah tinggi bisa bisa malah merepotkan orang rumah hanya karena omongan orang orang yang belum tentu kebenarannya.
"Semoga aja pagi ini panasnya cepet turun," bergumam pelan sembari melihat wajah cucunya dengan belas asih. Sangat kasihan melihatnya.
"Ibu kamu sebenernya kemana to ndukk, sudah beberapa bulan ini tidak ada kabar," keluhnya pada diri sendiri.
"Apa ga kangen kamu to nduk. Nenek kasian sama kamu, sudah bertahun tahun di tinggal Ibukmu pergi ke luar negeri untuk bekerja."
"Tapi sekarang gada kabar sama sekali tentang ibukmu."
"Semoga saja Ibukmu bisa cepet pulang ya nduk biar kita semua bisa kumpul bareng lagi," Nenek Khom menyeka air matanya yang tak terasa sudah menetes.
"Biar bisa ngeliat kamu sudah mulai bisa jalan. Nenek sayang banget sama Ibukmu nduk," Nenek Khom kali ini memang benar benar kangen sekali dengan Ibu Tina.
"Firasat Nenek ga enak nduk, semoga saja Ibukmu baik baik aja ya," memang benar, sedari tadi Nenek Khom terlihat gelisah seperti ada sesuatu yang terjadi.
Di sisi lain, Ibu Tina sudah mulai merasakan tubuhnya seperti di terkam seseorang.
"Arghhh siapa sihhh!" Ibu Tina berusaha membelot agar tubuhnya terlepas dari pria tersebut.
Terus memberontak hingga akhirnya pria tersebut berbicara. "Ssssttt babyyy, ini aku sayangg," ucap pria tersebut.
"Kok bisa masuk sihh?" ketus Ibu Tina.
"Bisa dong, apa yang aku ga bisa," ucap pria tersebut dengan sangat santai.
"Lepasin! bisa minggir ga!" Ibu Tina terus memberontak sampai tubuhnya terlepas dari pria itu.
"Hey hey, kamu bisa nurut apa ga! klo masih mau berontak si aku jamin gajimu kamu bakal turun," mendengar ucapan bosnya seketika langsung luruh.
Yaps benar, pria tersebut adalah bosnya di Singapura saat ini. Ibu Tina tidak bisa lagi berontak jika sudah menyangkutkan gajinya seperti ini.
"Kamu jangan ngomong seenaknya ya!!" teriak Nenek Khom yang sangat malu melihat anaknya berucap seperti itu kepada menantunya.
"Minta maap sekarang sama Yuan!!" perintah Nenek Khom.
"Jangan di ambil semua, itu buat beli susu Vanda Tin!!" omongan Pak Yuan tidak di dengarkan oleh Ibu Tina.
"Tina balikin uangnya!!" teriak Nenek Khom ikut membela Pak Yuan. Tetapi juga tidak di gubris sama sekali oleh Tina.
"Maapin anakku ya Wan kek gitu sikapnya," Nenek Khom sangat prihatin melihat menantunya yang berjuang keras tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi malah sikap anaknya seperti itu padanya.
"Iya gapapa kok Buk, yang penting Vanda sehat aja," sembari tersenyum tipis melihat anaknya yang tiduran sembari kakinya menendang nendang angin. Baginya anaknya sehat dan kebutuhan anaknya tercukupi sudah lebih dari cukup.
"Ya sudah, kamu mandi saja dulu. Makanannya sudah siap di meja, mau tak buatin kopi?" tanya Nenek Khom penuh perhatian dengan menantunya.
"Iya Buk," Pak Yuan langsung berdiri dan melangkah menuju kamar mandi.
Hari sudah larut malam, Vanda sudah di tidurkan sedari tadi. Semua juga sudah selesai makan malam. Kini saatnya mereka mengistirahatkan badannya untuk mengumpulkan energi lagi agar besok tetap fit.
Kini hari mulai menerbitkan sinarnya. Angin pagi menerpa wajah dengan sangat lembut dan sejuk. Suara ayam berkokok saling bersahutan. Namun, suasana yang awalnya sejuk membuat hati tentram harus sirna oleh suara teriakan Ibu Tina.
"Bukkk!!" teriak Ibu Tina memanggil Ibunya yang entah dimana keberadaanya. Namun dia mendengar suara orang sedang mencuci baju.
Srkkk srkkkk (suara sikat yang mengenai baju).
"Dari tadi dicariin juga, ga denger apa tak panggilin?" protes Tina marah marah pada Ibunya yang sedang mencuci.
"Maap to Ibu ga denger tadi." Sedangkan Vanda masih tertidur lelap, di samping kanan kiri dan bawahnya di batasin bantal agar tidak jatuh. Jadi Nenek Khom tenang kalau ingin melakukan kegiatan apa saja tanpa khawatir pada cucunya itu.
"Ehh ini bukannya baju mas Yuan? kok Ibu yang nyuci?" melihat ada baju suaminya yang sedang di rendam bersama pakain lainnya. Mengangkatnya dan bertanya kebingungan pada Ibunya ini.
"Uda numpuk Tin di keranjang Tin, mumpung Ibu nyuci sekalian aja tak cuciin," jelas Ibunya dengan melanjutkan mencucinya. Nenek Khom masih mencuci dengan cara manual, yaitu cuci tangan. Mereka belum bisa membeli mesin cuci. Boro boro beli, bisa makan setiap hari aja sudah sangat bersyukur.
"Ya Allah, permudah saya mencari nafkah untuk membelikan anak saya susu," Pak Yuan selalu berdoa dimana pun. Berharap hari ini banyak orang yang ingin menyelip padi. Dia hanya membutuhkan uang untuk membeli susu Vanda. Selebihnya dia tidak terlalu mementingkan dirinya apakah sudah makan atau belum.
"Bismillah… ." Mulai menjalankan mesin alat penyelip padi dan berkeliling dari desa ke desa.
Untung saja hari ini tidak terlalu panas, udara pagi masih terasa sejuk meskipun matahari sudah mulai naik.
Sesampainya rumah segera memasak agar anaknya itu tidak protes lagi kalua tidak ada makanan di meja.
"Tinn? Tinaa?" Nenek Khom mencari keberadaan Ibu Tina di semua sudut rumah, namun hasilnya nihil.
Langit mulai berwarna orange, menunjukkan keindahannya sebelum benar benar gelap. Sampai detik ini pun Ibu Tina belum pulang dari pagi. Entah kemana perginya, Nenek Khom terus khawatir takut terjadi apa apa dengan anak satu satunya itu.
"Assalamualaikum," ucap Pak Yuan yang baru saja pulang kerja. Seperti biasa dengan baju lusuh dan berbau polusi. Namun wajahnya kini sangat lesu.
"Waalaikumsalam Wan, kamu keliatannya cape banget," Nenek Khom melihat wajah Pak Yuan yang sangat letih.
"Iya Buk, Ibu sendiri kenapa maghrib maghrib di depan rumah?"
"Nungguin Tina pulang ya?" tebaknya.
"Kok Kamu tau Wan?" Nenek Khom heran, kenapa menantunya ini bisa tau. Pasalnya sedari pagi Pak Yuan tidak ada di rumah.
"Tadi ga sengaja liat di jalan lagi sama cowo Buk," ucapnya dengan lesu. Hal seperti ini sudah sangat sering, Pak Yuan sendiri juga tidak bisa melarang istrinya itu.