"Gapapa Pak, lagian pake alat ini juga sudah bikin Vanda seneng. Liat cucu kita, dari tadi ga berhenti ketawa," Nenek Khom tersenyum melihat cucunya itu.
Kakung Karman mendongakkan penglihatannya, dan benar cucunya memang sudah sangat senang meski hanya memakai kayu yang dia tancapkan. Perasaanya perlahan lahan kembali membaik.
Sudah berbulan bulan Ibu Tina tidak memberi kabar apapun tentang dirinya disana. Bahkan orang rumah pun tidak ada yang bisa menghubunginya sekarang. Ketika di telepon selalu operator yang berbunyi, "Nomor yang anda tuju tidak aktif."
Bahkan tidak mengirim uang sama sekali kepada orang tuanya.
"Aku mengharap uangmu nduk, hanya saja Ibuk nunggu kabarmu," rintihan Nenek Khom yang sedikit kecewa karena anaknya tidak bisa di hubungin beberapa bulan ini.
Orang rumah tidak mengharapkan uang Ibu Tine sepeserpun, mereka tidak apa apa hidup sederhana seperti ini. Asal mereka tau bagaimana kabar anaknya yang ada di negeri tetangga.
"Coba hubungin terus Wan, Ibu kangen sama Tina," wajahnya yang sudah tua di penuhi tetesan air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Menyekanya terus menerus tetapi sia sia.
"Buk mana buk kompresannya!" teriak Kakung Karman yang sudah menunggu istrinya sedari tadi yang dia suruh mengambilkan kompresan.
"Iyaaa ini lo Pak," datang Nenek Khom dengan tergopoh gopoh sambal membawa kompresan.
Memencet tombolnya satu persatu, dan kini kamar Bu Tina telah terbuka. Terlihat Ibu Tina sudah terlelap dalam mimpinya, Kasur yang menyelimuti tubuhnya sudah acak acakan. Pakaian tipis yang tadi dia kenakan terlihat sedikit naik ke atas perutnya.
Orang yang tadi membuka pintu kamar Ibu Tina, ketika melihat posisi tidur Ibu Tina sekarang itupun menyunggingkan senyum.
Perlahan orang itu mengunci lagi pintunya, menguncinya dari dalam sehingga tidak ada orang yang bisa membukanya dari luar.
"Ya Allah," akhirnya Kakek Man mengangkat badan Nenek Khom sendirian dan menggendongnya ke arah kasur.
Kejadian itu tidak pernah Nenek Khom lupakan sampai saat ini. Sekarang dia harus kuat demi merawat Vanda, kasian jika di telantarkan oleh Ibu Tina begitu saja. Nenek Khom harus sehat terus, seenggaknya sampai Vanda tamat SMA nanti baru bisa lega.
Beberapa tahun kemudian, usia Vanda kini 4 tahun. Kehidupan Vanda terus berlanjut. Dan dia sekarang sudah sekolah paud di Sunan Pandanaran. Sekolah selalu antar jemput oleh Nenek Khom.
"Vanda mau sekolah dulu ya Nek," pamit Vanda kecil dan menyalimi Nenek Khom dengan tangan mungilnya. Seragam sekolahnya yang kecil membuatnya sangat lucu ketika berjalan. Memakai tas barbie warna pink kesukaannya.
"Iya anak cantikk. Belajar yang pinter ya," mengelus kepala Vanda yang mengenakan kerudung sekolah.
Melihat bola mata Vanda yang kebingungan melihat kesana kemari karena saking banyaknya orang yang lalu lalang, membuat hati Nenek Khom sedikit terhibur dan melupakan sejenak pikirannya tentang keberangkatan anaknya.
Akhirnya Kakung Karman membuatkan kayu yang membentuk huruf T lalu di tancapkan di tanah. Itu bisa membantu Vanda agar bisa belajar jalan dengan memegang kayunya dan memutari tancapan kayu tersebut. Tapi tak luput dari pantauan Kakek Neneknya yang selalu berada di dekatnya jika Vanda seperti terlihat oleng agar bisa lebih gesit menangkapnya supaya tidak terjatuh.
"Seneng ya Pak ngeliat Vanda bisa belajar jalan," ucap Nenek Khom yang terus mengawasi Gerakan Vanda.
"Iya Buk, apalagi perkembangannya sangat cepat," jawab Kakung Karman dengan senyum tipis.
Setelah menunggu beberapa saat, pancingan mereka bergerak seperti ada ikan yang memakan cacing umpan mereka.
"Wan!! gerak Wan gerak!!" Gandrong berteriak heboh melihatnya.
"Tarik Drong!" Yuan langsung beraba aba untuk menariknya secara bersamaan. Ternyata mereka mendapat ikan nila yang ukurannya lumayan.
Setelah setengah hari mereka memancing di selingi tawaan, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Takut jika orang rumah pada nyariin dimana keberadaan mereka. Yuan membawa pulang 3 ikan nila, sedangkan Gandrong 2 ikan. Itu sudah sangat lumayan bukan.
"Tantee!! Yuan bawa ikan buat tante!!" teriak Yuan kecil seraya berlari menenteng keresek berisi ikan yang sudah dia pancing tadi bersama Gandrong.
Nenek Khom hanya diam saja, tidak mau menjawab ucapan menantunya itu.
Pak Yuan sudah tau kalau Nenek Khom diam seperti itu berarti jawabannya iya.
"Tina! kamu ga boleh kek gitu, ini Ibu kandungmu sendiri!" Pak Yuan menggedor gedor pintu kamar yang di tempati Ibu Tina.
"Liat itu punggung Ibuk sakit, kamu dorong kan tadi pas aku ga di rumah!!"
"JAWABBBBB!!!!"
"Aku ga sengaja, dia aja yang lemah!" jawab Tina dari dalam kamar tanpa ada niatan membuka kunci pintunya.
Pak Yuan tidak habis piker dengan jalan pikiran istrinya, bisa bisanya mendorong Ibu kandungnya sendiri sampai terluka dan lebih parahnya tidak di obtain.
"Wihh, banyak banget ini Wan. Dapet dari mana?" datanglah Tante Sur dari belakang dengan baju sedikit lusuh dan penuh dengan keringat. Entah apa yang Tante Sur lakukan, Yuan tidak tahu.
"Tapi maaf ya Buk, Bapak cumin bisa buatin Vanda alat ini. Bapak ga punya uang buat beli alat yang buat jalan anak kecil itu," wajah Kakung Karman kini sedikit sedih. Tatapannya menunduk, dia merasa dirinya tidak berguna sebagai lelaki karena belum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
"Gapapa Pak, lagian pake alat ini juga sudah bikin Vanda seneng. Liat cucu kita, dari tadi ga berhenti ketawa," Nenek Khom tersenyum melihat cucunya itu.
"Sinii biar Ibuk yang gendong Vanda," minta Nenek Khom seraya menghapus bekas air matanya yang masih menggelinang di bawah kelopak matanya. Pak Yuan menyerahkan tubuh Vanda ke dalam pangkuan Nenek Khom. Di situ Vanda tiba tiba tersenyum memperlihatkan giginya yang masih dalam pertumbuhan.
"Nenek tunggu di depan okeyy," tersenyum hangat kepada cucunya yang kini sudah mulai sekolah.
Vanda melambaikan tangnnya dan segera berlari memasuki kelas yang sudah ramai banyak anak lain yang berdatangan. Nenek Khom menegakkan tubuhnya, tersenyum melihat perkembangan Vanda yang cukup bagus.
"Enghhhh… ," Ibu Tina berganti posisi, kini selimutnya sudah benar benar tidak menutupi tubuhnya lagi. Tubuhnya terekspos lebih jelas, apalagi tidak memakai pakaian dalam, hanya sebuah kain tipis yang menerawang.
Orang itu menoleh ketika mendengar lenguhan dari Ibu Tina, merasa was was takut Ibu Tina terbangun. Ternyata hanya pindah posisi saja, perasaanya lega melihat itu.
Semua berjalan menuju kamar untuk membaringkan Vanda. Entah kenapa Vanda menangis terus menerus padahal sudah di kompres, bahkan di kasih susu pun hanya di singkirkan dengan tangannya yang mungil.
"Coba besok bawa ke bidan hariati aja Buk," saran Pak Yuan yang semenjak tadi tak berhenti khawatir dengan putrinya.
"Iya Buk, ini dari tadi Yuan udah coba," Pak Yuan terus menekan nomor telepon istrinya itu, berharap di angkat karena kasian melihat wajah Ibu mertuanya seperti menahan rasa rindu pada anaknya yang sudah lama tidak ada kabar.
Sebenarnya Pak Yuan tahu jika nomornya telah di blokir oleh Ibu Tina agar orang rumah tidak mengganggunya disana. Entah apa yang Ibu Tina lakukan sekarang Pak Yuan tidak tahu. Tapi pastinya Ibu Tina tidak ingin berhubungan lagi dengan keluarganya.