Meskipun jika Pak Yuan tidak menyutujuinya, tetap saja Ibu Tina sudah sangat pasti ngotot dengan keputusannya. Akhirnya dia menjawab, "Saya gapapa Pak Buk dia kerja di Singapura, asal ya memang benar benar kerja."
Sebenarnya itu sindiran untuk istrinya bahwa jangan pernah macam macam disana. Pak Yuan tahu alasan sebenarnya istrinya itu apa. Hanya saja kali ini dia memilih diam untuk melihat apa yang istrinya ini lakukan selanjutnya.
"Yasudah terus apa sudah kamu urusin semua berkas berkas buat kerja di sana?" tanya Kakek Man yang akhirnya angkat bicara. Mengaitkan kedua jari jari tangannya, duduk dengan tegap dan berbicara layaknya seorang Bapak.
"Semua udah siap Pak, tinggal berangkat aja," semuanya saling tatap mendengar ucapan Ibu Tina yang sepertinya sudah sangat siap. Bisa bisanya baru bilang jika ingin bekerja di Singapura padahal tinggal dua hari lagi sudah berangkat.
Ternyata Ibu Tina sudah menyiapkan semuanya sejak lama, jadi malam ini hanya meminta izin pergi ke Singapuranya. Mau di beri izin atau tidak sudah pasti Ibu Tina tetap akan berangkat.
"Oiya Minggu besok aku udah tinggal berangkat," dengan santainya Ibu Tina senyam senyum sedangkan orang tua dan suaminya kaget mendengar keberangkatannya yang mendadak. Ini pikiran Ibu Tina bagaimana? bisa bisanya santai setelah berucap seperti itu.
"Lohh, kok cepet banget to. Cmn kurang dua hari lagi lo ini," protes Pak Yuan.
"Lebih cepat lebih baik mas. Lagian kalian gamau keluarga ini susah terus kan?" semua terdiam. Memang benar mereka tidak ingin dalam keadaan sulit seperti ini, tapi apakah harus bekerja diluar negeri menjadi solusinya. Jauh dari orang tua jauh dari keluarga.
Ya sudah, mau bagaimana lagi ? mau melarang Ibu Tina juga sudah tidak bisa. Malah ngotot dengan keinginannya sendiri. Ini namanya bukan meminta izin, lebih tepatnya memberi informasi. Jadi di izinkan atau tidak, Ibu Tina akan tetap berangkat.
Pak Yuan menatap Vanda anaknya yang sedang berada di gendongannya. Menatapnya dengan belas asih, betapa tega Ibunya meninggalkan anak bayinya yang masih berumur 6 bulan itu.
Yang kuat ya nakk, Bapak yang akan ngerawat kamu pas Ibuk dah berangkat ke Singapura ya, ucap Pak Yuan dalam hati. Melihat wajah anaknya membuat hatinya teriris.
Kakung yang berada di sebelah Pak Yuan pun sadar jika sekarang Pak Yuan sedang bingung memikirkan nasib anaknya. Menepuk pelan Pundak Pak Yuan, seketika orangnya langsung menoleh ke samping kiri.
Mengangguk memberi semangat menantunya itu. Dari tatapan Kakung Man seolah olah berbicara, "Yang sabar ya Wan, kita rawat Vanda bareng bareng."
"Yauda gapapa, siapin semua barang barangmu. Sekarang uda malem, kasian Vanda pasti ngantuk," alih alih Nenek Khom. Padahal sebenernya Nenek Khom hanya menutupi perasaanya yang saat ini campur aduk.
"Ututu cucunya nenek ketawa," disitu Nenek Khom bisa tersenyum kembali melihat cucu satu satunya.
Kakung Karman dan Pak Yuan saling melirik, syukurlah keberadaan Vanda bisa menghibur hati neneknya. Mereka sudah sangat lega melihatnya.
"Buk, ayo pulang sekarang. Udah mulai mendung gelap banget, takutnya nanti kehujanan di jalan kasihan Vanda bisa sakit," mata mertuanya langsung melihat ke arah langit untuk memastikan, dan ternyata memang benar. Kini langit sudah hitam pekat di atas sana.
"Ayo kita pulang sekarang," Nenek Khom berdiri dari duduknya, melangkahkan kakinya menuju taxi yang sudah ada di sekitaran bandara.
Hujan rintik kecil turun dari langit membasahi jalanan. Banyak orang yang lari kocar kacir untuk menghindari hujan. Bahkan ada juga yang meneduh di depan ruko ruko toko. Suasana tampak hening, hanya tersisa suara rintikan hujan yang kian menjadi deras.
Angin kencang membuat dahan dahan pohon meliak liuk kesana kemari. Suasana ini sangat mendukung perasaan keluarga Vanda saat ini.
Di dalam rumah, Vanda sedang di baringkan di kamar sembari menyedot sebotol susu. Di sampingnya ada Nenek Khom yang selalu menemani Vanda.
Namun, kini pikiran Nenek Khom tidak terarah pada Vanda. Kepikiran bagaimana anaknya di dalam pesawat jika cuacanya hujan deras seperti ini. Hany aitu saja yang memenuhi pikirannya saat ini.
"Hehh Buk," Kakung Karman menggoyang goyangkan pundak Nenek Khom sedikit kencang membuat sang empu tergkaget.
"Apasihh Pak ngagetin aja," sewot Nenek Khom sembari memukul pelan lengan Kakung Karman. Kebiasaan cewe kan suka banget mukul cowo wkwkw… .
"Lah kok jadi aku yang di pukul, orang Ibuk yang di panggilin dari tadi ga nyaut nyaut," bela Kakung Karman yang tidak terima disalahin.
"Trus ngapain tadi manggil manggil?" tanyanya.
"Cuman mastiin aja kalo ga kesurupan," Kakung Karman langsung lari ngibrit keluar kamar, takut di gampar oleh istrinya. Meskipun umur mereka sudah 50 an, tetapi kadang tingkahnya juga saling menjaili satu sama lain layaknya masih muda dulu.
"Dasar kakek kakek kurang ajar, awas ae nanti malem tidur di sofa Pakkk!!" teriak Nenek Khom kesal karena Kakung Karman sudah mengganggu waktunya dengan hal yang tidak jelas.
Untungnya suara teriakannya tidak mengganggu Vanda yang sudah ketiduran sejak tadi. "Bobo yang nyenyak ya cucuku, tenang masih ada Nenek yang ngerawat kamu," ucapnya seraya mengelus dahi Vanda tulus.
Akhirnya Kakung Karman membuatkan kayu yang membentuk huruf T lalu di tancapkan di tanah. Itu bisa membantu Vanda agar bisa belajar jalan dengan memegang kayunya dan memutari tancapan kayu tersebut. Tapi tak luput dari pantauan Kakek Neneknya yang selalu berada di dekatnya jika Vanda seperti terlihat oleng agar bisa lebih gesit menangkapnya supaya tidak terjatuh.
"Seneng ya Pak ngeliat Vanda bisa belajar jalan," ucap Nenek Khom yang terus mengawasi Gerakan Vanda.
"Iya Buk, apalagi perkembangannya sangat cepat," jawab Kakung Karman dengan senyum tipis.
"Tapi maaf ya Buk, Bapak cumin bisa buatin Vanda alat ini. Bapak ga punya uang buat beli alat yang buat jalan anak kecil itu," wajah Kakung Karman kini sedikit sedih. Tatapannya menunduk, dia merasa dirinya tidak berguna sebagai lelaki karena belum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
"Gapapa Pak, lagian pake alat ini juga sudah bikin Vanda seneng. Liat cucu kita, dari tadi ga berhenti ketawa," Nenek Khom tersenyum melihat cucunya itu.
Kakung Karman mendongakkan penglihatannya, dan benar cucunya memang sudah sangat senang meski hanya memakai kayu yang dia tancapkan. Perasaanya perlahan lahan kembali membaik.
Sudah berbulan bulan Ibu Tina tidak memberi kabar apapun tentang dirinya disana. Bahkan orang rumah pun tidak ada yang bisa menghubunginya sekarang. Ketika di telepon selalu operator yang berbunyi, "Nomor yang anda tuju tidak aktif."
Bahkan tidak mengirim uang sama sekali kepada orang tuanya.
"Aku mengharap uangmu nduk, hanya saja Ibuk nunggu kabarmu," rintihan Nenek Khom yang sedikit kecewa karena anaknya tidak bisa di hubungin beberapa bulan ini.
Orang rumah tidak mengharapkan uang Ibu Tine sepeserpun, mereka tidak apa apa hidup sederhana seperti ini. Asal mereka tau bagaimana kabar anaknya yang ada di negeri tetangga.
"Coba hubungin terus Wan, Ibu kangen sama Tina," wajahnya yang sudah tua di penuhi tetesan air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Menyekanya terus menerus tetapi sia sia.
"Iya Buk, ini dari tadi Yuan udah coba," Pak Yuan terus menekan nomor telepon istrinya itu, berharap di angkat karena kasian melihat wajah Ibu mertuanya seperti menahan rasa rindu pada anaknya yang sudah lama tidak ada kabar.
Sebenarnya Pak Yuan tahu jika nomornya telah di blokir oleh Ibu Tina agar orang rumah tidak mengganggunya disana. Entah apa yang Ibu Tina lakukan sekarang Pak Yuan tidak tahu. Tapi pastinya Ibu Tina tidak ingin berhubungan lagi dengan keluarganya.