Chereads / Kekejaman Dunia / Chapter 13 - Penyesalan

Chapter 13 - Penyesalan

Pak Yuan sendiri juga tidak ingin jika putri kecilnya kekurangan nutrisi dan kaish sayang. Karena dulunya Pak Yuan tidak di rawat oleh keluarganya sendiri, melainkan di titipkan ke saudaranya.

Waktu itu keluarga Pak Yuan merencanakan pindah ke Surabaya. Namun, entah ada alasan apa Pak Yuan sendirian dan titipkan ke saudaranya. Dia tidak dirawat bahkan Tantenya juga tidak dititipkan uang sama sekali untuk biaya hidupnya ketika dititipkan ke Tante Sur.

Ekonomi Tante Sur juga lagi sulit, jadi Pak Yuan juga harus bisa menerima. Makan juga seadanya, ingin membeli jajan pun Pak Yuan dulu tidak berani meminta uang sepeserpun kepada Tante Sur.

"Kamu mau Wan?" tanya anak laki laki sekitaran umur tujuh tahun. Anak itu merasa sedari tadi Yuan melihatnya memakan chiki itu.

Yuan kecil mengayunkan sambil memegang perutnya dan membocorkan jajan bungkusan chiki tersebut. Sebenarnya dia ingin merasakannya, tapi dia tidak boleh meminta duluan kecuali emang dikasih.

"Yaelah beli sendiri noh," ucap anak laki laki lain yang berambut urakan. Memandang meremehkan Yuan.

"Oiya, kan ga punya uang. Upss!!" semua menertawakan Yuan, "HAHAHAHA…."

Anak yang tadi menawari jajan pun melihat Yuan tidak tega di bully seperti ini. Menarik mengarahkan dan mengajak Yuan pergi dari sana menuju Sungai dekat rumah mereka.

Disana Yuan terlihat sangat sedih, melihat dirinya sendiri yang begitu malang. Di tinggal oleh orang tuanya tanpa alasan. Dan sekarang di bully oleh teman-teman perkaranya tidak punya uang untuk membeli jajan.

Anak tadi slap bahu Yuan. Dia pun menoleh kepada anak tadi yang sering di panggil dengan sebutan Grandong. Kenapa di panggil Grandong? karena anak itu jarang sekali cukur rambut hingga gondrong, makanya sering di panggil Grandong. Ada ada saja ya.

Jika bayi lain pasti akan diberikan asi dari Ibunya, jika tidak pun mungkin alasannya asi si Ibu tidak keluar. Namun, meskipun asi Ibunya lancar, Vanda tetap tidak akan mendapatkan asinya. Entah apa alasannya juga Vanda tidak tahu itu.

Ketika malam pun Vanda tidak tidur dengan Ibunya, melainkan dengan neneknya. Mulai dari Vanda bangun sampai tidur semua diurus oleh neneknya. Mana pernah dia peduli sedikitpun dengan Vanda.

Tokkk Tokkk

Suara ketukan pintu di barengi dengan Langkah kaki membuat semuanya menoleh ke arah pintu.

"Assalamu'alaikum!!" ucap seorang lelaki yang juga masih muda umurnya. Masuk ke dalam rumah dengan pakaian kotor penuh dengan debu dan bau polusi.

"Waalaikumsalam," ucap Nenek dan Ibu Tina bersamaan. Melihat ke arah lelaki tersebut yang ternyata Bapak dari si bayi.

"Anak Bapak kok belum tidur ciii," ucap Pak Yuan yang ingin mencium pipi anaknya sepulang kerja.

"Mandi dulu Wan, badanmu kotor. Kasian Vanda nanti bisa sakit," cegah Nenek Khom menjauhkan Vanda yang berada di gendongannya.

"Iya maap mak. Bentar ya cantikk, bapak mau mandi dulu," pamitnya dengan menatap anaknya yang melihatnya seraya menggerakkan tangan dan kakinya kesana kemari.

"Mana mas uang hari ini?" tanya Ibu Tina pada saat itu juga. Apa tidak kasihan melihat suaminya seharian nyari uang panas panasan, pulang pulang langsung minta uang. Seenggaknya bikinin minum atau di tawarin makan, memang tidak punya hati.

"Cupcup sayangg, haus ya pasti. Bentar ya nenek bikini susu dulu," ucapnya dengan mengusap usap kepala Vanda dengan lembut.

Ketika sudah di minumkan susu, Vanda mulai bisa diam dari tangisnya. Tiba tiba Ibu Tina datang dengan bersidekap dada di depan pintu. "Bawa aja tu anak, berisik!" setelah ngomong seperti itu, dengan rasa tidak bersalah langsung pergi begitu saja. Padahal itu anak kandungnya sendiri, tetapi Vanda seperti tidak di anggap oleh Ibu Tina.

"Ya Allah, semoga kamu cepat di beri kesadaran Tina!" Nenek Khom sudah tidak tau lagi apa yang ada di pikirkan anaknya itu.

"Kamu ikut nenek aja ke pasar ya Van," ucapnya kepada Vanda yang masih belum tahu cara berbicara.

Menggendongnya dengan jarik, punggungnya terasa lebih sakit karena diikat oleh jarik dan di tambah menggendong Vanda yang lumayan berat.

Di tengah teriknya sinar matahari pagi sepanjang berjalan ke pasar, Nenek Khom hanya pasrah kuat tidak kuat harus menggendong Vanda sampai rumah. Jika dia tinggal pun sudah pasti Ibunya tidak ingin menjaganya.

Sesampainya rumah segera memasak agar anaknya itu tidak protes lagi kalua tidak ada makanan di meja.

"Tinn? Tinaa?" Nenek Khom mencari keberadaan Ibu Tina di semua sudut rumah, namun hasilnya nihil.

Langit mulai berwarna orange, menunjukkan keindahannya sebelum benar benar gelap. Sampai detik ini pun Ibu Tina belum pulang dari pagi. Entah kemana perginya, Nenek Khom terus khawatir takut terjadi apa apa dengan anak satu satunya itu.

Sampai sampai dulu sewaktu Ibu Tina masih usia 14 tahun pernah memukul mukul Nenek Khom hanya karena meminta sepeda motor. Di usia yang masih kecil pun dia sudah berani memperlakukan Ibunya seperti itu, malah sekarang tambah menjadi jadi.

"Ampun nduk, badane Ibuk wes sakit semua. Ampun… ." Nenek Khom memohon mohon agar Ibu Tina berhenti memukuli badannya.

Rambut acak acakan, baju sobek sobek dan ada luka lebam di daerah lengan. Itulah penggambaran kondisi Nenek Khom di kala itu. Hanya karena sebuah sepeda motor, Ibu Tina tega memukuli Ibunya tanpa ada rasanya berdosa. "Udahh ndukk… ."

"Aku mau sepeda motor!! temen temen ku udah pada punya semua!!" teriaknya di depan wajah Nenek Khom.

"Tpi Ibuk ga punya uang buat beli motor semahal itu nduk," mata teduhnya terus menatap mata anaknya. Memancarkan rasa sakit namun tertahan. Ada genangan air mata di bawah kelopak yang sudah siap untuk turun.

"POKOKNYA GAMAU TAU HARUS ADA!!"

Kembali memukuli Nenek Khom tanpa ampun. Nenek Khom hanya pasrah terus berusaha melindungi tubuhnya dari serangan bertubi tubi anaknya. Sewaktu itu Kakek Man sedang tidak berada di rumah, jadi kejadian ini tanpa sepengetahuan siapapun.

Ibu Tina bisa leluasa untuk memukuli Ibunya, lebih tepatnya menghajar.

"Nyesel aku di lahirin di keluarga miskin kek gini," ucap Ibu Tina seraya pergi meninggalkan Nenek Khom yang meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhnya.

Tubuhnya bergetar dan meringkuk di atas lantai dingin. Tangisnya pecah kala mendengar perkataan terakhir anak satu satunya itu.

"Suatu saat nanti kalau kamu tau yang sebenarnya pasti akan menyesal ndukk," mengingat kejadian dulu yang membuatnya menangis sejadi jadinya.

Sore harinya, Kakek Man pulang dengan membawa bahan bahan lempung untuk di cetak di buat genteng dan batu bata. Memang saat itu Nenek Khom dan Kakek Man bekerja sebagai pencetak genteng dan batu bata di rumahnya sendiri.

"Assalamualaikum, ya Allah Bukkk!!" Pak Man kaget melihat istrinya meringkuk di atas lantai dengan keadaan yang acak acakan.

"Bukk!! bangun Bukkk!!" menepuk pelan pipi Nenek Khom, namun tidak ada respon sama sekali. Celingak celinguk melihat sekeliling rumah mencari keberadaan anaknya