Chapter 18 - Tabrakan

Aktivitas di sekolah itu berjalan normal seperti biasanya. Harry, sebagai guru yang baru beberapa minggu mengajar, sudah terlihat menyatu dengan kondisi dan sistem pembelajaran yang diterapkan di sana. Bakat dan kemampuannya pun langsung terlihat.

Nama Harry Wardana seketika menjadi terkenal, hampir semua siswa-siswi di sekolah itu pasti tahu dengan guru baru yang satu ini. Guru dengan wajah tampan, tubuh tinggi besar dan body atletis, bukan karena fisik ia dikenal, tetapi lebih cenderung kepada bakat dan kemampuan yang ia miliki.

Bukan hanya di lingkungan sekolah, berita kehebatan guru muda itu juga sudah sampai di telinga orang tua siswa di rumah. Banyak dari mereka memberikan apresiasi dan merasa senang dengan guru baru itu.

Seperti halnya dengan salah satu orang tua siswa yang sekarang sedang ada di ruang kepala sekolah. Ia sengaja datang untuk menemui kepala sekolah dan guru muda dengan banyak bakat dan kemampuan itu, sekedar ingin mengucapkan rasa terima kasih secara langsung atas perubahan positif yang terjadi pada diri putranya.

Memang, dari puluhan siswa-siswa yang urakan, sulit diatur, tengil dan nakal, selalu ia dekati. Dirangkul dan dididik, serta diberi pengarahan khusus dengan metode penyentuhan jiwa. Metode yang sangat ampuh ini ia terapkan dan sudah membawa hasil yang signifikan.

Sekarang hanya tinggal satu dua murid yang belum berhasil ia taklukkan, termasuk halnya Mila dan Daniel.

Bell tanda istirahat sudah terdengar, suasana di kantin sekolah mulai terlihat ramai. Seperti biasa, murid-murid perempuanlah yang paling banyak dijumpai dalam ruangan tersebut.

Dengan aneka ragam makanan dan minuman yang dipesan, masing-masing dari mereka mencari tempat yang dirasa nyaman untuk menikmati hidangan dan santai sejenak.

Tidak beda halnya dengan rombongan murid-murid cantik yang memilih tempat di pojok ruangan itu. Selain menikmati pesanan, mereka tampak ramai dengan obrolan seru yang sedang jadi topik utama beberapa hari belakangan ini.

Mereka sangat antusias dan bersemangat untuk memuji pak Harry, karena selain tampan dan pintar, juga pandai untuk mengambil hati murid-muridnya.

"Tadi pagi aku berpapasan dengan pak Harry, tadinya aku pikir orangnya sudah tua. Ternyata beliau masih muda dan ganteng," celoteh gadis dengan rambut di kuncir kuda di sana dengan wajah berbinar.

"Sama, Beb. pertama kali aku melihat beliau, juga seakan tidak percaya. Ini guru atau artis, kok ganteng banget sih!" sahut gadis dengan tubuh sedikit gemuk, seakan tidak mau kalah dengan pujian teman di sebelahnya.

Tanpa disadari, ternyata perbincangan mereka yang ramai itu, sangat mengganggu bagi gadis cantik yang duduk di deretan kursi depan.

Dua gadis cantik yang selalu datang bersama ke kantin itu tidak lain adalah Mila , bunga sekolah nan cantik jelita yang menjadi idola dan rebutan bagi kalangan kaum adam di sekolah tersebut.

Seperti biasa, ia selalu ditemani oleh sahabat sejatinya Della yang juga tidak kalah cantik denganya. Hanya saja, tubuh Mila lebih tinggi dibanding Della.

Telinga gadis cantik sang bunga sekolah itu merasa sakit dengan obrolan cewek-cewek di belakangnya. Meskipun dalam hati Mila, sebenarnya ia juga mengakui ketampanan dan kemampuan guru baru di sekolah itu seperti siswa lainnya.

Semenjak hari pertama guru itu mengajar, Mila sudah menampakkan sinyal permusuhan, ditambah lagi setelah minggu kemarin Rendi memutuskan hubungan dengannya. Rasa bencinya semakin tidak bisa dibendung karena ia yakin, guru itulah salah satu penyebabnya.

Kenyamanan dan ketenangan yang biasanya ia rasakan saat menikmati makanan di kantin, sudah tidak ada lagi. Rasa haus dan lapar seketika hilang. Kini, dengan wajah yang diselimuti kemarahan, gadis cantik berambut pirang itu segera bangkit dari duduk dan mengajak gadis yang duduk tepat di hadapannya untuk segera pergi dari tempat itu.

"Kamu kenapa sih, Beb? Baksoku belum habis ini," tanya gadis yang masih saja menikmati makanan kesukaan tanpa melihat ke arah Mila.

"Udah deh. Ayo, kita keluar dari sini. Malas aku liat nenek-nenek rempong di belakang itu," jawab Mila dengan nada suara yang ditekan karena menahan marah sembari manik beningnya melirik ke arah rombongan siswi yang ada di pojok ruangan itu.

Dilla yang sudah berteman lama dengan Mila, tentulah sudah sangat paham dengan sifat dan karakter sabatnya itu. Saat ia menyadari kalau Mila sedang tidak enak hati, sehingga segera bangkit dari tempat duduk.

Sesaat kemudian kedua gadis cantik itu melangkah keluar dari kantin dengan tergesa-gesa. Beberapa pasang mata siswa yang melihat kejadian itu hanya bisa saling pandang dan geleng-geleng kepala.

Mila yang masih tampak emosional, terlihat berjalan cepat ke arah ruang kelas tanpa memperdulikan teman yang sedang mengikuti di belakangnya. Obrolan dan beberapa pertanyaan Dilla sama sekali tidak ia hiraukan.

Sehingga saat kedua gadis melewati kantor sekolah, karena pikiran dan emosinya sedang tidak terkontrol,tubuh Mila menabrak guru yang baru saja keluar dari dalam kantor dengan membawa tumpukan buku di tangan.

Pak guru dengan tubuh tinggi besar itu kaget karena ditabrak oleh Mila, seketika buku-buku yang ada ditangannya pun jatuh berserakan di lantai. Mila yang masih dalam kuasa emosi, tidak mau mengalah dan mengakui keteledoran, justru marah-marah.

Apalagi setelah ia tahu kalau yang ditabrak adalah guru baru yang menjadi musuhnya, emosinya semakin menjadi. Saat pak guru tengah sibuk memungut dan meraih buku-buku yang berserakan, tiba-tiba.

"Kamu lagi Kamu lagi! Kalau jalan lihat-lihat dong!" umpat Mila dengan nada tinggi dan pandangan tajam penuh kebencian, tanpa ada rasa hormat sedikitpun kepada sang guru. Dilla yang melihat kejadian itu segera meraih dan menarik tangan sahabatnya itu untuk mundur. Kemudian mewakili sahabat.

"Ma-maafkan teman saya, Pak," ucapnya dengan suara terbata-bata memohon.

Guru yang sekarang sudah berdiri di hadapan dua siswa perempuan itu hanya tersenyum sehingga deretan gigi putih dan rapihnya terlihat yang membuat ia semakin mempesona.

"Tidak apa-apa, Nak. Harusnya bapak yang meminta maaf karena tidak melihat kalian sedang buru-buru," jawaban sang guru yang membuat Dilla tertunduk malu. Bagaimana tidak, jelas-jelas sahabatnya yang salah karena tidak hati-hati, tetapi justru guru baru itu yang meminta maaf.

Dalam hati, Dilla merasa kagum dengan sifat guru ini karena ia sendiri melihat dan merasakan sendiri sekarang. Itu yang membuat gadis cantik satu ini semakin membenarkan gosip yang sedang ramai diperbincangkan di lingkungan sekolah.

Berbeda dengan keadaan Mila sang bunga sekolah yang masih saja angkuh di depan guru yang sebenarnya ia sendiri mulai bersimpati dan mengakui pesona guru muda itu. Mila masih tidak mau mengakui kesalahan dan masih enggan untuk meminta maaf pada guru yang dibencinya itu.

"Ya sudah, silskan kalian menuju kelas. Bapak juga masih ada kesibukan." Dengan kalimat yang sopan dan berwibawa sang guru tidak ingin mempermasalahkan. Kemudian melangkah ke arah yang berlawanan dengan dua siswa perempuan tadi.

Beberapa siswa yang menyaksikan kejadian tadi semakin kagum dengan pesona sang guru muda yang sedang menjadi bahan perbincangan hangat itu. Guru dengan sifat lembut, rendah hati dan pemaaf dengan kharisma yang luar biasa. Kurang lebih itulah yang ada dalam benak mereka.

Dua sahabat yang selalu lengket seperti perangko itu sekarang sudah sampai di ruang kelas. Wajah Mila masih terlihat kesal, ia segera mendaratkan pantatnya yang sedikit berisi itu di kursi. Sementara Dilla mengikuti gerakan tersebut di sebelahnya.

Sesekali ia mencuri pandang pada sahabatnya yang akhir-akhir ini mudah sekali tersinggung dan emosional. Meskipun sedikit ia bisa menebak, masalah apa yang membuat Mila jadi berubah seperti sekarang. Sebagai sahabat, ingin rasanya ia membantu dan menyadarkan kembali sahabat yang sudah lama ia kenal.

Tetapi di sisi lain ia juga menyadari kapasitasnya, ia sendiri juga tidak jauh beda dengan Mila, terlalu banyak masalah yang harus dihadapi, beban dalam hidup sebagai anak yatim yang harus di jalani olehnya sudah membuatnya merasa stres.

To be continued...