Pagi hari di sebuah gedung besar, dengan tanaman bunga beraneka ragam warna yang mengelilingi pelataran parkir yang luas. Tepatnya di sebuah butik, nampak seorang wanita sedang duduk dengan peralatan tulis dan layar laptop yang menyala.
Wanita berusia 43 tahun dengan wajah yang masih terlihat cantik rupawan. Jari-jemari lentik dengan kuteks warna bening terlihat sedang menari lincah di atas keyboard.
Rambut hitam panjang yang terurai menjuntai menutupi kening dan sesekali ia merapikan ke belakang telinganya. Wajahnya terlihat serius saat fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan.
Yurike Kurniawan, pemilik Kamila's butik sedang mengecek laporan bulanan usaha yang dikelola olehnya. Merasa ada yang janggal, ia segera menghubungi asistennya untuk datang ke ruangannya.
Tidak lama berselang, asisten yang juga teman satu kampus semasa kuliah dulu, sudah berada di depannya.
"Ini kok ada selisih segini banyak, bagaimana ceritanya?" tanya Yurike pada perempuan seusianya, tetapi nampak lebih tua yang masih berdiri di sampingnya. Kedua pasang mata mereka fokus pada layar laptop di depan mereka.
"Ooo .. itu. Tambahan dana dari perlengkapan gaun pengantin yang dibeli oleh putri pejabat tempo hari itu, Nyonya," terang sang asisten penuh semangat.
"Baiklah kalau begitu. Silakan kamu kembali ke ruanganmu," suara bos butik itu yang terdengar sopan.
"Baik, Nyonya," jawab asisten sembari membungkukkan badan dan keluar dari ruangan yang terkesan sejuk itu.
Setelah asistennya keluar, Yurike meraih botol yang terletak di samping kiri meja kerja, meminum sedikit sekedar untuk menjaga agar tidak terjadi dehidrasi. Sesaat kemudian ia kembali fokus meneruskan pekerjaannya.
Tidak terasa hari sudah siang, waktunya makan siang. Yurike segera bergegas keluar dari ruangan melangkah menuju tempat asistennya. Seperti biasanya, dua sahabat ini selalu pergi makan siang bersama.
Setelah berbincang sebentar, terlihat kedua perempuan itu berjalan bersama menuju kantin yang terletak di sebelah gedung itu. Meskipun sudah menjadi pengusaha sukses kaya raya.
Tetapi Yurike tidak berubah dalam kehidupan, tetap rendah hati dan tidak menjaga jarak dengan karyawan yang bekerja di butiknya, juga dengan karyawan di perkantoran dekat tempat usahanya.
Seperti pemandangan siang ini, pemilik Kamila's butik itu nampak sudah berbaur dengan karyawan dan pekerja lainnya yang sedang melakukan kegiatan makan siang di sana. Dengan santai ia menikmati makanan dan minuman yang sudah dipesannya tadi.
Sama sekali tidak menunjukkan kalau perempuan itu adalah pemilik butik dan juga istri dari Anggara Kurniawan. Pemilik Kurnia Jaya grup, yang namanya masuk dalam jajaran top 5 pengusaha sukses di Jakarta.
Setelah selesai makan, Yurike berbincang dengan asisten yang duduk di depannya, juga dengan orang-orang di sekitar. Hanya perbincangan biasa tanpa ada keseriusan, sekedar untuk mengisi waktu di sela-sela jam istirahat.
Sudah setengah jam lebih mereka berbincang dan menghabiskan waktu di sana. Yurike terlihat melirik ke arah mesin waktu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ia segera bangkit dari duduk melangkah menuju kasir.
Kemudian membayar semua makanan yang sudah dinikmati oleh pengunjung yang duduk di sekitar meja tempatnya makan tadi. Hal itu hampir setiap hari ia lakukan dengan alasan sedikit membantu perekonomian katanya.
Setelah membayar makanan, pemilik Kamila's butik itu kemudian berjalan anggun keluar dari kantin bersama asisten setianya, diiringi oleh ucapan terima kasih dari orang-orang yang masih berada di dalam kantin, termasuk karyawan kantin.
Tubuh tinggi semampai dengan rambut panjang terurai dan body yang sedap dipandang itu sudah lenyap di balik gedung tinggi sebelah kantin. Satu dua pengunjung kantin sudah mulai keluar dan menuju tempat kerja masing-masing. Sebagian lagi masih asyik dengan perbincangan yang mereka lakukan.
Karyawan kantin juga tampak mulai sibuk membersihkan dan merapikan meja dan kursi serta peralatan yang baru di pakai oleh pengunjung.
"Andaikan saja semua pengusaha kaya di negeri ini seperti nyonya Yurike, tentulah angka kemiskinan sedikit berkurang," celoteh salah satu karyawan kantin yang sedang mencuci piring dengan wajah berbinar dan tangan yang tetap asyik membelai piring kotor yang sedang ia bersihkan.
"Andaikan saja, aku jadi menjadi menantu dari ibu Yurike, tentu aku tidak perlu repot-repot membilas piring berlumuran sabun yang kamu berikan, Man," jawab pemuda belasan tahun di sebelah yang ada di sebelah lelaki berumur itu dengan wajah serius meskipun ia hanya bercanda.
"Tentu bisa, Kamu dijadikan menantu oleh nyonya Yurike. Asalkan kamu operasi plastik dulu biar mukamu kelihatan ganteng, tidak kusut hitam seperti itu." Si lelaki berumur menimpali dengan mimik muka yang sedikit meledek.
"Hei, orang tua! Tanpa aku operasi plastik juga bisa diterima jadi menantu ibu Yurike karena sebenarnya wajahku ini ganteng lho. Hanya saja masih kusembunyikan. Aku sedang menyamar menjadi orang jelek biar bisa mengimbangi kamu," jawab anak muda itu dengan tawa lebar dan sebentar melempar pandangan ke arah yang tidak tentu.
Ibu kantin hanya bisa geleng-geleng kepala dan senyum-senyum sendiri mendengar candaan dua karyawan yang belum genap satu bulan ia datangkan dari kampung untuk membantu pekerjaannya di kantin yang ia kelola ini.
Ada sekitar sepuluh pekerja di kantin itu yang semuanya berasal dari kampung halaman wanita itu, sehingga mereka sudah saling kenal dan saling memahami satu dengan lainnya. Itu yang membuat ibu kantin lebih mudah untuk mengarahkan pekerjaan kepada mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Setelah semua pekerjaan diselesaikan, pengunjung kantin juga sudah sepi. Setelah menyuruh karyawan untuk makan siang juga, ibu kantin mempersilakan sebagian karyawan untuk istirahat. Hanya menyisakan beberapa karyawan yang untuk tetap berjaga sesuai jadwal yang sudah diaturnya.
Tidak lama setelah itu, kondisi kantin pun normal kembali, tidak seramai dan sesibuk saat pagi dan jam istirahat makan siang. Pemandangan itu yang tiap hari tersaji di salah satu tempat makan di kawasan Jakarta.
To be continued...