Sinar matahari masih sedikit menyengat meskipun waktu sudah melebihi jam 4 sore. Suasana di belakang mansion Agung Bramasta, tepatnya di sasana yang merupakan salah satu kelengkapan fasilitas gedung mewah itu.
Terlihat seorang lelaki dewasa dan dua pemuda belasan tahun akan melaksanakan latihan tinju yang sudah berjalan seminggu terakhir ini. Harry Wardana, Rendi Bramasta serta Alex Bramasta merupakan guru dan murid, sekaligus paman dan keponakan.
"Ayo, Paman. Alex sudah tidak sabar untuk latihan," celoteh pemuda kecil penuh semangat sembari tangannya membetulkan celana pendek yang ia kenakan.
"Sabar dulu, Nak! Kita persiapkan mental dulu dan yang terpenting, kita rapikan dulu tempat latihan itu," jawab sang pelatih, sambil jari telunjuknya mengarah ke alat-alat yang sedikit berserakan di dalam sasana.
Ketiganya masuk dan langsung membereskan alat-alat yang sudah tidak terpakai. Sesuai permintaan dari Agung Bramasta, ayah kandung Rendi. Harry diminta untuk membimbing dan mendidik dua putranya ini, agar mampu bersaing dengan teman sebaya mereka dalam segala hal positif.
"Paman, kalau sudah besar nanti, aku mau menjadi petinju kelas berat dunia, boleh, kan?" tanya Alex sambil menepuk-nepuk tangannya yang sedikit kotor karena debu .
"Badan kurus seperti itu kok mau jadi petinju dunia?" Kakaknya yang berada disebelah Alex menimpali dengan kalimat ejekan lidah yang sedikit dijulurkan.
"Sudah-sudah! jangan ribut. Semua orang bisa menjadi petinju kelas dunia, asalkan rajin untuk berlatih dan punya semangat yang tinggi," jawab sang pelatih sambil menatap kepada dua muridnya.
"Latihan kalian ini, semata-mata hanya untuk menambah kemampuan dan menjaga diri, bukan untuk menjadi petinju profesioal," terang Harry kemudian sambil melangkah diiringi oleh mereka berdua.
Salah satu pendidikan yang diberikan Harry ialah melatih tinju dan bela diri. Bukan untuk menjadikan mereka sebagai petinju ataupun atlet profesional, tetapi lebih mengarah kepada kemampuan dan keterampilan karena sebagai putra sulung, Rendi memang dipersiapkan untuk menggantikan posisi sebagai presiden direktur Bramasta shield, yang sekarang masih dipegang oleh Agung.
Meskipun belum genap seminggu kegiatan tinju ini berjalan, tetapi Rendi sudah terlihat lumayan. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah dulu, Rendi sudah pernah dimasukkan ke sasana yang dilatih oleh teman Agung. Akan tetapi, hanya berjalan beberapa bulan saja karena seterusnya Rendi enggan untuk berlatih.
"Kak, ayah bilang. Kamu dulu juga jadi petinju, ya? tanya si kecil Alex sambil menepuk punggung kakaknya.
"Iya, kakak dulu adalah petinju terkenal. Bahkan Mike Tyson yang terkenal itu sudah pernah kakak kalahkan," jawab Rendi dengan percaya diri karena ia tahu kalau adiknya belum memahami dunia tinju.
"Kalau Kakak petinju terkenal, kok masih minta dilatih oleh paman Harry?" si kecil yang makin penasaran terus mengintrogasi kakaknya.
"Itu karena kakak harus menghormati paman dan ayah, bukankah kita diajarkan untuk menghormati dan menghargai orang yang lebih tua dari kita?" Sang kakak terus berdalih dan menerangkan kepada adiknya.
"Ooo ... Iya ... ya? Kalau begitu, Kak Rendi saja yang di latih oleh paman Harry, biar Alex berlatih sama kakak saja" jawaban polos si kecil sontak membuat Rendi dan Harry tertawa lebar.
"Dasar, anak kecil!" jawab Rendi sembari mencubit pipi tipis adiknya.
Semenjak Harry tinggal di mansion ini, Rendi sudah sangat berubah dan terlihat menurut pada paman angkatnya hampir dalam segala hal. Termasuk juga sudah dekat dan menyayangi adiknya. Itu yang membuat sang ayah semakin senang karena sebelum ini, apalagi semenjak ibunya meninggal, Rendi sangat susah di atur dan jarang pulang ke rumah.
Agung Bramasta hampir merasa putus asa dengan kondisi dua putrannya, apalagi putra sulungnya yang semakin urakan. Berkali-kali ia sudah mendekati dan menasehatinya, terapi hasilnya nihil. Justru Rendi semakin menjadi dan susah untuk ditemuinya.
Sang ayah tahu, Rendi terlihat bahagia dengan hidup dan segala kemewahan yang mendukung. Segala kebutuhan, kemauan dan keinginan si sulung itu selalu diberikan serta terpenuhi. Akan tetapi, Agung menyadari kalau putranya itu sama sekali tidak bahagia. Apalagi semenjak di tinggal ibunya, jiwa Rendi seperti terguncang.
Agung Bramasta merasa sudah gagal mendidik dua putranya yang semuanya laki-laki. Ia menempuh segala cara agar anak-anak bisa menjadi baik kembali seperti dulu, tapi hasilnya tetap sama. Hingga suatu ketika, saat dirinya stress dengan kondisi perusahaan dan rumah tangganya. Ia pergi berkunjung ke rumah orang tua angkatnya di banten, sekedar untuk menenangkan diri dan pikirannya.
Shindu Wardana, ayah angkat Agung menawarkan untuk membantu dengan cara mengutus putranya, yaitu Harry Wardana untuk membantu mengurus dan menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami olehnya.
Agung tidak banyak bertanya tentang kemampuan dan kapasitas Harry, yang ia tahu kalau eyang angkatnya itu sudah mempercayakan seseorang. Apalagi putranya sendiri, berati orang tersebut sudah tidak diragukan lagi dan pasti bisa membantunya.
Benar saja, baru beberapa hari saudara angkatnya tinggal di mansion mewahnya, Harry sudah terbukti membawa perubahan besar dalam keluarganya. Kedua anaknya sudah berubah dan sangat menghormati serta menurut pada ayah serta paman angkat mereka.
Kembali ke sasana, dua pemuda berusia belasan tahun, yaitu Rendi dan Alex, sekarang sudah siap memulai pelatihan yang diberikan oleh Harry.
Seperti biasa, sebelum latihan dimulai mereka melakukan pemanasan terlebih dahulu. Kedua pemuda dengan semangat dan konsentrasi tinggi terus mengikuti arahan dan instruksi dari Harry, mulai dari pernapasan dan gerakan tanpa ada yang terlewat sedikit pun.
"Paman. Alex boleh istirahat dan minum sedikit, kan?" Si kecil bertanya sambil tangannya sudah meraih botol minuman yang ada di meja pojok ruangan.
"Tidak boleh! Nanti kekuatan perutmu berkurang kalau terlalu banyak minum," jawab sang pelatih yang sengaja ngerjain Alex.
Sesudah gerakan pemanasan dirasa cukup, Harry melangkah ke arah lemari besi di sudut ruangan, sebelah tempat Alex minum tadi.
Kemudian kembali lagi dengan membawa dua pasang sarung tinju dan memberikan kepada Rendi dan Alex. Setelah memasangkan sarung tinju kepada dua muridnya itu, sang pelatih segera melangkah ke arah dua samsak yang ada di sasana dan memeriksanya.
Sementara itu, si bungsu Alex yang suka bercanda dan mengganggu kakaknya, sebentar-sebentar meninju pantat kakaknya dengan pukulan ringan. Rendi yang risih dan dibuat kaget oleh adiknya sekali-sekali berteriak dan matanya melotot.
"Hei, Alex. Sakit tahu!" Sang kakak mencoba menghardiknya, tetapi sama sekali Alex tidak merasa takut.
"Katanya petinju dunia, kok cuma disentuh sedikit bilang sakit?" Alex masih saja menggoda kakaknya. Bahkan sekarang ia memukul samping lengan kakaknya yang terlihat lebih besar dari lengannya.
"Aduuh!" pekik si Rendi dan tangannya yang sudah memakai sarung itu, seketika bergerak mengarah ke wajah Alex, tetapi pukulan itu ia urungkan dan segera meraih tubuh adiknya untuk dipeluknya.
Harry yang tadi sedikit khawatir dengan ulah Alex, segera membuang rasa itu karena ia yakin bahwa Rendi sebenarnya sangat menyayangi adik satu satunya tersebut.
Kejadian itu masih saja berlangsung, Alex sama sekali tidak menggubris dan masih saja mengganggu kakaknya yang saat sedang serius memperhatikan sang guru menata samsak yang digantung.
To be continued...