Sementara di belakang dapur, Yanti yang baru selesai membuang sampah di tong besar, sedang penasaran dengan apa yang di lihatnya. Seekor burung yang bertengger di ranting pohon buah, burung yang bulunya berwarna cantik berkilauan tersorot lampu taman dan baru kali pertama ini ia melihatnya.
Rasa penasaran itu seketika hilang dan berganti dengan ketakutan yang muncul tiba-tiba. 'Jangan-jangan itu hantu yang sedang menyamar,' bisik Yanti dalam hati, saat itu juga bulu kuduknya berdiri. Ia segera bergegas melangkah masuk ke dapur. Sesampainya di dapur Yanti terkejut melihat Wanto yang sedang berdiri di dekat freezer, karena saat keluar tadi, di dapur hanya ada dua pembantu teman Yanti.
"Wanto. Kamu ngapain di sini?" tanya Yanti keheranan. Belum lagi si pemuda menjawab.
"Dia sedang menunggu kamu, mau di ajak nonton katanya," jawab perempuan berjidat putih karena tempelan tepung, tanpa memberi kesempatan kepada Wanto untuk menjawab pertanyaan dari janda muda tersebut.
"Sembarangan!" umpat singkat dari bibir seksi milik janda bohay itu sambil melangkah anggun bagai seorang model melewati pemuda lugu.
"Bukan begitu, Bik Yanti. Wanto di suruh oleh pak Darno, untuk memintamu membuatkan tiga gelas kopi," jawab pemuda kampung yang masih lugu dengan tertunduk dan sesekali mencuri pandang pada Yanti.
"Ooo, Begitu. Sebentar aku buatkan, kamu duduk di kursi itu dulu," jawab Yanti sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di dekat pintu.Kemudian mengambil tiga gelas dari lemari perabot dekat meja dapur.
"Baik, Bik Yanti. Terima kasih." jawab Wanto singkat, sambil duduk di kursi yang di tunjukkan Yanti tadi.
"Wanto. Kamu suka yang manis apa pahit kopinya?" tiba-tiba pemuda itu di kagetkan oleh pertanyaan Yanti.
"Aku nurut saja," jawab Wanto singkat dengan pandangan matanya masih berkeliaran ke setiap sudut ruangan dapur. 'Dapur kok mewah begini, bahkan lebih mewah dari ruang tamu rumah pak lurah di kampungku' diam-diam Wanto berbicara dalam hatinya.
"Lelaki itu harus punya inisiatif, jangan cuma nurut saja, jadi kurang hot" bukannya Yanti yang menjawab, justru perempuan berjidat putih itu yang masih terus ngerjain Wanto.
Ketika pandangan Wanto sedang serius menyusuri tiap sudut ruangan dan perabotan yang ada di dalamnya, tanpa sadar matanya mengarah ke tubuh Yanti yang sedang sibuk menakar gula ke dalam gelas sambil berjoget-joget kecil, tanpa memperdulikan orang-orang yang ada di ruangan tersebut.
Meskipun ia hanya pemuda kampung yang lugu dan baru pertama kali menginjakkan kaki di kota Metropolitan ini. Tetapi sebagai lelaki normal, ia tidak bisa mengingkari apalagi menolak kenyataan, pemandangan di depan mata yang sedang ia lihat sekarang. Jiwa kelelakiannya seketika muncul dan otak mesumnya mulai mengkontaminasi akal sehatnya.
'Tubuh tinggi, Parasnya cantik, kulit putih bersih, lekuk tubuh yang sempurna, usianya juga masih muda. Kok sayang kalau di biarkan tetap menjanda. Andai saja aku bisa menidurinya?' pikiran mesum Wanto mulai muncul dan bereaksi menjalar ke sekujur tubuhnya. serasa ada sesuatu yang menegang di organ vital kepunyaan Wanto.
"Ini kopinya sudah jadi. Kamu bawa sendiri saja, aku mau membantu membuat kue," kalimat Yanti menyadarkan lamunan jorok pemuda lugu itu.
"Baiklah, Bik Yanti. Terima kasih" ucap Wanto yang langsung bangkit dari duduknya dan segera meraih serta membawa nampan berisi tiga gelas kopi yang di sodorkan oleh janda bohay barusan, tanpa sempat membetulkan celananya.
"Sama-sama. Nanti kalau kuenya sudah matang, aku antar ke sana," jawab Yanti sambil geleng-geleng kepala. Karena janda muda itu baru saja melihat sesuatu yang aneh dalam diri Wanto. Ada sesuatu yang menonjol dan terlihat besar di dalam celana pemuda itu. Sesaat, Yanti langsung menelan salivanya.
Setelah Wanto keluar dari dapur, Yanti segera bergabung dengan temannya untuk membantu membuat kue kesukaan nyonya dan tuan mereka.
Sampailah sudah Wanto di tempat duduk sebelah taman, ia segera meletakkan nampan di atas meja yang berada di tengah-tengah kursi besi itu.
"Silakan, pak Darno dan Mang Udin. Kopinya di nikmati. Semua takaran gula dan kopinya sama kata bik Yanti." ucap Wanto sambil menyodorkan gelas kepada dua orang tua yang duduk berseberangan itu.
"Terima kasih, Wanto." jawab pak Darno, di ikuti oleh mang Udin, sambil mendekatkan gelas yang berisi kopi ke tempat mereka duduk.
"Wanto, Apakah kuenya belum matang?" pak Darno melanjutkan pertanyaan, sambil tangannya menuangkan kopi yang masih panas ke tatakan.
"Belum, nanti bik Yanti akan mengantar ke sini kalau sudah matang." jawab Wanto sambil merapikan posisi duduknya.
"Bagus, kalau janda muda itu yang mengantar sendiri kesini. Kita bisa dapat melihat sedikit pemandangan dari tubuh indah janda itu," pak Darno menjawab sembari mengedipkan mata ke arah mang Udin.
"Ingat, Kita sudah uzur, strimu juga ada di sini pak Darno. Biarkan saja buat Wanto yang masih muda," balas mang Udin sambil melebarkan senyumnya dan menatap ke arah Wanto. Seketika, Wanto yang sedang minum, tersedak karena kaget mendengar kalimat yang di ucapkan mang Udin.
Melihat temannya sedang kesusahan, kedua orang tua itu justru tertawa terbahak bahak. Menjadikan Wanto semakin salah tingkah di buatnya.
Sementara di gedung utama mansion, Mila yang sudah selesai mandi dan merias wajahnya, dengan memakai dress putih tanpa lengan, sepatu high heels, rambut panjang yang terurai. Ia melangkah menuruni tangga dan menuju ruang keluarga, dimana bik Minah sudah menunggunya di sana.
"Tuan putriku cantik sekali. Sangatlah beruntung lelaki yang nantinya menjadi pendamping hidupmu, Non." ucap bik Minah begitu melihat kedatangan dan penampilan nona muda, dengan raut wajah yang menunjukkan kebahagiaan. Tanpa sadar, wanita paruh baya itu langsung berhambur dan memeluk gadis muda nan cantik jelita itu.
Mila yang tidak sempat dan tidak mau menghindar, hanya bisa menerima pelukan kasih dari orang yang sudah mengasuh dan merawatnya sedari kecil hingga ia tumbuh dewasa seperti sekarang ini. Tanpa ia sadari, tangan lembutnya ikut memeluk dan mengusap punggung bik Minah.
Meskipun pemandangan ini sudah sering terjadi, tapi kedua wanita ini tidak pernah bosan untuk melakukan hal yang demikian. Hanya saja, kali ini serasa ada yang beda dengan bik Minah, pelukan yang hangat dan kuat seolah ada rasa kekhawatiran dalam diri wanita paruh baya itu.
"Sudah, Bik. Mila geli tau!" kalimat datar yang terucap dari bibir sensual itu, menyadarkan pembantu yang sedang memeluk erat tubuhnya tersebut. Sejatinya gadis muda itu tahu akan kekhawatiran yang sekarang sedang dirasakan oleh pengasuhnya itu, tetapi ia belum tahu tentang apa.
"Non, Bibik ingin menemani Non Mila, sampai tua. Bibik tidak ingin jauh dari Non Mila," kalimat bik Minah yang tidak seperti biasanya ini menambah rasa penasaran dalam diri gadis cantik itu. Apalagi dengan posisi bik Minah yang seperti enggan untuk melepaskan pelukannya
"Iya, Bik. Bik Minah, harus dan akan terus bersamaku sampai tua, sampai aku beranak pinak," jawab Mila, menenangkan emosi dan menghibur wanita paruh baya itu sambil sedikit merenggangkan pelukannya.
" Bik Minah, Kenapa! Ada apa Bik, kok tiba-tiba seperti ini?" tanya Mila setelah tubuh keduanya saling berhadapan.
"Bibik tidak tahu, Non. Bibik hanya merasa takut," jawab bik Minah dengan wajah mulai memerah dan bulir bening sudah mulai merayap turun di sudut matanya.
"Jangan takut lagi, Bik. Aku baik-baik saja dan akan selalu baik," jawab gadis cantik itu untuk menenangkan perasaan wanita yang sudah lama mengasuhnya.
To be continued...