Wajah Mila sekarang terbenam dalam pangkuan bik Minah. Entah kenapa setiap kali ada masalah, seberat apapun masalah yang Mila hadapi. Saat sudah berada dalam pangkuan bik Minah dan mendapat belaian lembut dari wanita paruh baya tersebut, serasa semua beban akan hilang seketika.
Alasan itulah yang membuat Mila selalu mempertahankan posisi wanita yang sudah merawat dan mendidiknya sedari kecil, serta melarang bik Minah untuk pergi dari keluarga dan kehidupan Mila.
Akibat terlalu larut dalam suasana, tanpa disadari oleh kedua wanita yang saling melengkapi, beberapa saat kemudian sudah tiba di halaman mansion milik keluarga besar Anggara Kurniawan.
Mobil sudah terparkir tepat di halaman samping mansion. Pak Darno segera keluar untuk membukakan pintu bagi sang gadis dan pendampingnya.
" Sudah sampai rumah, Non. Silakan turun," kalimat sangat santun dan terdengar indah yang selalu terucap dari sopir pribadi Syifa Kamila.
Kedua wanita beda generasi itu segera turun dan bergegas masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam, nampak ayah dan ibu si gadis tengah duduk di ruang keluarga dengan ponsel di tangan dan kesibukan masing-masing.
Mila pun melangkah ke arah mereka, sekedar untuk menyapa. Selanjutnya Mila langsung melangkah naik ke lantai atas menuju kamar.
Tidak lama berselang, bik Minah juga naik ke lantai atas sambil membawakan makanan karena ia tahu kalau nona muda belum sempat makan sedari sore.
Sesampainya didepan kamar Mila, dengan kedua tangan yang membawa makanan dan minuman, ia memanggil gadis remaja asuhannya. Mila segera membukakan pintu dan mempersilakan wanita itu untuk masuk.
"Non Mila mau membersihkan badan dulu?Atau mau langsung makan sekarang? Atau mau minta disuapin oleh bibik?" serentetan pertanyaan keluar dari bibir bik Minah yang membuat nona muda itu langsung pura-pura pingsan.
"Non-nona Mila, bangun Non," seru bik Minah dengan sangat panik.
Saat pembantu itu hendak keluar untuk mencari pertolongan, tiba-tiba Mila sudah berlari mendahului dan menghadang wanita paruh baya yang sedang panik. Mila justru meledek dengan menjulurkan lidah ke arah bik Minah.
"Aduuuh, Non Mila, bikin bibik jantungan saja," ucapnya sambil mencubit lengan si gadis.
"Ayo, Bik, suapin Mila. Mila sudah sangat lapar. Atau Bik Minah mau memandikanku lagi?" ucap Mila masih saja meledek.
"Sudah-sudah, mari bibik suapin. Setelah ini, bibik mau istirahat. Badan bibik capek sekali," terang bik Minah.
Kamila yang tahu kalau bik Minah benar-benar kecapean, langsung meraih piring yang dipegang oleh pembantunya.
"Biar Mila makan sendiri saja. Silakan Bik Minah istirahat, sudah malam. Besok bangun pagi dan berangkat ke sekolah," ucap Mila yang sangat senang jika keduanya sudah saling menggoda.
"Baiklah, Nona muda yang jelek, bibik pamit mau renang dulu," sahut bik Minah tidak kalah dengan candaan majikan muda. Sambil berlalu dari kamar Mila.
Ketika sudah di lantai dasar, bik Minah langsung menemui kedua bos besarnya yang masih berada di ruang keluarga. Seperti biasanya, pembantu kesayangan Mila sekaligus kepala pembantu di mansion milik tuan Anggara Kurniawan selalu memberikan laporan harian tentang perkembangan nona muda.
Setelah dirasa cukup dan tidak ada yang serius, bik Minah dipersilakan untuk istirahat. Kedua pasangan pengusaha kaya raya itu juga segera berjalan beriringan menuju kamar untuk beristirahat setelah seharian penuh berkutat dengan kesibukan masing-masing.
*******
Sementara itu, Rendi dan guru pembimbingnya saat ini terlihat masih terjebak dalam kemacetan.
"Sampai kapan jalanan ini akan terus macet seperti ini?" keluh Rendi yang sedari tadi sudah ingin segera sampai di rumah untuk istirahat.
"Situasi seperti ini sebenarnya bisa buat pelajaran, Nak Rendi," guru di sebelahnya menimpali.
"Enakan hidup di kampung ya, Om. Tidak ada macet, hidup tenteram damai, jauh dari polusi," tanya pemuda yang sedang merasakan perubahan dalam dirinya. Mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Sama saja, Nak Rendi. Di manapun kita tinggal, asalkan kita bisa bersahabat dengan siapapun, hidup akan terasa damai.
"Om Harry, ceritakan dong tentang masa lalu ayahku, kok bisa kenal Eyang Shindu? Bagaimana awalnya?" Rendi mencoba mengorek keterangan.
"Kalau diceritakan, butuh waktu lama itu," jawab singkat dari sang guru sekaligus paman dari si pemuda tampan yang sedang mengemudi.
"Begitu ya, Om? Kapan-kapan ceritakan ke Rendi, ya. Biar Rendi bisa mengambil pelajaran dari masa lalu ayahku," balas Rendi yang masih penasaran.
"Baiklah, suatu saat nanti pasti paman akan bercerita," jawab Harry.
"Om, kita berhenti makan dulu aja, ya. Aku lapar," terang si Rendi.
"Boleh, kita cari makan di kaki lima saja ya," pinta guru tampan.
"Siap, selepas jembatan itu ada warung kaki lima yang ramai pengunjung, Om. Kita coba ke sana." Rendi kini terlihat makin bersemangat.
Entah karena apa, cowok muda yang selama ini selalu angkuh dan sombong dengan gengsi yang tinggi, sekarang berubah drastis. Biasanya ia paling alergi kalau diajak makan di pinggir jalan. Justru saat ini, ia terlihat sangat antusias untuk mencobanya.
Tepat di depan warung yang dimaksud, Rendi menepikan mobil untuk mencari tempat parkir karena warung yang dimaksud terbilang cukup ramai. Mobil sport berwarna merah terpaksa parkir lumayan jauh dari lokasi makan.
"Tidak apa-apa kita parkir di sini ya, Om, yang penting bisa makan, perut Rendi sudah protes dari tadi minta diisi," celoteh si pemuda dengan wajah polos.
"Tidak masalah," jawab Harry sembari keluar dari mobil.
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju warung seafood. Rendi yang terlihat canggung langsung mendekat dan memesan makanan. Sedangkan Harry yang sedari tadi memperhatikan tingkah pemuda anak didiknya itu cuma tersenyum tipis.
Sambil menunggu pesanan makanan, keduanya terus asyik berbincang kesana kemari. Sesekali ikut nimbrung perbincangan pengunjung di sekeliling mereka.
"Maaf, apa benar anda putranya tuan Agung Bramasta yang tersohor itu?" Tiba-tiba salah satu pengunjung warung mendekat ke tempat duduk Rendi.
"Bu-bukan, Om. Aku tidak kenal dengan nama Agung Bramasta," jawab Rendi kebingungan.
"Oooo .. Baiklah kalau begitu, berarti saya salah orang. Maaf ya, Anak muda. Saya sudah mengganggu," terang orang misterius itu sambil melangkah pergi dari warung.
Rendi semakin dibuat bingung. Saat pikirannya sedang berkecamuk, pelayan warung datang membawa makanan dan minuman pesanan Rendi dan Harry.
Kedua lelaki muda segera menyantap hidangan yang sudah tersaji di depan mereka. Awalnya, Rendi terlihat agak aneh, lama-lama ia menikmati makanan itu dengan lahap juga.
Perbincangan hangat masih saja berlanjut di sela-sela keduanya menikmati makan malam mereka hingga tanpa disadari, menu seafood yang ada di meja sudah habis tanpa tersisa. Keduanya saling pandang, sesaat kemudian tawa Harry dan Rendi muncul bersamaan.
Setelah dirasa cukup, Harry segera bangkit melangkah menuju kasir untuk membayar, belum sempat sampai tempat yang dituju, Rendi sudah mendahuluinya.
"Kali ini biar Rendi saja yang membayar, Om. Besok gantian, Om Harry yang traktir saya," ucap si pemuda dengan sedikit bercanda.
Lelaki yang lebih dewasa itu hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala. Keduanya segera bergegas meninggalkan warung.
Paman dan keponakan itu segera masuk ke dalam mobil mewah dan terlihat sudah duduk di posisi masing-masing. Rendi segera tancap gas dan mobil melaju kencang meninggalkan lokasi.
"Karena Rendi sudah kenyang, kita langsung pulang saja, Om," dengan bersemangat si keponakan berbicara kepada paman yang duduk di samping.
Sementara itu, Harry hanya mengangguk dengan tersenyum tipis di bibirnya. Namun, ada sesuatu yang terbersit di pikirannya saat ini. Tadi ia sempat melihat murid perempuannya dari balik spion mobil tengah berteriak memanggil-manggil, tetapi sama sekali tidak dipedulikan oleh Rendi.
'Ada apa sebenarnya dengan mereka?' gumam Harry yang kini tengah sibuk memikirkan gadis kecil yang menurutnya memiliki wajah sangat cantik dan menggemaskan tersebut.
To be continued...