Chapter 8 - Wajah Polos

Harry sudah kembali ke tempat duduknya, terlihat masih ada sedikit sisa makanan yang dihidangkan oleh pegawai restoran. Setelah menghabiskan minuman miliknya, ia teringat akan janjinya pada Rendi untuk menerangkan perihal yang sudah terjadi di sekolah tadi kepada ayah dari siswa malang itu.

"Pak Bayu, setelah ini saya mohon izin untuk menemui tuan Agung Bramasta. Biar saya menumpang ke mobil tiga pegawai beliau ini," ucap Harry di sela-sela perbincangan mereka.

"Baiklah Pak Harry, silahkan bereskan dulu masalah ini, biar saya pulang sendirian saja," jawab kepala sekolah dengan senyuman khas.

Setelah dirasa cukup, acara makan siang bersama itu pun mereka akhiri dan segera beranjak dari tempat itu, keluar dari restoran.

Mobil Fortuner hitam keluaran terbaru itu terus melaju menyusuri jalanan ibukota yang sarat dengan kemacetan. Perbincangan dari empat penumpang di dalamnya semakin renyah, lebih banyak membincangkan masa lalu mereka saat masih sama-sama menimba ilmu di padepokan milik eyang Shindu Wardana dahulu.

Kini, mereka sudah sampai di depan rumah mewah nan megah penuh dengan penjaga yang ketat. Penjaga pintu yang mengenali siapa-siapa yang datang langsung bergegas membukakan gerbang dan mempersilakan mereka. Saat ini, mobil hitam tersebut sudah terparkir di halaman nan luas dengan pemandangan taman yang menyejukkan mata.

Semua penumpang turun dan berjalan beriringan masuk ke dalam rumah bos besar nan dermawan. Sesampainya di dalam, mereka disambut oleh satu anggota yang pulang terlebih dahulu untuk mengantar anak bos tadi yang langsung mengajak mereka ke arah aula lokasi yang biasa digunakan saat ada pertemuan besar.

Sesampainya di sana, terlihat tuan Agung Bramasta yang sedang duduk santai di kursi kebesaran ditemani sang anak yang masih menundukkan kepala dan terlihat murung, duduknya pun sedikit menjauh dari sang ayah.

Sepasang ayah dan anak itu memang sedari tadi sudah menunggu kedatangan mereka. Begitu melihat semua sudah datang, sang tuan rumah langsung berdiri menyambut kedatangan mereka. Hal yang tidak kalah heboh adalah sang putra, begitu melihat tamu-tamu yang datang dan salah satunya adalah pak guru yang hampir saja ia bikin celaka, anak muda itu langsung berlari ke arah guru tampan itu dan bersimpuh, tangisnya pecah seketika sembari terus memegangi bagian bawah kaki sang guru.

Agung Bramasta yang melihat kejadian itu hanya tersenyum datar, tetapi hatinya sangat puas dengan perubahan yang terjadi dalam diri anak sulungnya sekarang. 'Baru satu hari mengajar, saudara angkatku sudah berhasil menaklukkan anakku,' gumamnya dalam hati.

"Silahkan semuanya duduk," ucap tuan rumah dengan suaranya yang besar dan berwibawa itu memecah keheningan.

Semua yang hadir menganggukkan kepala sambil duduk di sofa yang sudah tersedia dalam ruangan besar tersebut.

"Selamat datang di rumahku, saudaraku, duduklah di sini di dekatku," pinta bos besar itu sambil menatap ke arah Harry Wardana.

Semua orang pun segera melangkah menuju sofa yang berada di samping tempat duduk tuan rumah itu. Setelah saling berpelukan mereka berdua akhirnya duduk dengan gaya santai masing masing.

"Rendi anakku, sekarang kamu sudah tau siapa orang yang duduk disebelah ayah, kan? Mulai saat ini, beliaulah yang akan membimbing dan mendidikmu. Ayah sudah membicarakan ini semua jauh-jauh hari sebelum semua ini terjadi," ucap bos besar membuka pembicaraan.

"Siap, Ayah. Dengan senang hati ananda menerima semua yang sudah ayah rencanakan untuk kebaikan ananda," jawab Rendi bersemangat dengan sedikit mengedipkan mata ke arah guru barunya itu.

Semua yang hadir merasa senang dan lega dengan jawaban serius yang keluar dari mulut Rendi.

****

Sementara di rumah Rian, sepulang sekolah, ia masih bermalas malasan, memainkan game di ponsel yang telah di download. Sesaat ia membayangkan hal buruk yang akan terjadi. Andai saja ia tetap mengikuti dan menuruti siasat Rendi sahabatnya yang terkenal jadi preman di sekolah.

Saat itu juga ia teringat pada kekasih pujaan hatinya, tempat berkeluh-kesah saat ia ada masalah serius. Maklum saja karena ibu Rian juga sibuk bekerja dan ayahnya hanya sebulan sekali pulang ke rumah.

Setelah basa basi menanyakan kabar dan keberadaan kekasihnya via telpon, ia meminta sang pujaan hati datang ke rumahnya sekalian diminta untuk membawakan makanan karena sedari tadi perutnya belum dapat jatah dan mulai merasa lapar.

Sementara Laura yang sedari sudah cukup istirahat karena sekolahnya memang pulang lebih awal, sangat bahagia mendapatkan telpon dari Rian, sang Arjuna tambatan hatinya. Terlihat sangat bersemangat mempersiapkan diri untuk segera meluncur ke rumah sang kekasih untuk melepas kerinduan. Makanan yang Rian pesan juga sudah ia persiapkan.

Setelah semua dirasa cukup, gadis belia nan cantik rupawan itu segera memesan taksi untuk mengantarkan dirinya pergi ke rumah sang kekasih pujaan hati. Tidak lama berselang, ponsel berdering dan segera diangkat olehnya. Ternyata dari sopir taksi yang mengabarkan kalau sudah standby di depan rumah.

Dengan anggun ia melangkahkan kaki keluar rumah, langsung menunggu dan masuk karena sang sopir sudah membukakan pintu begitu melihat gadis yang memesan taksinya keluar dari rumah mewah tadi.

Beberapa saat setelah mobil melaju. "Jalan Kartini 20 A ya, Nona," tanya pak sopir menanyakan lokasi tujuan.

"Iya. Betul, Pak. Kecepatannya sedikit ditambah ya, Pak," jawab dan pinta si gadis singkat.

"Baiklah, Nona," sahut pak sopir sembari menambahkan volume suara speaker fasilitas taksinya.

Kurang dari 30 menit, mobil yang membawa Laura telah tiba di tempat tujuan. Gadis cantik berambut pirang itu segera menyodorkan ongkos. "Terima kasih. Kembalinya buat anak bapak saja," ucapnya sambil keluar dari taksi.

"Terima kasih juga, Nona cantik," sahut pria tengah baya itu yang terdengar lirih karena penumpangnya sudah menutup pintu taksi yang mengantarnya itu.

Gadis berambut pirang dengan tubuh ramping itu terus melangkah ke gerbang rumah Rendi yang tidak terkunci. Sesaat ia sudah sampai di depan pintu utama rumah dinas milik orang tua dari kekasihnya.

Laura mengepalkan tangan untuk mengetuk pintu berwarna coklat di hadapannya. Sampai dua kali ia mengetuk pintu tersebut, barulah yang empunya rumah muncul dan membukakan pintu berukuran besar dengan kayu super dan ukiran klasik itu.

Laura bengong sesaat setelah melihat cowok ganteng dengan kaos oblong serta rambutnya acak-acakan. "Sayangku, Rian. Kamukah itu?" tanya gadis cantik itu sambil menyipitkan matanya.

Sementara yang ditanya cuma diam dengan senyum menggoda, langsung meraih tangan gadis itu dan mengajaknya masuk.

Setelah keduanya duduk di ruang tamu dan saat sang gadis mengikat rambutnya. "Sayang, mana makanan yang aku pesan?" tanya si cowok tanpa basa basi dan wajah polosnya.

"Apa? Jadi kamu cuma butuh makanan yang aku bawa, tidak membutuhkan kehadiranku?" jawab si cewek dengan sedikit kesal.

"Bukan begitu, sayangku yang manis. Aku sangat merindukanmu, membutuhkanmu dan mencintaimu. Tapi aku sangat lapar," timpal si cowok sambil mencubit mesra pipi kekasih pujaan hatinya.

Kemudian gadis cantik itu segera mengambil dan membuka bungkusan yang dibawa dengan sudut bibir melengkung ke atas, yang menandakan sangat bahagia.

Sementara itu, si cowok muda yang tak lain adalah Rian terus memperhatikan pergerakan tangan si gadis tanpa sedikit pun berkedip.

To be continued...