"Pak guru?" ucap Rendi lirih dengan suara gemetar. Entah karena ketakutan atau sebab wibawa yang terpancar dari diri guru muda yang sekarang sudah ada di depannya itu.
Dari jauh, pak Bayu yang sedari tadi menyaksikan kejadian itu mengangguk-anggukan kepala. Dalam hatinya mengakui kehebatan guru muda yang sekarang jadi bawahannya tersebut.
Adapun dua bodyguard yang dulu pernah dididik oleh pak Harry dan paham betul akan kemampuan guru itu sudah memprediksi kalau masalah seperti ini tentulah mudah diatasi oleh beliau.
Selanjutnya, pak Harry mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Rendi, sedikit ragu pemuda itu menyambutnya.
"Perkenalkan, Harry Wardana namaku, aku anak dari eyang Shindu Wardana, tentulah kamu tidak asing dengan nama itu kan, Nak?" terang guru tampan itu sembari menjabat tangan Rendi.
"Shindu Wardana? bukankah itu nama orang tua angkat ayah saya yang tinggal di Banten?" jawab Rendi keheranan.
"Iya kamu benar, Nak. Beliau ayah saya sekaligus orang tua angkat dari ayahmu. Dan akulah saudara angkat ayahmu yang sebulan lalu diminta datang ke kota ini untuk membantu pekerjaan ayahmu," jawab Harry dengan percaya diri.
"Jadi, kamu Om Harry yang ayah ceritakan kemarin-kemarin itu?" jawab Rendi yang mulai menyadari akan kesalahannya.
"Betul, Nak. Maafkan Paman, ya karena kesibukan hingga belum sempat menemuimu di sekolah tadi."
Kedua kaki Rendi yang kokoh tiba-tiba bergetar, lemas serasa tak mampu lagi menopang tubuhnya, hingga pemuda itu jatuh tersungkur ke tanah. Tangan Rendi meraih kaki guru muda berwibawa yang masih tegak berdiri.
"Maafkan aku, Paman. Ampuni muridmu ini, guru. Aku khilaf dan hampir saja mencelakakanmu." Rendi memohon penuh dengan rasa penyesalan.
"Hukum Rendi sesukamu, Paman. Asal jangan laporkan peristiwa ini pada ayah. Hukum saja Rendi, Paman," pinta pemuda malang itu dengan tangis yang kian menjadi.
Rendi sadar bahwa apapun langkah atau kegiatan anak buah dan pegawai ayahnya pasti harus dengan persetujuan beliau. Jadi dia juga tau kalau sekarang ayah sudah mendengar hal ini yang pastinya akan menghukum berat atas kesalahan yang ia lakukan ini.
Harry membungkukkan badan, mencoba meraih tangan dan berusaha meminta preman kecil itu berdiri. Setelah Rendi berhasil ia bangkitkan, kedua tangan Harry mengelus pipi dan mengusap air mata sang pemuda dengan lembut penuh kasih sayang.
"Kamu tidak salah, Nak. Buat apa paman menghukummu?" jawab pak guru dengan senyum yang seakan membawa kedamaian dalam jiwa Rendi. "Tenang saja, nanti paman yang akan bicara langsung dengan ayahmu," imbuhnya, yang sedikit membuat Rendi merasa lega.
Sontak si pemuda langsung meraih tubuh gurunya, mendekapnya erat seolah tidak mau melepaskan pelukan dengan suara tangis yang mulai mereda. 'Betapa mulia hati orang ini,' gumamnya dalam hati'.
Harry melonggarkan pelukan anak dari saudara angkatnya tersebut sekaligus muridnya di sekolah yang baru saja ia datangi. Pak guru itu menatap kasihan pada pemuda malang ini.
"Sudah ... sudahlah, Nak. Semua akan baik baik saja. Ini hanya kesalahpahaman kecil. Sekarang kamu pulang, ya. Biar satu pegawai ayahmu itu mengantarmu pulang ke rumah dan setelah ini paman akan menghubungi ayahmu." Guru bijaksana itu mencoba menenangkan dan kembali memeluk tubuh Rendi dengan kasih sayangnya.
"Baiklah, Om. Aku akan pulang ke rumah sekarang juga. Terima kasih dan sekali lagi maafkan kebodohan muridmu ini, ya," balas si pemuda sambil bersalaman dan terus menciumi tangan guru dan juga saudara ayahnya tersebut.
"Iya, Nak," jawab Harry singkat sembari tangan halusnya terus mengusap beberapa kali kepala muridnya.
Kali ini Rendi berpamitan kepada semua yang ada di sana dengan sopan, pemandangannya beda jauh ketika si pemuda datang tadi. Diiringi oleh satu pegawai ayahnya yang ditunjuk pak Harry, pemuda insyaf itu melangkah menuju mobilnya.
Semua memandang ke arah mobil sport keluaran terbaru itu hingga mobil melaju dan hilang dari pandangan mereka. Suasana hening sesaat, kemudian mereka saling pandang satu sama lain.
"Mari kita lanjut ke makan siang, kasihan pegawai restoran yang sudah kita booking dari tadi menunggu," terdengar suara dari salah satu bodyguard anak buah Agung Bramasta memecah keheningan. Tanpa komando, tiba-tiba semua yang ada di lokasi tertawa bersama. Dilanjutkan berjalan melangkah ke mobil masing-masing.
Di dalam mobil tua nan antik yang sedari tadi sudah melaju ke arah restoran terpilih, dua guru itu masih saling diam. Hanya terdengar lagu lawas dari speaker yang terdapat di dalam mobil klasik itu.
"Kamu hebat, Pak Harry. Ternyata berita yang aku dengar selama ini benar adanya dan aku baru saja menyaksikannya sendiri," ucap kepala sekolah memecah kebisuan sambil menengok ke arah guru muda nan tampan yang duduk di samping beliau.
"Ah, Pak Bayu bisa aja. Tadi itu hanya kebetulan saja saya bisa meredam emosi dan menyadarkan Rendi dari khilafnya," jawab Harry merendah.
"Tidak salah tuan Agung Bramasta merekomendasikan anda untuk bergabung di sekolah kami. Setidaknya mampu menambah satu lagi deretan guru-guru muda berbakat seperti, Anda," pak Bayu menimpali dan masih saja memuji pegawai barunya itu.
"Sudahlah, Pak Bayu. Jangan dibahas lagi. Anggap saja peristiwa tadi tidak pernah terjadi. Lagi pula perut saya sudah keroncongan minta di top up ini," balas guru muda dengan candanya.
"Kalau begitu, sama dengan kondisi perutku ini yang sudah tidak bisa diajak kompromi," timpal kepala sekolah tidak mau kalah dengan humornya.
Setibanya mereka di depan restoran yang sudah ditentukan. Mobil sudah terparkir rapi. Dua guru itu langsung bergegas masuk kedalam, mencari lokasi yang sudah dibooking oleh lelaki kekar yang merupakan anak buah ayahnya Rendi.
Dengan pakaian yang khas dan body di atas rata-rata, tentu tidak sulit bagi dua guru yang baru saling kenal ini untuk menemukan bodyguard-bodyguard yang sepuluh menit tadi masih bersama mereka.
Setelah menemukannya, guru-guru itu dipersilakan duduk karena makanan dan minuman yang dipesan sudah disediakan dari tadi.
"Bukan kita yang tua dan tidak berani ngebut, sehingga sedikit telat di belakang kalian, tapi mobilku itu yang sudah banyak umur, tidak bisa melaju dengan cepat," celoteh pak Bayu untuk mencairkan suasana, di sambut gelak tawa oleh semua yang hadir ditempat itu.
Di sela-sela acara makan tersebut, Harry pamit izin mau ke toilet, diiyakan oleh semua orang yang ada di pinggir meja disana. Setelah keluar dari toilet, guru tampan itu tidak langsung kembali ke rombongan makan bersama itu.
Ia justru terlihat berjalan menuju kasir dengan maksud ingin membayar makanan dan minuman yang sudah dinikmati oleh teman dan muridnya di sana.
Setelah tiba di meja kasir, Harry meminta tagihan kepada pegawai yang sedang bertugas disana. Pegawai wanita nan cantik jelita itu pun menyodorkan nota tagihan kepada Harry.
Melihat nominal yang tertera di nota tersebut, matanya sedikit melotot seakan mau copot melihat begitu banyaknya digit yang tertera.
'Waw ... fantastik sekali harganya? Tetapi tidak apalah, uangku masih cukup untuk membayar tagihan ini. Belum sampe 10 juta pun,' Harry berkata dalam hati.
"Maaf , Mbak. Aku tidak bawa uang cash, ini pakai kartu kredit saya saja bayarnya," ucap Harry sembari menyodorkan kartu kredit kepada pegawai wanita di depannya.
"Maaf, Bos, tagihan ini sudah dibayar oleh tuan Agung Bramasta," jawab si pegawai singkat tanpa ada kecurigaan karena restoran ini sudah biasa di booking oleh penguasa preman di wilayah Jakarta raya itu.
"Ooo ... jadi sudah dibayar lunas ya, Mbak," seru guru muda itu kembali memastikan.
"Betul, Bos. Sudah dibayar lunas, bahkan jauh sebelum tuan-tuan menyantap hidangan yang kami suguhkan," jawab wanita cantik itu menerangkan.
"Ya sudah kalau begitu. Terima kasih, Mbak," jawab Harry. Kemudian melangkah meninggalkan meja kasir itu.
Selama berjalan menuju meja hidangan, Rendi tidak henti-hentinya menggelengkan kepala. 'Memang saudara angkatku Agung itu benar-benar sudah menjadi lebih tua dalam pemikiran. Tidak sia-sia ayahku menjadi pembimbing spiritualnya' bisiknya dalam hati.
To be continued...