"Bang… itu.. itu.."
Aku merasa hari ini adalah hari yang sangat berat. Aku sudah membayangkan setelah hari ini tidak akan ada lagi kebebasan di masa-masa sekolah pada umumnya.
"Terus maunya apa?"
"Aku timpuk juga kalau kelakuan kamu kayak gitu!!"
Sumpah aku hampir tak percaya dengan apa yang ku lihat saat ini. Bang Riko sedang bersenda gurau bersama kak Leon. Bahkan keduanya tampak begitu akrab.
"Bang Riko kenal sama kak Leon?" Tanyaku penasaran.
"Apa? Kak Leon? Dih… geli tau nggak kamu panggil dia Kakak!! Sama aku aja kamu suka panggil Bang, Abang.. dikira aku Bambang!!" Protes bang Riko padaku.
"Lah?? Selama ini Abang nggak pernah protes kenapa sekarang jadi protes sih??"
"Siapa suruh kamu panggil orang lain manis gitu, giliran sama kakaknya sendiri manggil Bambang!!"
"Ya Tuhan!! Yang panggil Bambang siapa coba?? Asal tau aja, kenapa aku panggil Abang, jadi abang tuh panggilan kesayangan!! Kalau nggak mau ya udah mulai sekarang aku panggil kakak deh," kataku kesal.
"Kayak gitu tuh kelakuannya. Doyan ngambek," terang bang Riko pada kak Leon.
"Jadi kalian kakak adik?"
"Ya begitulah…"
"Kok aku nggak pernah tau kamu punya adik cewek?" Tanya kak Leon.
"Ngapain juga aku ngenalin adik cewek bawel kayak gitu, udah gitu manja banget lagi," keluh bang Riko.
"Nggak usah ngejelekin aku deh Kak," kataku.
"Kalau tau sedari awal dia adik kamu, pasti…"
"Pasti apa? Jangan macam-macam ya!!" Ancam bang Riko pada kak Leon.
"Kak Riko apaan sih??"
"Apaan?? Kamu panggil aku apa?"
"Kak Riko…"
"Coba ulangi lagi…"
"Kak Riko…" dengan malas aku menuruti permintaan bang Riko.
"Panggil biasanya aja!! Nggak enak di denger!!"
"Gimana sih?? Tadi protes!! Sekarang protes lagi!!'
"Duh… udah Non, Den!! Kenapa malah berantem terus sih? Udah, Bibi mau pulang dulu ya, ngambil keperluan Den Riko selama disini," kata bi Asih menengahi.
"Hati-hati ya Bi," kata kak Leon yang tentu saja membuat bi Asih malu. Saking malunya sampai-sampai mau menabrak pintu saat keluar.
"Hahahaha…" bang Riko dan kak Leon kompak tertawa bersama.
Aku melirik keduanya penuh tanya. Tapi lupakan rasa penasaranku sejenak, aku baru ingat kenapa bisa ada di rumah sakit.
"Bang!! Sekarang jelasin sama aku kenapa akhirnya masuk rumah sakit!! Kepala Abang makin sakit??" Tanyaku sambil mendekat.
"Enggak juga sih. Dokter Ibnu aja yang lebai, mentang-mentang dari pagi kepalaku masih pusing terus dipaksa rawat inap!!"
"Itu sih Abang aja yang ngeyel kebangetan!! Udah dibilang dari kemarin suruh rawat inap malah nggak mau!!"
"Emang tu kepala kenapa Rik?" Tanya kak Leon.
Aku terpana mendengar kak Leon memanggil nama bang Riko dengan santainya.
"Jatuh, kebentur tangga doang. Cuma ya itu, karena jatuhnya ketimpa cewek gendhut, alhasil lukanya lumayan," ucapan bang Riko sontak saja membuatku kesal.
"Eh… kok bisa?"
"Ya itu gara-gara kelakuan tuh anak yang pastinya pecicilan sampai lututnya bonyok, terpaksa aku gendong dia ke atas. Nggak tega liat dia naik tangga pincang," jelas bang Riko.
Dan aku takjub melihat reaksi kak Leon. Baru kali ini aku lihat sisi lainnya. Dia yang terkenal dengan wajah datar, tiba-tiba saja tertawa terbahak di depanku. Aku seperti melihat orang lain, ya meskipun sebenarnya aku juga masih menganggapnya orang asing.
"Sebenarnya kalian ada hubungan apa sih??"
Akhirnya aku pun menanyakan perihal rasa penasaranku tentang hubungan mereka.
"Dia adik kelas aku pas sekolah dasar. Terus kita juga satu perguruan silat, satu tempat nge-gym, satu tongkrongan, sat-"
"Udah cukup nggak usah dilanjutin lagi. Dan asal kamu tau ya Bang, temen kamu ini yang udah bikin lutut aku bonyok."
"Beneran Le?"
"Iya.. nggak sengaja juga. Adik kamu lagi jalan tau-tau balik badan. Aku lagi buru-buru juga, jadinya ketabrak deh," terang kak Leon.
"Nah kan bener. Pasti karena kamu pecicilan, Nit! Punya adek cewek satu aja kelakuan minta ampun!!"
"Iya!! Salahin aja aku terus Bang!!"
"Kamu kok gitu sih sama adik kamu sendiri? Kasihan tau,"
"Dia emang kayak gitu kalau sama aku!! Nggak usah heran Kak,"
"Tapi aku bener-bener minta maaf ya soal kejadian kemarin. Lutut kamu jadi luka, dan bahkan gara-gara itu nih orang juga jadi kena imbasnya," kata kak Leon seraya mencolek bang Riko.
"Nggak apa-apa kok Kak, toh ini salah aku juga."
"Tapi ngomong-ngomong kenapa kamu bisa nganterin nih bocah sih?"
"Bang Riko!! Stop panggil aku bocah!!"
"Kalian ini bener-bener prik ya, hahaha…" aku terpana untuk ke sekian kalinya melihat tawa yang keluar dari sang ketua OSIS.
"Jadi tadi tuh aku lihat ada yang panik gitu pas terima telepon abangnya masuk rumah sakit, akhirnya aku inisiatif anterin karena merasa bersalah gara-gara lututnya itu. Eehhh nggak tahunya ternyata kamu Rik.." imbuh kak Leon.
"Ohhh … jadi ada yang khawatir nih ceritanya? Padahal biasanya ngajak berantem mulu.." kata bang Riko.
"Mana ada!!" aku mengelak atas tuduhan yang sebenarnya memang benar. Aku hanya malu untuk mengakuinya. Karena pada kenyataannya hubungan kami baru belakangan ini menjadi lebih dekat.
Aku hanya melihat bang Riko menatapku sesaat sambil tersenyum tipis. Dan akhirnya aku menjadi obat nyamuk karena keduanya asyik mengobrol.
Untuk menghilangkan jenuh, aku pun melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi. Apalagi kalau bukan main handphone. Masih ada beberapa chat yang belum sempat aku baca tadi. Jariku terhenti ketika melihat nama kak Dimas di layar handphone.
'Ada yang perlu aku bicarakan. Bisa kita ketemu nanti?'
Aku tersenyum membacanya namun seketika kesal karena pasti tidak bisa memenuhi keinginan kak Dimas. Apalagi kalau bukan karena ada bang Riko. Dulu sebelum bang Riko mulai mencampuri urusanku, kemanapun aku pergi dan dengan siapapun itu, pasti tidak akan menjadi masalah. Tapi semenjak bang Riko merubah sikapnya, hidupku serasa dipenjara. Apa-apa diatur oleh bang Riko.
'Maaf Kak. Bang Riko sedang dirawat di rumah sakit. Aku harus menemaninya. Mungkin bisa dibicarakan besok di sekolah.'
Dengan berat hati aku pun membalas chat kak Dimas. Sambil menunggu balasan, aku mendengarkan musik dengan earphone yang selalu ku bawa. Sempat kulihat bang Riko dan kak Leon masih asyik mengobrol. Aku memilih untuk keluar ke beranda kamar melihat suasana di luar rumah sakit.
Angin yang berhembus cukup kencang membuat rambutku terbang kesana kemari. Langit mulai berwarna oranye karena memang sebentar lagi malam. Kulitku pun mulai merasakan dingin sehingga aku melipat kedua tanganku.
"Kamu nggak dingin? Anginnya kencang gini," suara kak Leon membuyarkan lamunanku.
"Ohh.. ehh.. makasih," aku sedikit gugup ketika kak Leon memakaikan jaket kulitnya untukku. Dan beberapa saat kemudian aku dibuat salah tingkah ketika merasakan tangannya menyentuh rambutku.