"Kamu berani ketemu sama Dimas lagi tanpa sepengetahuan aku?" Tanya bang Riko melihatku terdiam.
"Nggak sengaja Bang… beneran.." jawabku.
"Kamu selalu bilang kayak gitu. Udah berapa kali aku bilang Nita!! Jangan dekat-dekat sama yang namanya Dimas lagi!!"
"Kenapa sih emangnya sama kak Dimas? Dia baik sama aku.."
"Kamu itu masih terlalu polos Nita!! Nggak bisa bedain mana orang baik mana orang jahat!!"
"Mana buktinya kalau kak Dimas itu bukan orang yang baik? Mana Bang??"
"Udah-udah!! Kalian berdua tuh ngapain sih malah berantem??"
Aku hanya melirik ke arah kak Leon yang berusaha melerai kami. Apa sebenarnya tujuannya melakukan ini. Bukankah tadi dia sendiri yang membuat bang Riko tau tentang pertemuanku dengan kak Dimas. Kenapa sekarang tiba-tiba sok baik melerai kami.
"Kita tadi emang nggak sengaja ketemu sama Dimas, dia pergi sama mamanya buat keperluan acara ulang tahunnya.." terang kak Leon yang otomatis membuatku melotot ke arahnya.
"Ulang tahun?? Ohh… aku tau.. pasti kamu diundang kan sama dia? Nggak!! Nggak bakal aku izinin!!" Bang Riko dengan tegas melarang ku padahal aku belum sempat meminta izin. Alhasil aku merasakan hidup ini benar-benar tak adil. Kenapa aku harus mempunyai Abang yang sama sekali nggak bisa ngertiin aku. Padahal aku adalah adik satu-satunya yang seharusnya mendapatkan kasih sayang bukannya malah dikekang.
Aku meninggalkan mereka tanpa bicara apapun. Aku bahkan tak peduli lagi ketika bang Riko memintaku membantunya beres-beres karena hari ini sudah boleh pulang. Untuk marah-marah saja bisa kenapa harus meminta bantuanku. Aku bahkan memilih pulang lebih dulu tanpa berpamitan.
Sepanjang perjalanan aku terus saja mengomel karena mendapatkan perlakuan seperti tahanan. Sampai-sampai driver online yang membonceng ku geleng-geleng kepala mendengar omelanku.
"Maaf nih mbak .. kepala saya sampai pusing nih denger mbaknya ngedumel terus dari tadi.." keluh driver online itu.
"Eehhh .. apaan sih Pak. Bapak sih nggak tau gimana rasanya jadi saya. Bawa aja motornya yang bener!! Nggak usah dengerin apa yang saya bilang!!" kataku kesal.
"Ya gimana mau nggak denger kalo mbaknya ngomel-ngomel di dekat telinga saya. Mau nggak mau saya kan jadi denger.."
"Iiiihhhh bapak ngejawab mulu perasaan dari tadi.."
"Kalau saya boleh kasih saran nih.. sebelum mbak bener-bener menyesal nantinya, mendingan mbak baik-baik deh sama abangnya.. saya yakin dia begitu demi kebaikan mbak.."
"Eh ..jangan sok tau deh Pak!!"
"Bukannya sok tau mbak .. tapi sebelum menyesal nantinya loh.. bayangin aja kalau nanti tiba-tiba kita kehilangan orang itu, pasti baru berasa kalau dia itu melakukan semuanya demi kebaikan kita.."
Berhenti sampai disitu, aku memilih diam. Entah kenapa mendengar kata kehilangan, membuatku sedikit takut. Bagaimanapun juga Abang nggak tau soal rahasia yang masih ku simpan rapat ini. Kalau Abang sampai tau, mungkin aku memang benar-benar baru merasakan berartinya dia di hidupku. Dia pasti ninggalin aku, padahal dia adalah satu-satunya yang ku punya saat ini.
"Kok diem mbak? Udah nggak ngomel lagi?" tanya driver itu lagi.
"Udah capek.." jawabku singkat.
Sesampainya di rumah aku bertemu bi Asih yang sedang bersiap-siap pergi.
"Bibi mau kemana?"
"Lah?? Kok non Nita ada disini? Den Riko panik mencari non dari tadi. Katanya di telepon nggak diangkat, di chat nggak bales.. ini den Riko nyuruh saya buat nyariin non.."
Aku melihat handphoneku, memang ada banyak notif pesan dan panggilan tak terjawab dari bang Riko. Sebenarnya aku merasa sedikit bersalah karena tak membantunya, tapi disana kan udah ada mata-matanya Abang, si kak Leon itu.
"Ya udah Bi, aku mau masuk dulu. Biarin aja tuh si Abang pulang sama mata-matanya.." kataku sambil ngeloyor pergi.
"Mata-mata? Maksud non siapa sih? Den Leon ya?" tebak bi Asih yang ku jawab dengan deheman saja.
Aku sempat melihat bi Asih menelepon seseorang yang bisa ku pastikan itu adalah bang Riko. Aku tak mau ambil pusing dan segera mandi. Aku sempat membuka media sosial untuk refreshing setelah mandi. Dan aku dikagetkan oleh suara pintu yang dibuka kasar.
Brakkk!!!
Aku langsung terjingkat mendengar pintu kamarku yang seperti mau lepas dari tempatnya. Aku melihat wajah bang Riko merah padam dan mendekatiku. Jujur saja aku takut dan berjalan mundur perlahan.
Tapi begitu jarak kami dekat, wajah bang Riko berubah lembut kembali. Bahkan dengan cepat bang Riko merengkuh tubuhku dan dipeluknya erat. Aku sampai terkejut dan tak tau harus berbuat apa selain membalas pelukannya yang jarang sekali ku dapatkan. Aku melihat kak Leon berdiri di dekat pintu dan tersenyum tipis. Kemudian dia pergi meninggalkan kami entah kemana.
"Kamu jangan bikin aku khawatir bisa nggak? Jangan pernah pergi sendiri dalam keadaan emosi.. aku tau kamu tadi pasti lagi marah kan? Sampai pesan dan telepon dariku nggak kamu jawab.."
"Maaf.."
"Jangan kayak gitu lagi, oke?"
"Iya… berarti Abang udah nggak…"
"Kalau masalah Dimas, aku tetap nggak suka kamu deket-deket sama dia!!" Bang Riko langsung melepas pelukannya dan kembali memarahiku.
"Udah sana keluar kalau cuma mau marah-marah nggak jelas!!" Aku mengusir Abang dengan mendorongnya sekuat tenaga.
"Ini semua tuh demi kamu Nita!!"
"Bodo amat!!"
Aku menutup pintu kamarku dan menguncinya. Rasanya abangku itu memang pantas jadi aktor papan atas karena pintar sekali bermain drama. Sebentar-sebentar baik, tak lama kemudian berubah menyebalkan.
Beberapa hari berlalu sejak hari itu, aku masih menjaga jarak dengan Abang meskipun tiap hari diantar jemput ke sekolah. Aku berusaha mencari cara, bagaimana agar bisa mendapatkan izin ke ulang tahun kak Dimas yang akan diadakan besok malam. Aku berharap dengan diamku ini, bang Riko berubah pikiran.
"Kamu nggak sarapan dulu Nit?"
"Nggak.."
"Ya udah tunggu bentar, aku ambil jaket sama kunci motor dulu.." kata bang Riko tanpa menghabiskan sarapannya.
Aku menunggu di luar sambil membaca banyaknya pesan dari Kay tentang acara besok. Kepalaku malah makin pusing jika membahas itu karena sampai sekarang aku belum mengantongi izin dari Abang.
"Nih bawa .." bang Riko menyodorkan kotak makan berbentuk hati padaku.
"Itu roti isi.. buat sarapan kami di sekolah nanti. Dari kemarin kamu nggak mau sarapan. Kalau perut kamu bermasalah gimana?" imbuh bang Riko karena aku hanya memandangi kotak itu.
Mendengar penjelasan bang Riko aku meletakkan kembali kotak itu di meja. Sebenarnya aku terharu dengan perhatian bang Riko, tapi aku harus segera mendapatkan cara agar diizinkan pergi. Bang Riko menghela nafas panjang dan malah duduk di sampingku.
"Kamu mau apa?" tanyanya.
"Aku tau kamu pasti pengen sesuatu kan makanya berubah kayak gini?" tanyanya lagi karena aku cuma menggelengkan kepalaku.
"Nggak ada.."
"Ya udah kalau nggak ada… yuk berangkat kalau memang nggak ada yang mau kamu omongin…terus nih dibawa buat sarapan disana daripada jajan terus..!!" bang Riko memasukkan kotak itu ke tasku dengan paksa.
Aku memanyunkan bibirku sambil mengikuti langkah kaki bang Riko. Setelah membonceng motornya, kami segera menuju ke sekolah dan sungguh sial nasibku karena harus bertemu dia di depan gerbang sekolah.