Aku segera mengeluarkan handphone dan mulai mencari aplikasi untuk memesan taxi secara online. Namun handphoneku malah terjatuh karena terlalu panik. Berulang kali aku mengambil handphone kembali, berulang kali pula kembali terjatuh.
"Hei… kamu kenapa? Tenang dulu, jangan panik," kata orang tadi.
"Aku harus ke rumah sakit sekarang," kataku.
"Apa lutut kamu separah itu sampai harus ke rumah sakit?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut orang tadi membuatku terpaksa melihat ke arahnya.
"Kak Leon?" Batinku.
"Nita!!" Aku terperanjat mendengar suara yang memanggilku.
"Kamu kenapa? Kamu diapain sama dia hah?" Tanya Kay begitu tiba di sampingku.
"Abang masuk rumah sakit Kay, aku harus segera kesana sekarang," terangku.
"Bang Riko kenapa memangnya?"
"Ceritanya panjang Kay. Anterin aku ke rumah sakit sekarang bisa?"
"Ya udah yuk!!" Aku bisa bernafas lega saat Kay menarik tanganku untuk mengikutinya ke tempat parkir. Biasanya Kayla memang membawa sepeda motor ke sekolah. Namun perasaanku berubah tak enak ketika tiba-tiba saja Kay membalikkan badannya dan menatapku.
"Sorry Nit. Aku lupa kalau hari ini aku nggak bawa motor. Tadi dianterin ayah aku," kata Kayla sambil menggaruk tengkuknya.
"Ya udah aku pesan online aja kalau gitu."
Namun sudah berkali-kali aku mencoba, aku gagal mendapatkan ojek maupun taxi secara online dengan notif server sedang sibuk.
"Kay!!! Gimana nih?"
"Aku anterin ke rumah sakit, nih!!"
Di tengah kebingungan yang melanda, tiba-tiba saja kak Leon sudah berada di depanku sambil menyodorkan helm untukku. Kak Leon sudah memakai jaket kulit hitam dan helm sport berwarna merah.
"Ayo buruan naik!!" Katanya sambil memberikan kode untuk segera naik ke motor gedhe miliknya.
"Udah sana naik!! Katanya mau cepet ke rumah sakit!" Imbuh Kay.
Akhirnya aku pun membonceng motor kak Leon tanpa peduli pandangan murid-murid lain yang terlihat takjub dengan apa yang mereka lihat.
"Jangan ngebut-ngebut Kak. Jagain itu temen aku," kata Kayla ketika kak Leon mulai melajukan motornya.
Kak Leon hanya menoleh sebentar dan mengangguk. Sebelum keluar dari pintu gerbang sekolah, kak Leon berhenti karena akan menyeberang jalan. Saat itulah aku melihat kak Dimas yang secara kebetulan ada di sebelah kami.
"Nita?? Kamu mau kemana? Kenapa sama orang ini?" Tanya kak Dimas dengan nada tidak suka.
"Ohh… aku.. aku mau ke-"
Belum sempat aku menjawab, kak Leon sudah melajukan kembali motornya. Aku sempat menoleh ke belakang dan melihat kak Dimas yang berwajah masam.
"Pegangan!!"
"Hah??"
"Pegangan!!"
"Hah??'
Aku sebenarnya mendengar kak Leon memintaku untuk berpegangan padanya, namun mana mungkin aku melakukan itu. Aku bahkan belum mengenalnya secara pribadi. Sesaat kemudian kak Leon mempercepat laju motornya sehingga terpaksa aku berpegangan, lebih tepatnya berpegangan pada tas ranselnya yang berada di tengah-tengah kami.
"Rumah sakit Medistra kan?" Tanyanya lagi.
"Iya Kak," jawabku.
Setelah itu kami hanya diam tanpa bicara apapun. Setibanya di rumah sakit, kak Leon ikut turun dan mengantarku masuk ke dalam meskipun sudah aku tolak.
"Aku anter ke dalam."
"Nggak usah dianterin Kak. Aku bisa sendiri kok."
"Kamu sampai sini sama aku, jadi harus ku pastikan kamu sampai di dalem dengan selamat."
Kak Leon tetap bersikeras ikut masuk bahkan jalan mendahuluiku. Aku pun hanya bisa pasrah dan mengikutinya. Sambil berjalan aku membuka handphone milikku yang ternyata banyak chat masuk. Saking banyaknya, aku sampai tidak memperhatikan jalan.
"Simpan dulu handphone kamu. Jalan aja masih kaku kayak gitu, sempat-sempatnya sambil buka handphone!" Kata kak Leon dengan satu tangannya berada di keningku.
Sontak saja aku terkejut karena ternyata aku hampir saja menabrak tembok. Aku tersenyum kaku sambil melihat ekspresi kak Leon yang kesal.
"Ruangannya dimana?"
"Di kamar Kenanga no 1, lantai tiga," jawabku.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku menurut saja ketika kak Leon menggandeng tanganku menuju lift rumah sakit. Bahkan genggaman tangannya tak dilepaskan ketika kami sudah masuk ke dalam lift dan tiba di depan kamar bang Riko.
"Emm… ini kamarnya. Makasih ya Kak udah anter aku. Mau ikut masuk?"
Seketika aku menutup mulutku sendiri karena dengan bodohnya menawarkan masuk. Bisa habis sama bang Riko nanti.
"Lah Non, kenapa cuma di luar aja? Udah ditungguin sama Den Riko tuh, dari tadi ngedumel nanyain kok nggak sampai-sampai sini," kata bi Asih yang tau-tau muncul dari dalam kamar.
"Oh… i-iya Bi. Ini juga barusan nyampe," jawabku.
"Ini siapa Non? Temennya? Duh ganteng bener…" kata bi Asih kumat ganjennya.
"Ih… si Bibi apaan sih, bikin malu aja," bisikku pelan.
"Upzz… ya maaf Non. Kirain di dunia ini cuma ada Den Riko aja yang ganteng, ternyata ada lagi, hihihi…"
"Ehemmm…"
Aku seketika salah tingkah mendengar kak Leon seolah memberi kode bahwa dia masih ada disini.
"Ehh.. ya udah ayo masuk Non. Sama temennya diajak juga tuh, namanya siapa Den biar kenal," kata bi Asih.
"Saya Leon, teman sekolah Nita," kata kak Leon memperkenalkan diri.
'Darimana dia tau namaku?' batinku heran.
"Nita Alesha Candra!" Kata kak Leon di dekat telingaku.
"Hah??" Aku secara refleks menoleh ke arah suara karena mengagetkanku. Wajah kami hampir saja bersentuhan dan itu cukup membuatku malu. Ditambah godaan yang keluar dari bi Asih, membuat kami langsung menjauh.
"Kalian ngapain sih ribut di depan? Nita?? Kamu lama banget sih nyampe sini!! Buruan masuk!!"
Teriakan bang Riko sukses membuat nyaliku menciut. Belum kelar masalah kak Dimas, sekarang bertambah kak Leon. Kalau kak Dimas sih memang jelas ada hubungannya karena aku sering jalan bareng, kalau kak Leon??
"Udah masuk aja sana Non!! Keburu bantal melayang nanti," kata bi Asih.
"Ta-tapi Bi, nanti kalau bang Riko ngamuk gimana?"
"Kenapa kamu takut gitu sih?" Kak Leon dengan santainya malah berjalan mendahuluiku masuk ke kamar bang Riko. Peluh langsung menetes di keningku. Aku benar-benar merasa takut dengan apa yang akan terjadi nanti. Pelan-pelan aku mengikuti kak Leon dan bi Asih yang sudah masuk duluan. Dinginnya AC di kamar itu seolah ingin membantuku untuk mendinginkan pikiran. Namun tidak dengan jantungku yang serasa ingin keluar.
Aku bisa melihat raut wajah bang Riko yang tanpa ekspresi itu. Tapi hal itu justru membuatku makin takut karena aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh bang Riko. Apalagi mata bang Riko yang bergantian melihat ke arahku dan juga kak Leon.
Sementara kak Leon tampak biasa saja dan mengacuhkan pandangan bang Riko. Malah dengan santainya mengambil majalah di meja dan duduk di sofa panjang yang ada di sebelah ranjang.
"Sikap macam apa itu hah??" Kata bang Riko dengan nada tinggi.