Deg!!
Aku baru sadar ternyata orang yang sedari tadi ku perhatikan dengan seksama adalah kak Leon. Orang yang ingin ku hindari dan pada akhirnya malah berada di depanku sekarang.
"A-aku nggak apa-apa kok. M-makasih ya Kak," jawabku gugup.
"Kamu??" Terlihat kak Leon seperti sedang berpikir keras melihat wajahku.
"Mulai deh kambuh, dasar cewek kecentilan!!" Kata Varisa yang membuat kegugupanku lenyap seketika.
"Ya gitu deh Va, kalau nggak tinggal bareng sama orang tuanya. Kelakuannya pasti nggak bener!! Aku yakin orang tuanya pasti malu punya anak kayak dia," tambah Rosi, teman satu gengnya yang sedari tadi diam.
"Sorry! Sepertinya kita di sini untuk belajar. Dan aku rasa kalimat seperti tadi nggak pantas keluar dari mulut seorang pelajar."
Tepat! Aku hampir saja menampar pipi Rosi saat itu juga kalau saja kak Leon tidak berkata demikian. Hati siapa yang tidak terluka ketika mendengar kata-kata yang tidak pantas itu?
"Kamu nggak usah ikut campur!" Kata Varisa seperti menahan amarah yang begitu besar saat menatap kak Leon.
"Kamu yang minta aku untuk ikut campur," kata kak Leon yang terdengar ambigu.
"Kita pergi!!" Varisa akhirnya pergi sambil mengajak teman-temannya.
Jujur aku bingung kenapa mereka memilih pergi, tapi sepertinya aku tidak diberikan waktu untuk sekedar bingung. Kak Leon kembali menatapku dengan seksama dan aku menangkap sebuah ekspresi yang membuatku menelan saliva.
"Kamu yang kemarin kan? Kenapa main kabur aja?" Tanya kak Leon dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Ohh… maaf Kak. Kemarin jemputanku udah datang, kasihan kalau kelamaan nunggu."
"Tapi kamu bisa bilang dulu sama aku kan? Butuh waktu berapa lama emangnya?"
"Maaf Kak. Tapi kan kemarin kamu lagi debat sama temannya, jadi aku nggak enak aja."
Ku lihat kak Leon seperti sedang menahan rasa kesal sebelum akhirnya menghela nafas panjang. Beberapa saat kemudian kak Leon sedikit berjongkok dan melihat lututku.
"Eehhh… mau apa Kak?" Tanyaku yang tentu saja terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba.
"Sampai harus ditutup perban begitu, pasti sakit banget ya?" Tanya kak Leon.
"Udah nggak apa-apa kok. Udah dikasih obat juga sama dokter," jawabku.
"Aku anterin ke kelas yuk."
"Hah?? Nggak usah Kak. Aku bisa jalan sendiri," aku mencoba menolak secara halus. Tapi siapa sangka kak Leon malah mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku.
"Ya udah.. makasih ya Kak," akhirnya aku pun menerima tawaran kak Leon karena diberitahu bahwa ternyata Varisa dan gengnya masih berada tak jauh dari kami.
Baru beberapa langkah kami berjalan beriringan, terdengar suara Varisa yang marah-marah dan pergi menjauh.
"Kamu udah aman sekarang," kata kak Leon.
"Sekali lagi makasih ya Kak, untung aja kamu ngasih tau tadi."
"Ya udah sekarang kamu masuk kelas gih, dan nanti pulang sekolah jangan langsung pulang. Ada yang mau aku kasih, bye!"
"Hah?? Apaan? Kak Leon!!!"
Teriakan ku nyatanya tak didengar dan malah menimbulkan sorak sorai teman-teman sekelasku.
"Ciiieeee…. Itu tadi kak Leon ketua OSIS itu Nit?" Tanya Yesi dengan tawa khasnya.
"Apaan sih…" aku memilih tak menanggapinya dan duduk di kursiku.
"Ternyata kak Leon itu ganteng banget ya… kamu kok bisa barengan dia sih Nit?"
"Iya Nit!! Kenalin dong…"
"Aku juga mau dong Nit. Nggak nyangka wajah yang sering ditutup itu ganteng banget…"
"Pada ngapain sih? Bubar bubar!!"
Aku bisa bernafas lega mendengar suara Kay yang berhasil membebaskan aku dari berbagai pertanyaan seputar kak Leon. Aku tak menyangka teman-teman sekelas bisa seantusias itu dengan sang ketua OSIS yang misterius.
"Kay…"
Baru saja aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, tapi Kay sudah kembali ke kursinya. Tampaknya dia masih kesal padaku dan Yesi karena masih saja tak mau bicara pada kami. Bahkan aku malah kasihan melihat Yesi yang merupakan teman sebangkunya tapi didiamkan saja. Akhirnya aku pun berinisiatif untuk menghampirinya. Namun sayangnya lututku malah menabrak kaki meja.
"Isshhhh…." Aku mencoba mengurangi rasa sakit dengan mengusap lututku.
"Lutut kamu kenapa Nita?? Kok diperban gini sih?"
"Wow… luar biasa!! Sakitku langsung ilang loh Kay denger suara kamu," kataku karena takjub melihat Kay yang khawatir.
"Nggak usah lebay deh!! Aku nanya beneran!!" Kayla tampak kesal mendengar jawabanku.
"Boleh minta tolong bantuin duduk dulu nggak?" Tanyaku memelas, ya tentu saja sengaja agar Kay merasa iba.
"Udah. Sekarang bisa jelasin nggak?" Tanya Kay begitu membantuku duduk. Timbul ide jahilku agar Kay mau tersenyum lagi padaku. Dan drama pun dimulai.
"Ini gara-gara kamu kemarin ninggalin aku tau nggak??"
"Lah? Kenapa jadi salah aku?"
"Ya kamu kenapa pulang duluan kemarin?"
"Emangnya kenapa kalau aku duluan? Toh kamu punya kaki bisa jalan sendiri."
"Iya Kay, aku bisa jalan sendiri. Tapi nyatanya aku jatuh gara-gara nggak ada yang jagain. Biasanya kan ada kamu."
"Kamu nggak usah drama deh Nit."
"Kok tau aku lagi main drama sih?"
"Nitaaaa!!! Ampun deh!! Kamu itu ya!! Aku serius nanya tau!! Aku bener-bener khawatir tau nggak sih??"
"Peluk sini.." kataku dan dibalas dengan pelukan hangat sahabatku itu.
"Jadi kenapa?" Tanya Kay lagi.
"Kan aku udah bilang jatuh tadi."
"Kok bisa jatuh??"
"Hehe… aku ditabrak sama kak Leon."
"What??!! Leon ketua OSIS itu?"
"Iya, siapa lagi.."
"Minta dihajar tuh orang!!"
"Sembarangan aja!!" Aku refleks menyentil Kay yang tersulut emosi.
"Awww!! Sakit tau Nit!!"
"Ya habisnya kamu itu jadi orang kok emosian banget. Aku belum selesai ngomong!!"
"Ya udah buruan. Makanya ngomong tuh jangan setengah-setengah."
"Kak Leon juga nggak sengaja nabrak aku. Aku yang salah, karena nggak merhatiin jalan. Main balik badan aja," terangku kemudian.
"Trus?"
"Apanya yang terus? Terus ya gini, diperban.."
"Maaf ya Nit.."
"Ngapain minta maaf? Kan bukan salah kamu juga. Malah aku yang harusnya minta maaf soal kemarin."
"Nggak!! Aku akui ini salah aku sepenuhnya. Harusnya aku nggak gampang tersulut emosi," kata Kay penuh penyesalan.
"Aku udah maafin tanpa kamu minta maaf. Kamu kayak gitu kan karena terlalu sayang sama aku. Iya kan?"
"Iya." Jawaban singkat dari Kay mampu membuatku terperangah. Padahal aku hanya bercanda menggodanya, tapi ternyata malah jawaban tulus yang ku dapat.
Bel yang berbunyi membuat percakapan kami berhenti. Tapi setidaknya aku lega karena sudah berbaikan dengan Kay.
***
"Kenapa Bi? Tumben nelpon," kataku ketika menjawab telepon bi Asih.
"Den Riko masuk rumah sakit Non.."
Secara refleks aku terduduk lemah di halaman depan sekolah. Otakku serasa kosong mendengar berita itu. Padahal dari awal aku sudah tahu bahwa bang Riko memang seharusnya dirawat di rumah sakit, tapi nyatanya aku masih shock mendengar berita itu.
"Kaki kamu sakit banget ya?"
Aku tak menggubris pertanyaan orang yang tiba-tiba muncul di belakangku. Yang ku pikirkan hanya bagaimana caranya agar aku segera sampai ke rumah sakit.