"Awas Den Riko!! Non Nita!!"
Aku sempat mendengar suara bi Asih sebelum merasakan sebuah benturan cukup keras yang membuat tubuhku sedikit bergeser. Dan anehnya kepalaku tak terasa sakit meskipun posisi jatuhku yang menempel dengan dinding. Saat aku mencoba duduk, akhirnya aku tersadar kenapa tidak merasakan sakit. Itu karena bang Riko yang berusaha melindungi ku dengan tangannya.
"Kamu nggak apa-apa Bang?" Tanyaku panik melihat kepala bang Riko mengeluarkan darah. Dan faktanya bang Riko malah diam tak menjawab pertanyaan dariku.
"Bi Asih!! Tolong Bi!!" Jeritku histeris saking takutnya.
"Den Riko kenapa Non? Duhh darahnya banyak banget!!" Bi Asih tak kalah panik melihat kondisi bang Riko.
"Gimana nih Bi?? Kita angkat berdua aja dulu atau gi-"
"Kalian kenapa teriak-teriak sih? Berisik tau nggak?" Bang Riko mencoba berdiri meskipun sedikit sempoyongan.
"Lah?? Abang kok bisa berdiri sendiri? Bukannya tadi Ab-"
"Tadi apa, hah? Kamu pengennya aku pingsan gitu? Atau kamu maunya aku kenapa-kenapa gitu?" Tanya bang Riko sambil menyeka darah di keningnya.
"Ya nggak gitu juga kali Bang! Aku panik tau nggak pas Abang nggak ngejawab tadi?" Protesku tak terima.
"Masak sih?"
"Udah-udah!! Nggak usah ribut lagi. Den Riko beneran nggak apa-apa? Itu darahnya lumayan banyak yang keluar Den," kata bi Asih melerai perdebatan kami.
"Nggak apa-apa kok Bi. Cuma agak pusing dikit. Nanti tolong hubungi dokter Ibnu aja, sekalian biar periksa lututnya tuh bocah," kata bang Riko melirikku sekilas sebelum berjalan menuju kamarnya.
"Dasar!!" Gerutuku kesal dibilang bocah.
"Non Nita mendingan segera mandi, katanya tadi terus mau makan. Bibi mau telepon dokter Ibnu dulu. Non bisa ke kamar sendiri kan?" Tanya bi Asih memastikan.
"Bisa kok Bi. Makasih ya," jawabku.
Ku lihat Bu Asih setengah berlari menyusul bang Riko ke kamarnya. Aku pun segera memasuki kamarku dan membersihkan diri. Rasanya seluruh badanku kotor, apalagi tadi sempat jatuh. Aku kembali diingatkan dengan sosok kakak kelas yang tadi menabrakku. Leon Adiskara, sosok ketua OSIS yang sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya. Yang diketahui oleh sebagian besar murid di sekolah hanyalah kemampuannya yang tegas dan disiplin dalam memimpin OSIS. Sementara sosoknya seperti sebuah misteri karena ketika melakukan kegiatan OSIS, kak Leon selalu berpenampilan tertutup. Terkadang dia memakai topi dan juga masker. Dan tadi adalah pertama kalinya aku melihat wajahnya secara langsung dan sedekat itu.
'Semoga saja besok aku tidak berurusan lagi dengannya. Sebentar saja di dekatnya tadi rasanya seperti sedang disandera oleh penculik. Benar-benar seperti terintimidasi, nggak nyaman..' batinku.
***
"Hari ini kamu naik taksi dulu ya berangkat sekolahnya," kata bang Riko yang tiba-tiba saja masuk ke kamarku.
"Bang Riko!! Kebiasaan deh masuk kamar nggak ketuk pintu dulu. Kalau aku lagi ganti baju gimana?" Kataku melayangkan protes.
"Bang Riko nggak apa-apa?" Aku mendadak panik melihat bang Riko yang memegangi kepalanya. Ya… kepalanya diperban oleh dokter Ibnu semalam. Padahal sudah disarankan untuk dirawat di rumah sakit, tapi emang dasar bang Riko orangnya sok kuat.
"Mendingan bang Riko dengerin saran dokter Ibnu untuk dirawat inap aja deh, daripada kenapa-kenapa juga kan?" Saranku yang pastinya langsung ditolak mentah-mentah.
"Terus yang mau mantau kamu siapa nanti? Jangan-jangan kamu nanti malah keluyuran nggak jelas kalau aku dirawat," kata bang Riko curiga.
"Nah kan? Sakit lagi kan?" Kataku sambil berjalan mendekati bang Riko yang memegangi kepalanya.
"Makanya jadi orang itu jangan suka berpikir yang enggak-enggak, bikin tuh kepala makin sakit tar!! Mikir tuh yang baik-baik aja. Lagian sama adek sendiri kok kerjaannya curigaaaaa mulu! Emangnya aku seburuk itu ya di mata Abang?" Tanyaku kesal.
"Ya udah Abang istirahat di kamar aja deh kalau gitu. Aku pesan taxi dulu sekarang," kataku sambil memapah bang Riko yang sepertinya menahan sakit luar biasa.
"Aku jemput pulangnya nanti," kata bang Riko begitu tidur di kasurnya.
Aku menghela nafas kasar sambil melihat bang Riko yang sedang memejamkan matanya. Ingin rasanya aku membantah omongannya, tapi melihatnya seperti itu aku hanya bisa menuruti.
"Ya udah, nanti aku tungguin di halaman depan. Sekarang Abang istirahat dulu biar nanti bisa jemput aku. Jangan lupa obatnya diminum. Aku berangkat sekarang ya," pamitku diikuti anggukan bang Riko.
Sebelum berangkat, tak lupa aku berpesan pada bi Asih untuk terus mengontrol keadaan bang Riko. Aku pun mengatakan bahwa dokter Ibnu baru akan kesini nanti siang untuk mengontrol keadaannya.
Begitu taxi tiba, aku segera menuju ke sekolah. Tak butuh waktu lama akhirnya aku tiba di sekolah. Dengan pelan-pelan aku turun dari taxi dan berjalan dengan sedikit pincang. Namun aku mencoba berjalan senormal mungkin agar tidak menimbulkan tanya banyak orang.
'Kenapa pagi-pagi harus ketemu geng nggak jelas itu sih?' gerutuku ketika melihat Varisa dan teman-temannya berjalan tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku memutuskan untuk berhenti sejenak dan melihat ke arah lain agar tak bertemu mereka. Dan sungguh diluar dugaan aku malah melihat kak Leon tak jauh dari sana. Entah apa yang ada di pikiranku, aku malah langsung berbalik badan ingin menghindar, dan masalah kembali muncul.
"Jalan lihat-lihat dong! Main tabrak aja! Nyari masalah?" Bentak seorang teman Varisa yang bernama Rani.
"Ma-maaf ya, aku nggak sengaja," kataku sambil berusaha mensejajarkan kakiku.
"Enak banget minta maaf. Kamu pikir dengan minta maaf aja udah cukup?" Tanya Rani lagi. Sementara Varisa hanya melihat sambil tersenyum tipis.
"Terus maunya gimana? Aku beneran nggak sengaja tadi," imbuhku.
"Nih orang ngejawab mulu sih! Nggak ngehargai orang sama sekali. Harusnya kalau ada orang lagi ngomong tuh dengerin dulu, ini main samber aja!!" Gerutu Rani yang sontak saja membuatku menghela nafas kasar menahan emosi.
"Ngapain kamu kayak gitu? Nggak seneng?" Tanya Varisa dengan gaya arogannya.
"Ditanya jawab dong!!" Kata Rani sambil mendorongku.
Sebenarnya Rani hanya pelan mendorongku, tapi karena lututku masih sakit, aku pun tak kuasa menahan berat badanku sendiri yang oleng. Dan anehnya aku tidak benar-benar jatuh karena ada seseorang yang dengan sigap menahanku.
Beberapa saat aku bertatapan dengan sosok lelaki yang saat ini sedang memeluk pinggangku agar tidak jatuh. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas rahangnya yang tegas dan hidungnya yang mancung. Matanya hitam pekat dengan tatapan yang tajam. Sejenak aku lupa diri dan ingin sekali menyentuh wajah yang begitu sempurna di mataku. Sampai keluar sebuah pertanyaan dari bibir tipisnya yang membuatku tersadar sedang berada di sebuah posisi tidak baik.
"Kamu nggak apa-apa?"