"Kamu duluan aja! Aku harus ngobatin dia dulu," jawabnya seraya melirikku.
"Tapi siapa yang mau ngatur lalu lintas di depan gerbang?" Tanya temannya tadi.
"Kamu atur dulu aja sementara," kata kak Leon lagi.
"Tapi kan.."
"Bukankah semua pengurus OSIS bisa melakukan itu?"
Mereka terus saja berdebat sampai aku mendengar suara motor bang Riko yang berhenti di dekat gerbang sekolah. Nyaliku menciut seketika saat bang Riko melihat ke arahku dan memintaku segera keluar. Dengan menahan rasa perih di lututku, aku bergegas menghampiri bang Riko dan segera memboncengnya. Untungnya bang Riko tidak menyadari luka di lututku dan segera tancap gas sebelum kak Leon menyadari kepergian ku.
"Mampir minimarket dulu ya Bang," pintaku sebelum sampai di rumah.
"Oke!" Jawab bang Riko tanpa banyak tanya.
Setibanya di minimarket, aku segera turun dari motor. Namun ternyata aku terlalu meremehkan luka di lututku. Aku hampir saja terjatuh kalau tidak ditarik bang Riko.
"Hati-hati dong kalau turun!!" Omelnya seraya menahan tubuhku agar bisa berdiri. Namun lututku terasa begitu kaku hingga tanpa sadar aku meringis menahan sakit.
"Kamu kenapa sih?" Tanya bang Riko heran dan turun dari motornya. Bang Riko mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki untuk memeriksa kondisiku. Dan matanya membulat sempurna saat melihat lututku berdarah.
"Ya Tuhan!! Lutut kamu kenapa bonyok kayak gini? Kenapa nggak bilang dari tadi sih?" Cerocos bang Riko setelah melihat lututku.
"Kirain nggak apa-apa Bang!" jawabku asal.
"Iya nggak apa-apa! Tapi kalau dibiarkan begitu saja tanpa diobati bisa infeksi Nita!! Kamu ini anak SMA atau anak TK sih sebenernya?" Kata bang Riko kesal.
"Aku kan.."
"Aku apa? Harusnya kamu itu bisa jaga diri kamu sendiri. Lagian kenapa bisa luka kayak gitu sih? Kamu jatuh dimana? Tapi ini yakin kamu jatuh sendiri dan bukan karena lagi berantem?" Tanya bang Riko lagi.
"Ya udah sih! Aku mau beli obat dulu ke dalam," kataku kesal karena bukannya diperhatikan tapi malah diomelin habis-habisan.
"Udah!! Kamu duduk aja di sini! Biar aku yang beli," kata bang Riko setelah memapahku ke sebuah kursi panjang yang ada di depan minimarket itu.
Tak berselang lama kemudian, bang Riko kembali dengan membawa kantong plastik warna putih yang berisi obat-obatan. Saat aku ingin mengambilnya, bang Riko dengan cepat bersimpuh di depanku dan mulai mengobati lututku.
"Lain kali kamu itu harus lebih hati-hati lagi. Aku nggak bisa tiap saat ada di dekat kamu. Harus pintar-pintar jaga diri kamu sendiri.." bang Riko terus saja mengomel sambil mengobati lututku. Ada rasa nyaman yang merasuk ke hatiku. Selama ini bang Riko tak pernah sedikitpun menunjukkan rasa peduli padaku. Bang Riko sibuk dengan dunianya sendiri dan kami jarang berinteraksi. Jangankan mengobati lukaku seperti sekarang, bisa meluangkan waktu sejenak untuk tersenyum melihatku saja rasanya sulit sekali. Tapi entah kenapa belakangan ini hubungan kami sedikit lebih dekat, dan itu artinya aku harus mulai membiasakan diri dengan omelannya.
"Aduh Bang!! Pelan-pelan napa sih? Sebenarnya ikhlas nggak sih ngobatinnya?" Protesku karena bang Riko seperti sengaja menekan lukaku.
"Siapa suruh malah ngelamun! Udah selesai, mau pulang nggak? Dari tadi dipanggil diam aja," keluh bang Riko.
"Ya pulang dong! Ya kali aku nginep sini," jawabku asal sambil berdiri dari kursi.
"Pelan-pel.. tuh kan!! Baru juga mau dibilangin pelan-pelan udah mau jatuh aja," kata bang Riko yang sudah dalam posisi memeluk pinggangku.
"Sakit!" Ringisku pelan dengan memasang wajah memelas agar bang Riko tidak mengomel lagi.
"Dah yuk sini!"
Bang Riko memapahku perlahan menuju motor dan memposisikan dirinya sebagai pegangan agar aku bisa naik ke motor. Setelah aku membonceng, bang Riko segera menaiki motor dan membawaku pulang.
Tiba di halaman rumah, bang Riko menyuruh agar aku tetap di atas motor sementara dia masuk ke rumah. Meskipun bingung, aku menurut saja daripada harus berdebat lagi. Tak lama kemudian muncullah bang Riko bersama bi Asih dengan membawa kursi roda yang secara otomatis membuat bola mataku membulat sempurna.
"Ya Tuhan!! Abang apaan sih!! Aku tuh cuma luka kecil doang Bang, bukan lumpuh! Aku masih bisa jalan, astaga!!" Ucapku tak percaya kakak laki-laki yang selama ini ku kenal cuek ternyata bisa sehebat ini.
"Nggak usah sok kuat kamu! Nyatanya jalan aja pincang gitu! Kalau nggak ada aku juga pasti udah jatuh berapa kali kamu tadi?" Ledek bang Riko diikuti senyuman jahil bi Asih.
"Ya namanya lutut lagi luka wajar kali Bang kalau pincang! Lagian pincang masih bisa jalan kok!"
"Jalan atau jatuh?" Sindir bang Riko.
"Iya deh iya, makasih ya Bang udah nolongin adek tadi," kataku dengan nada yang ku buat-buat sambil duduk di kursi roda. Terlihat senyum tipis yang muncul di bibir bang Riko.
"Udah Non!! Nurut aja sama Den Riko daripada ribut terus," bisik bi Asih yang sudah mendorong kursi roda yang ku naiki.
"Iya Bi, lagian aku juga udah capek dari kemarin dengar omelan si Abang!" Jawabku tak kalah pelan dengan suara bi Asih tadi.
"Ngapain kalian? Ngomongin aku ya?" Tebak bang Riko yang tentu saja benar.
"Mana ada kayak gitu Bang! Percaya diri banget sih jadi orang!" Bantahku cepat sebelum bang Riko makin bangga.
"Sshhhh!! Udah-udah! Non Nita mau langsung ke kamar atau mau makan dulu? Bibi udah masak sayur kesukaan Non tuh, cap cay seafood," Tanya bi Asih setelah kami sampai di ruang depan.
"Wahhh… enak banget tuh!! Mau banget Bi!! Tapi ke kamar dulu aja deh Bi. Gerah nih, mau ganti baju, abis itu baru eksekusi masakan Bi Asih," jawabku semangat sambil mencoba bangkit berdiri.
"Biar Bibi bantu sini," aku baru saja ingin meraih tangan bi Asih, tapi tiba-tiba saja bang Riko menggendongku dengan satu gerakan.
"Bang Riko!! Ngapain sih?!Turunin aku sekarang!!" Kataku setengah berteriak.
"Ishhh punya adek satu aja kelakuan bar-bar!! Jadi cewek nggak ada feminimnya sama sekali! Ngomong yang lembut nggak bisa apa ya??" Bang Riko menggerutu sambil menaiki tangga dengan menggendongku.
"Turunin Bang!! Tar kena encok baru tau rasa!!" Ledekku berharap diturunkan karena aku benar-benar tidak nyaman digendong seperti itu. Pasti berat banget jika harus menaiki tangga sambil menggendongku.
"Aku masih kuat kalau cuma gendong kamu," jawab bang Riko santai.
"Tapi ngomong-ngomong kamu kok kayaknya makin berat sih lama-lama. Aduduh… sakit Nita!!" Bang Riko sedikit berteriak saat ku cubit pinggangnya karena meledek berat badanku.
'Kayak gini nih yang suka nggak sadar nyakitin hati cewek. Mana ada yang suka dikatain tentang berat badannya. Cowok tuh emang nggak peka' batinku sambil mengamati wajah Abang yang begitu dekat.
"Nggak usah pasang muka sedih gitu. Sekali berat tetap aja berat, nggak bisa mengubah apapun.."
"Bang Rikoooo…!!!" Aku mencubit pinggang bang Riko lebih kencang dan aku benar-benar tak tahu kalau tindakanku ternyata malah menimbulkan petaka.