"Nita!! Jadi dari tadi kamu disini?? Maaf aku nggak lihat ada kamu di sini tadi," kata kak Dimas yang tiba-tiba saja sudah duduk di depanku dengan membawa semangkuk bakso yang sudah dimakannya sebagian.
Aku hanya menyunggingkan senyum dengan menempelkan deretan gigiku tanpa bisa menjawab sepatah katapun. Sementara Yesi sedang bermain mata dengan Kayla seolah sedang mencari jawaban atas situasi yang ada di depannya.
"Kak Dimas dari tadi disini?" tanya Yesi setelah duduk di sebelah Kay.
"Barusan kok. Ini juga tau ada Nita karena teriakan kamu tadi," jawab kak Dimas jujur.
"Upsss!! Maaf kalau ternyata suaraku sekencang itu," kata Yesi sambil menutup mulutnya.
"Nggak apa-apa kok. Aku malah merasa terbantu. Ayo buruan dimakan baksonya, keburu dingin nggak enak lho!" imbuh kak Dimas.
Dengan canggung, kami melanjutkan makan siang yang dikelilingi aura gelap karena mendapat tatapan tajam dari gengnya Varisa yang biasa disebut GEVA.
"Aku udah selesai nih," kataku setelah berusaha secepat mungkin menghabiskan sisa bakso di mangkok.
"Aku juga udah," sahut Kay.
"Eitt dah!! Tar dulu napa sih? Aku belum selesai nih! Baru juga dateng udah mau balik kelas aja.." protes Yesi.
Ingin rasanya aku mengetuk kepala Yesi yang tidak bisa membaca situasi. Alhasil aku dan Kay hanya bisa menghela nafas panjang sementara ku lihat kak Dimas tersenyum menatapku.
"Nit, nanti pulang sekolah bisa temenin aku nggak?" Tanya kak Dimas yang membuat bulu kuduk merinding.
Bagaimana tidak, jika tiba-tiba saja Varisa berada di belakangku dengan satu tangannya diletakkan di bahuku. Ditambah aura tidak bersahabat yang ditujukan padaku.
"Ma-maaf kak. Aku nggak bisa kemana-mana nanti. Soalnya nanti bakal dijemput bang Riko, tau sendiri kan gimana Abang aku," jawabku jujur.
"Gitu ya.." terdengar suara kekecewaan dari mulut kak Dimas.
"Padahal Dimas itu mau minta kamu buat pilih keperluan untuk acara party ulang tahunnya dia loh.." cerocos kak Raka yang membuatku semakin tak enak.
"Gimana kalo sama aku aja Dim?" Tawar Varisa tak tahu malu sambil menggeser kursi dan duduk di sebelah kak Dimas.
"Oh.. em.. gimana ya.. "
Ku lihat kak Dimas seperti salah tingkah dan melihat ke arahku entah maksudnya apa. Tapi yang jelas aku tak mau cari masalah di sini. Aku hanya ingin sekolah dengan tenang, mempunyai banyak teman tanpa mengurangi prestasi. Ibarat ada bumbu percintaan pun, aku tak mau terlalu banyak drama.
"Akhirnya kenyang juga, balik kelas yuk.. " ucapan Yesi seperti angin segar bagiku. Karena aku merasa mendapatkan jalan keluar dari situasi rumit ini. Terlihat Kay seperti sedang memaksakan tersenyum meskipun aku tahu dari sorot matanya menyimpan amarah melihat gerak-gerik Varisa.
"Oh… kita duluan ya Kak," kataku sambil menggandeng keduanya menuju ke kasir untuk membayar pesanan kami.
"Biar aku aja," kata kak Dimas yang tiba-tiba saja sudah menyodorkan uang seratus ribu.
"Loh? Kok jadi kak Dimas yang bayarin? Udah nggak usah, biar aku aja.." aku berusaha menolak dengan sopan. Tapi kak Dimas seolah tak peduli dan pergi setelah menerima uang kembalian.
"Dasar cewek ganjen," bisik Varisa di dekat telingaku sambil mengikuti kak Dimas.
Aku hanya bisa menahan sabar mendapati sikap seperti itu. Tapi lain halnya dengan Kayla yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Varisa. Aku dan Yesi saling pandang dan secara bersamaan mengejar Kay yang hampir saja menarik rambut Varisa.
"Kalian ngapain sih pakai acara nahan aku segala?" Omel Kay yang membuat geng GEVA menoleh.
Segera kutarik Kay menjauh dari sana dan masuk ke kelas. Bisa panjang urusannya kalau sampai Kay tadi berhasil menarik rambut Varisa.
"Aku nggak habis pikir sama kamu deh Nit! Kenapa diem aja sih dikatain kayak tadi sama Varisa? Kamu juga Yes! Bukannya bantuin aku malah ikut-ikutan misahin aku tadi. Kita itu jadi kayak nggak ada harga diri tau nggak?" Kay masih saja emosi.
"Kay.. makasih. Makasiiiiihh banget kamu itu selalu bela aku nggak peduli dimanapun itu. Tapi untuk sekarang ini, aku benar-benar harus lebih hati-hati lagi. Aku nggak mau cuma gara-gara masalah sepele, bang Riko jadi hilang respect sama aku. Lagipula ini bukan masalah punya harga diri atau nggak, tapi lebih ke menjaga diri.." jawabku.
"Iya Kay. Nggak ada gunanya juga kita bertengkar," imbuh Yesi.
"Terserah kalian berdua lah.." kata Kay ketus.
Aku memilih diam daripada harus berdebat dengan orang yang sedang emosi. Nanti kalau sudah reda emosinya, pasti bisa diajak bicara baik-baik.
Entah kenapa hari ini rasanya begitu cepat berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Semua murid berhamburan keluar kelas setelah pelajaran hari ini usai. Saat aku ingin mengajak Kay keluar kelas bersama, ternyata Kay sudah tak ada di mejanya.
"Kayla mana, Yes?" Tanyaku heran karena tak biasanya dia meninggalkanku.
"Ohh.. tadi begitu bel dia langsung pergi duluan tuh. Kayaknya masih ngambek tuh anak.." jawab Yesi sambil merapikan tasnya.
"Ya udah kalau gitu. Kamu mau langsung pulang aja kan? Barengan yuk.." ajakku.
"Duh, aku masih harus ikut pelajaran ekstrakurikuler jam setengah tiga nanti," kata Yesi.
"Owh.. kalau gitu aku duluan ya.." kataku seraya melambaikan tangan.
Aku berjalan sepanjang lorong seorang diri sambil sesekali tersenyum karena ada yang menyapa. Setibanya di halaman sekolah, aku melihat Varisa sedang berjalan berdampingan dengan kak Dimas. Mungkin kak Dimas akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran Varisa. Ada sedikit kecewa merasuki hatiku, entah karena apa. Bagaimana perasaanku terhadap kak Dimas saja aku belum begitu jelas. Aku mencoba mencari jalan lain agar tidak berpapasan dengan mereka. Tapi sepertinya takdir memang sedang tidak bersahabat denganku. Ada seseorang yang berlari dengan cepat ke arahku dan
Brukkk!!
"Awww…!!!" Aku tak tahu siapa yang telah menabrakku hingga terjatuh. Aku hanya bisa mencoba duduk dan merasakan nyeri di lutut kakiku. Ketika kuraba, ternyata keluar darah yang cukup banyak karena aku jatuh di bebatuan.
"Ma-maaf!! Aku beneran nggak sengaja," kata seorang lelaki bertubuh tinggi dengan memakai atribut lalu lintas.
"Nggak apa-apa kok," jawabku sambil mencoba mengingat siapa dia, karena wajahnya yang familiar itu.
"Nggak apa-apa gimana? Lutut kamu sampai berdarah gitu!! Aku anterin kamu ke UKS dulu yuk!" Katanya lagi.
"Udah nggak usah Kak. Luka kecil doang kok," tolakku.
"Nggak! Aku obatin dulu!" Katanya dengan suara lantang tak mau dibantah. Dengan berat hati aku pun menerima uluran tangannya untuk berdiri.
"Kamu bisa jalan sendiri?" Tanyanya khawatir.
"Bisa kok," jawabku.
"Aku ambilin tandu aja dulu ya? Atau mau ku gendong aja?" Tawarnya panik karena aku berjalan pincang.
"Nggak usah, Kak. Aku masih bisa jalan sendiri kok!" Ucapku tak enak hati karena orang yang belum juga ku ingat siapa itu tetap bersikeras menggendongku. Sampai akhirnya ada seseorang yang memanggilnya dan membuatku menegang.
"Leon!!"