Chereads / Abangku Seorang Bad Boy / Chapter 3 - 3 Kenyataan

Chapter 3 - 3 Kenyataan

"Mereka udah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Tante lirih karena suaranya bergetar.

Butiran hangat mengalir begitu saja membasahi pipiku. Nafasku terasa sesak sampai-sampai aku harus menghirup udara melalui mulut dan membuangnya kasar.

"Aarrrrggghhhhhh…..!!!"

Ku dengar suara teriakan bang Riko yang sarat akan kesedihan, sama sepertiku. Hanya saja aku memilih untuk diam. Aku tak mau keberadaanku semakin memperkeruh keadaan. Di lain sisi aku masih ingin mendengar kejelasan tentang hal ini. Rahasia besar apalagi yang Tante Lia sembunyikan dari kami.

"Sayang, maafin Tante.." ucap tante setelah beberapa saat dalam pikiran masing-masing.

"Kapan?" tanya bang Riko datar.

"Saat mereka akan kembali ke sini, tepat di hari ulang tahun Nita yang ke dua belas tahun."

Seketika aku menutup mulutku agar aku tak mengeluarkan suara sekecil apapun. Satu hal lagi yang tak ingin ku dengar sama sekali. Belum sempat aku menata hati mendengar berita itu, aku dikejutkan dengan suara benda yang pecah.

Pranggg!!!

"Dengerin Tante dulu Sayang!! Riko!!!"

Ku lihat bang Riko keluar ruangan dengan terburu-buru tanpa memperdulikan Tante yang berlari mengejarnya. Spontan suara tangis yang sedari tadi ku tahan pun keluar juga. Aku merasa dunia ini benar-benar tidak adil. Kenapa harus papa dan mama yang diambil lebih dulu??

Jangan tanya betapa aku iri melihat semua teman-temanku yang tiap hari di antar jemput oleh orang tuanya. Mereka bisa bermanja-manja penuh kasih sayang, sementara aku? Aku bahkan lupa bagaimana rasanya digendong oleh papa, bagaimana rasanya dibacakan dongeng sebelum tidur oleh mama. Aku lupa kapan terakhir kali mama menyuapi aku makan. Aku pun lupa bagaimana rasanya pergi sekolah diantar papa.

"Kenapa kalian pergi secepat ini? Aku juga ingin mempunyai keluarga yang sempurna. Tuhan, apakah ini adalah hukuman untukku atas keegoisanku dulu?? Apakah ini jawaban atas harapanku selama ini?"

Aku terus menangis tak bisa menerima kenyataan ini begitu saja. Aku tak tahu harus berbagi kepada siapa tentang hal ini. Bahkan aku takut jika suatu saat nanti bang Riko mengetahui sesuatu hal yang selama ini selalu ku simpan sendiri. Satu rahasia yang mungkin akan membuatnya tak mau menerimaku sebagai adiknya lagi.

***

Sekarang aku termenung sendiri dalam kamar mengingat hari itu, hari dimana aku mengetahui semuanya. Pusing di kepalaku semakin mendera tatkala ingatanku kembali ke masa lalu. Aku benar-benar tak ingin mengingatnya lagi. Aku takut kalau sampai orang lain tahu, maka aku akan ditinggalkan seorang diri.

"Tidakkk!!!"

Tanpa sadar aku berteriak sampai-sampai bang Riko berlari menghampiriku yang terisak.

"Kamu kenapa Nita?? Sakit?? Apanya yang sakit bilang sama aku!! Kamu sabar ya, sebentar lagi dokter datang kok.." kata bang Riko panik.

"Bang…"

Aku secara refleks menarik bang Riko dan memeluknya erat, sangat erat. Aku takut nanti dia pun akan pergi meninggalkanku sendiri. Meskipun dia adalah orang yang sangat bawel dan menyebalkan, tapi tetap saja itu karena dia menyayangiku.

Bang Riko membalas pelukanku dan mengelus rambutku penuh sayang. Aku makin tak kuasa menahan tangis mendapat perlakuan seperti itu. Hal yang sangat jarang dilakukannya menunjukkan rasa sayangnya padaku.

"Nangis sepuasnya kalau itu bisa meredakan sakitnya. Tapi ingat satu hal, begitu air mata kamu udah nggak keluar lagi, kamu harus kembali kuat.." kata bang Riko lembut.

Aku hanya mengangguk sambil tetap memeluknya. Hampir lima belas menit berlalu, aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya sehingga aku melepaskan pelukan bang Riko.

"Udah lebih baik??" tanyanya khawatir.

"Iya, makasih ya Bang.." kataku seraya tersenyum padanya.

"Ya udah aku keluar dulu ya, Dokter Ibnu udah datang kayaknya," kata bang Riko sambil melihat handphone miliknya.

Mungkin aku akan terus menyimpan rahasia ini sendirian. Aku tak mau kehilangan satu-satunya orang yang aku miliki saat ini.

"Maaf ya Dok, tengah malam begini minta kesini."

Ku dengar suara bang Riko yang semakin dekat dari kamarku.

"Nggak apa-apa. Sudah jadi kewajiban saya untuk memeriksa siapa saja yang membutuhkan," jawab dokter Ibnu yang merupakan dokter pribadi keluarga kami.

"Ini bukan tengah malam Bang, tapi menjelang pagi.." tuturku melihat jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari.

"Nah itu dia orangnya yang bikin repot.." kata bang Riko.

"Apaan sih bang!! Ada juga kamu tuh yang bikin repot!! Tengah malam minta bikinin mie, padahal bisa aja kan tadi pesan online," protesku tak mau disalahkan.

"Ohhh…. kayaknya nggak usah diperiksa aja Dok. Udah sehat tuh orangnya, udah bisa sewot gitu," ledek bang Riko yang tentu saja membuatku menganga tak percaya.

"Kalian itu dari dulu nggak pernah akur ya.." kata dokter Ibnu geleng-geleng kepala sambil menyiapkan alat kedokteran yang dibawanya.

"Akur kok Dok, buktinya tadi si Abang peluk aku loh.." kataku bangga.

"Idih... kalau bukan karena kamu lagi sakit, aku juga ogah peluk-peluk kamu!!" jawab bang Riko frontal.

"Jadi Abang nggak sayang sama aku??" tanyaku kesal.

"Ya gimana... cuma kamu adik satu-satunya.." jawab bang Riko ambigu.

Tapi entah kenapa jawabannya itu terdengar menyesakkan buatku. Padahal itu sudah seringkali ku dengar sebelumnya dan biasanya aku akan balas mengomel. Hanya saja kali ini berbeda, karena aku sudah mengetahui semuanya.

Dan lagi. Aku menangis terisak sambil melihat bang Riko yang mulai panik melihatku. Sebelum bang Riko mendekat, dokter Ibnu terlebih dahulu meminta Abang untuk diam karena akan memeriksa keadaanku.

"Coba kamu tarik nafas dalam-dalam.." kata dokter Ibnu kemudian.

Aku pun menuruti tiap instruksi yang diminta tanpa banyak tanya lagi. Sementara bang Riko masih terlihat cemas. Aku bisa melihat dari sorot matanya yang biasanya tajam.

"Oke sudah cukup pemeriksaannya. Kamu nggak apa-apa kok, mungkin untuk beberapa saat kamu masih merasakan pusing. Tapi itu hal normal mengingat kamu tadi sempat menghirup gas cukup lama. Ini saya beri resepnya ya," ucap dokter Ibnu sambil menyodorkan secarik kertas pada Abang.

"Makasih ya Dok.." ucapku lirih karena masih menyisakan tangis.

"Sama-sama. Kalian jangan terlalu sering ribut-ribut, bagaimanapun juga kalian itu saudara," nasehat dokter Ibnu sebelum beranjak pergi dari kamarku diikuti bang Riko.

Sebelum menutup pintu kamarku, kulihat bang Riko menyempatkan diri untuk melihat ke arahku. Sepertinya aku benar-benar telah membuatnya khawatir. Aku berani jamin, setelah mengantar dokter ke depan rumah, pasti bang Riko akan kembali ke kamarku. Aku buru-buru mengambil posisi tidur dengan menyelimuti tubuhku.

Benar saja, tak kurang dari lima menit bang Riko sudah kembali masuk ke kamarku dan menghampiriku yang tentu saja pura-pura tidur. Aku sebenarnya ingin mendapatkan penjelasan secara langsung dari bang Riko, tapi melihatnya yang begitu mencemaskan aku, rasanya aku tak akan sanggup mengungkap kebenaran yang ku tutupi.

"Kamu udah tidur Nit?" tanya bang Riko pelan.

"Maafin aku yang belum bisa menceritakan semuanya sama kamu. Aku sendiri bahkan belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan ini, bagaimana nanti aku bisa menguatkan kamu kalau aku sendiri masih seperti ini??" kata bang Riko sambil mengelus kepalaku.

"Aku janji akan menceritakan semuanya, tapi nanti, setelah aku benar-benar siap menjadi tempat kamu bersandar. Kamu satu-satunya yang aku punya sekarang. Aku pasti menjaga kamu sebaik mungkin.." imbuhnya.

"Aku nggak tahu darimana kamu dengar cerita itu, tapi yang jelas aku sendiri yang nantinya akan menjelaskan semua ke kamu.." kata bang Riko setelah mengecup keningku.

Ku dengar suara pintu yang ditutup. Tak lama kemudian aku tahu bang Riko sudah masuk ke kamarnya. Aku benar-benar dalam kondisi yang tidak baik, sampai rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Ku ambil foto papa dan mama yang ada di atas meja. Sesaat ku pandangi wajah keduanya sebelum akhirnya pandanganku meredup karena air mata telah membanjiri pipiku.

"Papa... Mama... aku kangen banget sama kalian. Apa kalian marah sama aku sampai memilih pergi meninggalkan aku dan bang Riko?? Maafin aku Pa, Ma... maafin aku… "

Aku tak kuasa menahan segala luapan emosi yang ada. Hingga aku tak sadar kapan aku tertidur dengan memeluk bingkai foto papa dan mama.