Aku merasakan kepalaku seperti mau pecah. Ingin rasanya aku membuka kedua mataku yang terasa sangat berat. Setelah bersusah payah mencoba, akhirnya aku pun bisa membuka mataku. Dan hal pertama yang ku lihat adalah cahaya lampu yang sangat terang membuat mataku merasakan sedikit nyeri. Setelah mengerjapkan mataku berulang-ulang, mataku pun mulai terbiasa dengan cahaya lampu itu.
"Kok aku ada di kamar sih?? Bukannya tadi aku mau masak mie instan buat abang ya??"
Aku mencoba mengingat hal terakhir yang terjadi sampai-sampai tak ingat bagaimana aku bisa di kamarku.
"Udah bangun??"
Tiba-tiba saja Abang masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Tentu saja aku sangat terkejut melihat Abang yang tiba-tiba saja datang. Apalagi saat Abang menghampiri dan menatapku intens.
"Bang Riko ngapain sih ngeliatin aku kayak gitu??" tanyaku risih dengan caranya menatapku.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya.
"Nggak apa-apa kok, cuma sedikit pusing aja.." jawabku.
"Yakin nggak apa-apa nih??" tanyanya lagi.
"Nggak apa-apa Bang!! Nanya itu mulu sih!! Kan udah dibilang nggak apa-apa!!" tegasku dengan muka cemberut.
"Ya aku kan khawatir, cuma mau memastikan aja Nita."
"Iya, makasih atas perhatiannya ya Abangku sayang.." kataku sambil tersenyum kecut.
"Lagian kenapa nggak panggil aku aja sih tadi?? Udah tau nggak bisa ganti gas sendiri, sok-sokan mau pasang sendiri. Makanya kamu itu jadi cewek harus sering-sering masak di dapur. Hal sederhana gitu aja nggak bisa."
Aku menatap bang Riko dengan rasa tak percaya. Demi apa aku bisa punya Abang yang luar biasa seperti ini. Baru juga beberapa detik yang lalu khawatir dengan keadaanku dan sekarang sudah ngomel-ngomel tidak jelas. Ku raba dahiku yang sebenarnya tidak terasa apa-apa, hanya memastikan bahwa aku masih waras melihat perubahan drastis sikap Abang.
"Kamu kenapa Nit? Pusing banget ya?? Mau aku panggilkan dokter aja buat periksa kamu?? Atau kamu mau sesuatu bilang aja.." ucap bang Riko panik.
Aku mengerjapkan mataku berulang-ulang. Lalu aku menangkup wajahku berharap saat ku buka bisa melihat hal yang nyata, bukan seperti dalam alam mimpi. Memiliki Abang yang sikapnya di luar nalar, adalah satu hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
"Nita!! Kamu kenapa diam aja sih?? Ya udah aku panggilkan dokter aja buat periksa keadaan kamu!!"
Sebelum Abang beranjak pergi, aku menarik tangan Abang untuk menahannya. Aku mencoba untuk tersenyum agar Abang tidak terlihat panik karena pada dasarnya aku ini baik-baik saja. Justru yang membuatku tidak baik-baik saja adalah perubahan sikapnya yang menurutku terlalu menyimpang.
"Bang, aku nggak apa-apa. Aku cuma lagi mikir, kenapa bisa punya kakak yang luar biasa kayak Abang," kataku sambil menatapnya dalam.
"Kayaknya kamu kebanyakan menghirup aroma gas di dapur tadi jadinya omongan kamu nggak jelas," kata abang bingung.
"Nggak jelas gimana sih Bang?" tanyaku kesal.
"Ya itu tadi. Masak kamu baru sadar punya Abang yang luar biasa."
"Hah??"
Aku membuka mulutku lebar hanya demi bereaksi dengan apa yang sudah ku dengar. Abang justru merasa sedang dipuji padahal maksudku adalah sikapnya yang menurutku terlalu aneh.
"Udah sekarang kamu istirahat aja dulu. Aku mau telepon dokter buat periksa keadaan kamu," kata Abang kemudian.
"Bang…" panggilku pelan.
Bang Riko yang sudah sampai di pintu berhenti dan menoleh ke arahku.
"Kenapa?" tanyanya datar.
"Apa benar orang tua kita itu sebenarnya sudah nggak ada??" tanyaku lirih sambil menundukkan kepala.
"Kamu dapat cerita dari mana sih?" tanya Abang tanpa ekspresi.
"Bang, aku udah dewasa. Aku berhak tahu semuanya. Mau sampai kapan kalian merahasiakan hal ini?" tanyaku dengan suara keras.
"Lebih baik kamu istirahat sekarang.." kata Abang sebelum akhirnya menutup pintu kamarku tanpa memberikan jawaban apapun.
Aku tahu kalau nggak mungkin bang Riko menjawab pertanyaan tentang orang tua kami. Selama ini tak ada satu orangpun yang mau menjelaskan perihal keberadaan mama dan papa. Yang ku tahu, mereka bekerja di luar negeri mengembangkan bisnis perusahaan keluarga.
Aku bahkan sampai tak ingat bagaimana wajah keduanya kalau saja tidak ada foto keluarga di rumah, karena mereka pergi meninggalkan kami ketika usiaku baru lima tahun. Saat itu aku masih sangat kecil dan belum tau apa-apa. Yang ku ingat hanyalah pelukan terakhir yang diberikan oleh mama dan papa ketika kami mengantar mereka ke bandara.
Pikiranku kembali teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu, saat aku baru pulang dari sekolah. Aku melihat ada mobil milik Tante Lia di garasi depan rumah. Tante Lia adalah adik kandung dari papa, yang sekaligus mengurus perusahaan papa di sini. Demi mengurus perusahaan, sampai usianya yang sudah menginjak tiga puluh tiga tahun itu, Tante Lia belum juga menikah.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan tante di sepanjang rumah, namun tak juga kutemukan. Karena lelah, aku pun memilih untuk segera mandi dan menunda mencari tante yang sudah lama tidak berkunjung. Setelah menyiapkan air di bathtub, aku memilih berendam dengan air hangat.
Kalau saja aku tak mendengar suara ribut-ribut di kamar bang Riko, mungkin aku masih berlama-lama di dalam bathtub. Rasa penasaran membuatku memilih beranjak dari kamar mandi dan segera memakai baju ganti. Aku menempelkan telinga di dinding pemisah antara kamarku dengan bang Riko.
Brak!! Brak!!
Yang ku dengar hanyalah suara barang yang dipindahkan. Dan sesekali aku mendengar suara isak tangis entah siapa.
"Siapa yang ada di kamar bang Riko?? Kenapa seperti suara orang menangis?? Apa itu Tante Lia?" batinku menebak-nebak.
"Tante harusnya kasih tahu aku sejak awal!!"
Aku mendengar suara bang Riko yang cukup keras. Dan jelas ada emosi di balik ucapannya yang terdengar bergetar itu.
"Jangan kencang-kencang sayang, Tante takut Nita dengar.."
Akhirnya aku yakin bahwa itu adalah Tante Lia setelah mendengar suaranya. Aku makin penasaran dengan pembicaraan mereka karena mendadak tak terdengar suara apapun. Aku pun keluar kamar dengan perlahan agar mereka tidak menyadari keberadaanku. Sempat ku lihat mereka pergi menuju ruang kerja papa yang ada di ruang tengah.
"Maaf sayang. Tante nggak bermaksud untuk menutupi semua masalah ini. Waktunya saja yang belum tepat. Tante menunggu sampai usia Nita genap tujuh belas tahun."
Aku mencuri dengar pembicaraan antara tante dan bang Riko dengan bersembunyi di balik sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Untungnya bang Riko tidak menyalakan lampu ruangan sehingga aku bisa mengendap-endap masuk dan bersembunyi di sana.
"Oke fine!! Tapi aku udah dewasa, Tan!! Kalau aku nggak sengaja dengar pembicaraan Tante dengan pengacara Herman kemarin, nggak mungkin juga Tante akan ke sini buat menjelaskan!!" jawab bang Riko emosi.
"Tante udah bilang kan kalau menunggu waktu yang tepat?? Tolong ngertiin posisi Tante sayang…" kata Tante Lia sendu.
"Lalu sekarang apa?? Tante kesini buat apa kalau masih saja nggak kasih aku kejelasan tentang papa mama??"
Deg!! Pertanyaan bang Riko seketika membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku hanya berharap apa yang aku takutkan selama ini tidak benar-benar terjadi.
"Baiklah! Tante akan jelaskan semuanya ke kamu tanpa ada yang ditutupi lagi, termasuk soal harta pa..."
"Aku nggak butuh harta, Tan!! Yang aku butuhkan papa sama mama!!" Bang Riko menyela omongan Tante dengan penuh penekanan.
Ku dengar isakan Tante Lia makin terdengar kencang. Nafasnya mulai tak beraturan, dan dengan suara bergetar, aku mendengar sesuatu yang tak pernah ingin ku dengar seumur hidupku.