Chereads / RABU DAN SELASA / Chapter 2 - RABU SORE HARI

Chapter 2 - RABU SORE HARI

25/2/22

Happy Reading

***

"Huaaahhh!!" Rabu Sore Hari menguap.

Mulutnya terbuka lebar hingga amandelnya terlihat, dan lebarnya sukses membuat debu yang betebrangan siang ini tersedot semua ke dalam mulut Rabu.

Uhuk! Ohok! Arghh!

Rabu langsung berdiri dari kursi lipat yang diduduki sekaligus yang digunakannya untuk tidur. Ia menepuk-nepuk dadanya yang tiba-tiba gatal, berharap apa yang masuk kedalam mulutnya hilang dari paru-parunya secepat mungkin.

"Sialan!!" Rabu mengumpat.

Gerak-gerik Rabu yang selalu ada-ada saja tingkahnya itu, selalu sukses membuat beberapa pelukis jalanan lainnya terhibur.

"Dasar ceroboh," gumam salah satu pelukis tua yang duduk jauh disudut sana dan olok-olokkan itu tidak akan sampai ke telinga Rabu, karena Rabu sedang...

"Ini sudah jam satu!!!" Rabu berseru.

"Yess!!!" Rabu mengepalkan kedua tangannya.

Sebelum melanjutkan aktivitas 'bahagianya', Rabu memeriksa tenggorokanya terlebih dulu.

"Hah … hah … haaaa! Tes ... tes, satu … dua … tiga. Aman!!!" Rabu lagi-lagi berteriak girang.

Wajah tampannya yang tadi terlihat sumpek kini menjadi ceria lagi karena berhasil menghilangkan rasa gatal didalam dada dan tenggorokannya.

Rabu melihat jam besar yang ada di salah satu gedung pencakar langit sekali lagi. Itu artinya…

"Saatnya pulang!! Horee!!" serunya semakin bersemangat merapikan alat-alat lukisnya yang sebenarnya tidak berantakan.

"Sudah mau pulang?" tanya Sabtu, salah satu pelukis jalanan yang seumuran dengan Rabu.

Rabu menoleh, sepertinya Sabtu baru bangun tidur juga.

Huh, dasar … Sabtu Kala Pergi! Dia selalu tahu kapan Rabu akan pergi.

Sabtu itu sebenarnya pria manis namun kepalanya tidak punya rambut. Ciri khasnya, selalu pakai topi baret lusuh warna coklat tua. Katanya topi itu peninggalan Ayahnya yang meninggal akibat tembakan salah sasaran.

Entahlah! Rabu tidak mau mencampuri urusan orang lain terlalu jauh. Yang penting Rabu tahu Sabtu itu siapa dan terbuat dari apa. Ok!

"Yap," jawab Rabu tanpa ragu. "Kau mau pulang juga, Sab?" tanyanya balik.

Sabtu menggeleng. Baru saja dapat satu pelanggan, masa iya … sesiang ini sudah mau pulang. "Tapi kau kan belum dapat pelanggan sama sekali sejak tadi." ia mengernyit heran.

Rabu yang dikenalnya selama satu tahun belakangan ini memang orangnya selalu seperti ini.

Datang sekitar jam 10 pagi dan pulang seenaknya saja. Kadang baru setengah jam sampai di Art Place sudah main pulang saja.

Paling sering memang pulang pukul satu siang, kadang kalau otaknya tersiram cat jam dua siang baru pulang dan kalau lagi waras pulang pukul empat sore.

Memang tidak ada batas waktu kapan seniman jalanan di Art Place bisa datang dan pergi, tapi … kan?

Seniman jalanan disini jika ada acara festival rata-rata pulang selepas tengah malam dan normalnya pulang pukul 8 malam.

Semua yang dilakukan seniman jalanan itu hanya sekedar untuk menyambung hidup di kerasnya kehidupan kota.

Dan sepertinya, Rabu sama sekali tidak terganggu, risih atau pun gusar jika di kantong, tas atau dompetnya tidak ada uang.

Bagaimana akan bertahan hidup jika sikap malas-malasanya saja masih dipelihara seperti itu, dan seniman jalanan di Art Palace mempunyai julukkan khusus untuk Rabu…

Seniman Pemalas.

Terlihat tidak punya gairah hidup sama sekali, dan rasa percaya dirinya itu loh … melebihi langit ketujuh.

Dan, si Pemalas ini datang dari negeri antah berantah. Sebab, tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana tepatnya Rabu Sore Hari datang lalu bergabung di Art Place.

Jujur, Sabtu yang sudah mengenal Rabu selama satu tahun belakangan ini juga tidak tahu pasti seluk beluk kehidupan laki-laki yang memiliki mata berwarna biru itu.

Tahu-tahu, Rabu sudah duduk di kursi lipatnya yang lusuh di sebelah lapaknya waktu itu.

Yang, Sabtu tahu dari Rabu hanya satu jika laki-laki berambut blonde itu tinggal di Flat lantai 3 yang sederhana.

Sangking sederhananya tidak ada kasur untuk tidur— Rabu hanya menggelar tikar saat malam hari. Hanya ada satu kompor gas, satu gelas, satu piring … semuanya serba satu.

Tapi untungnya kamar mandinya masih bersih, hem.

"Iya aku tahu, Sabtu." Rabu meregangkan badannya. "Hari ini aku sangat lelah," ucapnya dibarengi dengan mulutnya yang menguap lelah. Matanya berair karena perih terkena angin yang bercampur debu.

"Lelah?" Sabtu lagi-lagi menggeleng heran dan tidak percaya, bukankah sesampainya di AP Rabu langsung tidur?

"Yaaaa, aku baru saja berkunjung ke pemerannya Kak Kamis."

"Lalu?"

"Yaaa …." Rabu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Keliling, dan kakiku ini sangat lelah. Butuh istirahat, ok," cengirnya.

"Astagaaa!" Sabtu menggeleng gemas. "Kau akan makan apa jika tidak melukis, Rabu?" tanyanya dengan sedikit banyak menekan suaranya.

"Aku sudah makan tadi."

"Hah?"

"Permen. Diberi Kak Kamis," cengir Rabu tanpa rasa bersalah saat melihat wajah Sabtu yang ingin menonjok wajah tampannya ini. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku," katanya santai menatap mata Sabtu yang berwarna coklat tua itu. "Masih ada nasi—"

"Sisa kemarin."

"Seratus untukmu, Broo." Rabu dengan entengnya akan mengajak Sabtu tos, namun tangannya malah ditepis dan diberih decihan sinis.

"Tapi tidak ada lauknya, kan?"

"Santai...." Rabu memanjangkan nada suaranya. ia mempercepat merapikan semua peralatan melukisnya. Jika terlalu lama disini, ia tidak akan bisa tidur siang dengan cepat.

"Kalau seperti ini, kapan kau bisa kaya, Rabu … Rabu?!" Sabtu semakin lelah menggeleng.

"Ah, pertanyaan bagus, Sab," kekeh Rabu. "Dan, sayang sekali pertanyaanmu itu adalah pertanyaan yang sangat susah untuk dijawab."

Sabtu tertawa. "Dasar pemalas!!"

"Aku bukan pemalas hanya memang rejekiku yang tidak mengalir dengan baik, ok?!"

Sabtu semakin tergelak. "Iya, sudah terserah kau saja."

"Permisi…"

Itu suara pelanggan…

Tapi bukan ke Rabu tapi ke Sabtu.

Ok, tidak masalah!

"Ya, sudah aku pulang duluan, Sab."

Rabu sudah memakai tas ransel kanvas jadulnya yang berwarna hijau tua, talinya yang panjang menyilang di bagian dada bidangnya.

Tas tabung tempat kanvasnya pun sudah dinaikkan ke bahu, dudukan kanvas ia tenteng dibagian kiri tangannya dan kursi lipat serta papan harga lukisan ia tenteng ditangan kanannya.

Rumit dan ribet!

Itulah yang Rabu rasakan saat membawa tetek benget alat tempurnya seperti ini. Ingin rasanya ia bakar semua ini, tapi … huh, ia mencari uang dari semua hal rumit ini.

Huh!!

"Hati-hati dijalan, Rabu," kata Senin mengingatkan.

Biasanya Rabu, baru satu meter jalan sudah tersandung tali sepatunya sendiri.

"Yap!!!"

Sabtu menundukkan sedikit kepalanya membalas salam Rabu disana, lalu ia mempersiapkan alat lukisnya.

"Da da da, sampai ketemu besok, Sabtu…"

Rabu berlari-lari kecil, melompat kesana kemari seperti tupai.

Walau tidak dapat pelanggan yang artinya tidak ada pemasukkan yang berarti tidak bisa memberi cacing didalam perutnya makanan enak, bagi Rabu...

"It's ok."

Yang penting happy.

Kruyuk … kruyuk!

Bodo amat!

"Itu bukan suara perutku! Ini hanya cacing yang lagi nangis."

Rabu tetap melenggang dengan bahagia.

Walau kepalanya agak pusing karena belum makan seharian ini … eum, it's ok!

"Masih ada nasi sisa kemarin. Semangat! Semoga kecapnya masih ada."

Rabu sudah menelan ludah duluan saat bisa merasakan rasa imajiner nasi kemarin yang bercampur kecap manis.

"Ayo … ayo, pulang!!!"

***

Salam

Galuh