Happy Reading
***
"Sudah siap semuanya?"
Senin menoleh kebelakang sedang Selasa sama sekali tidak bergeming. Ia melihat lurus-lurus gelapnya lorong yang terlihat sulit untuk dilewatinya itu.
Selasa menggigit bibirnya dengan cemas. Ia jadi takut untuk melewati lorong itu.
"Kita kan tidak tahu apa yang ada di depan sana," batin Selasa mulai takut melanjutkan perjalanan.
"Bagaimana kalau di depan sana ada jurang? Terjal tidak iya? Bagaimana kalau jurang itu terjal? Bagaimana kalau aku jatuh?" Bola mata Selasa berputar gelisah. Ingin rasanya ia meminta siapa saja yang mendorong kursi rodanya untuk berhenti.
"Berhenti!!!"
"Kumohon!!"
"Jangan jalan lagi!!!"
"Aku akan jatuh sungguhan nanti!!"
"Bagaimana caranya aku bisa naik keatas lagi kalau aku jatuh!!!" teriak Selasa amat frustrasi, sebab semakin ia berteriak, kursi roda itu semakin kencang melaju.
"Ahh, tidak!!! Masih ada tidak, yang mau membantuku untuk naik keatas lagi? Tolong!! Kalau tidak ada yang membantuku pasti aku akan mati di bawah sana!!!" Selasa semakin histeris, tubuhnya gemetaran tak terkendali.
"Terus … terus … terus, mayatku akan habis dimakan belatung lalu tinggal tulang, dan pada akhirnya ... untuk selamanya nama Selasa Langit Malam akan hilang dari dunia ini."
Iyaa … itu, benar!
Hahaha!!
MATI kemudian HILANG!!!
Selasa tertawa gila dalam pikirannya.
Nama pemberian Papanya yang sangat indah akan hilang ditelan oleh kejamannya belantara hutan yang sangat mengerikan itu.
"Selasa, haiii!!"
Deg!
Eh?!
Selasa berjingkat. Napasnya memburu cepat.
Tiba-tiba saja ia kembali ke dunia nyata!
Suara lengkingan tajam CEO Sky Castle berhasil membuat Selasa kembali sadar dalam dunia halusinasinya.
Senin, yang tidak melamun pun terkejut mendengar suara Bapak CEO yang baru saja selesai mengurus berkas-berkas kepulangan Selasa.
"Ayo … ayo, yang semangat, dong!!!" teriak Bapak CEO memberi instruksi pada kesepuluh orang pria bertubuh kekar untuk mengambil posisi siap sedia.
"Senin Melawan Pagi, sudah siap semuanya?" tanyanya pada manajer Selasa.
"Iyapp, sudah siap semuanya, Pak. Menunggu perintah selanjutnya," jawab Senin dengan muka di semangat-semangatkan.
Jika tidak pasti CEO Sky Castle Entertainment ini akan menganggapnya sebagai pekerja pemalas dan tidak bertanggung jawab pada Selasa.
"Selasa!! Sudah siap pulang sayang?!"
Selasa tidak menoleh tapi ia merasakan jika kepalanya sedang dielus-elus oleh Minggu Mengejar Waktu— pemilik resmi Sky Castle Entertainment, CEO paling tampan di seluruh dunia— agensi tempat dimana Selasa bekerja sekaligus secara eksklusif mendapat kontrak eksklusif selama tujuh tahun untuk menjadi model profesional di agensi tersebut.
Minggu berdiri disamping Selasa. "Ada yang ketinggalan tidak, sayang?" tanyanya selalu bersemangat. Ia meraih salah satu tangan Selasa untuk digenggamannya dengan erat.
Tangan cantik ini, rasanya begitu dingin.
"Tidak ada, Pak." Senin yang menjawab, daripada didiamkan oleh Selasa.
Tapi, detik berikutnya Senin jadi nyengir salah tingkah karena mendapat dengusan sinis dari Minggu. "Hehe, maaf, Pak."
Minggu hanya memberi isyarat, it's ok.
Minggu sama sekali tidak menyalahkan Senin, karena ia tahu betul, selama satu bulan lebih dirawat dirumah sakit Selasa memang jadi pendiam dan pemurung.
Sering kali saat menjenguknya ia melihat jika mata Selasa selalu sembab dan memerah.
Apalagi mata indahnya semakin lama semakin cekung dan sinarnya semakin redup, dan lingkaran bawah matanya mulai menghitam.
Hem, kasihan sekali anakku yang satu ini, batin Minggu selalu iba dengan Selasa.
"Selasa, sayang." Minggu sekali lagi memanggil Selasa. Salah satu tangannya yang bebas digunakan untuk mengelus-elus sayang kepala Selasa. Ia melihat topi yang dikenakan gadis cantiknya, ini warna kesukaan Selasa.
"Tidak perlu memberi klarifikasi apapun," kata Minggu dengan lembut. "Aku sudah bicara pada seluruh media. Wartawan di depan sana hanya ingin melihatmu saja," lanjutnya dengan penuh nada takzim. "Semua fitnah atas tuduhanmu itu sudah masuk dalam berita acara kepolisian."
Yang menghela napas lega saat mendengar Minggu mengatakan itu hanyalah Senin, sedang Selasa sama sekali tidak bisa bernapas lega. Masih banyak yang dikhawatirkannya.
Jujur, dilihat dari sisi manapun jika bosnya ini adalah pria yang sempurna. Usianya baru 32 tahun, masih muda tapi sudah menjadi CEO sebesar Sky Castle.
Single, tidak punya gebetan, pacar apalagi istri. Orang kaya. Pria yang terlihat setia dan terkenal sangat bertanggung jawab pada seluruh model asuhannya. Tubuhnya juga sangat proporsional, tegap, berwibawa dan berkharisma.
Pokoknya, bosnya ini adalah idaman dan incaran para wanita di negeri ini. Wanita dari strata sosial dan kalangan manapun selalu berlomba-lomba untuk menariknya dalam pelukan.
"Tapi sayang …." Senin membatin saat melihat Minggu yang sedang mengelus kepala Selasa dengan penuh sayang dan perhatian. "Bapak tidak suka wanita, hush!!" Senin refleks memukul bibirnya karena tanpa sadar menggumam, bukan suara hatinya.
Sial!
Eits, itu hanya gosip murahan, dan tidak terbukti keabsahannya. "Masa, pria setampan Pak minggu Gay!! Kalau beneran Gay, sayang sekali, ketampanannya tidak ada yang diturunkan nanti, huft."
Selasa masih diam.
"Astaga, hei!" seru Minggu yang mulai gemas sendiri, meraih dagu Selasa.
Selasa mendongak dengan cara dipaksa.
Mata mereka jadi saling bertatapan. Minggu menatap lurus-lurus mata Selasa yang tidak bercahaya.
"Jelek! Kau sangat jelek, Sel," katanya mengusap pipi Selasa yang kering dengan gemas.
Suara Minggu yang begitu jantan dan seksi— seharusnya, ketika masuk ke telinga Selasa atau wanita manapun, akan sukses membuat bulu kuduk wanita manapun merinding gelisah minta dicium di bibir dan dipeluk mesra.
Tapi tidak dengan Selasa!
Hatinya lagi mati rasa!
Otaknya lagi beku!
Tubuhnya belum bisa merespon apapun untuk segala sesuatu yang menyenangkan.
Minggu juga selalu seperti ini padanya. Menarik dagunya seolah ingin mengajaknya berciuman, mengelus pipinya sayang, malah Minggu pernah mencium pipi kanan kirinya langsung dengan bibir.
Tapi Selasa tahu gosip yang beredar itu jadi, terserah!!
Dan, Selasa sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada Minggu, karena prinsipnya hanya satu, Profesionalitas.
Minggu adalah bosnya, dan Selasa adalah bawahannya.
Tidak lebih!
"Setelah pulang dari sini kau harus perawatan secara rutin," lanjut Minggu, menoel sayang hidung mancung Selasa. "Aku tidak mau melihat wajah cantikmu sepucat dan sekering ini. Bibirmu harus terlihat seksi seperti biasanya, ok?! Aku akan mengirim segala apapun untuk kebutuhan perawatanmu. Jadikan kulit ini kembali indah, ok?!"
Selasa tidak menjawab, matanya yang kosong hanya berkedip-kedip sedih.
"Siappp, Pak!!" Seru Senin yang menjawab pertanyaan Minggu lagi. "Anda tidak perlu mengkhawatirkan Nona Selasa. Dia akan selalu aman jika bersama saya. Bapak tinggal perintahkan apa saja, pasti akan saya jalankan sesuka hati…"
Minggu yang tadinya lagi berusaha memberikan semangat pada Selasa, jadi salah fokus dengan ucapan Senin barusan. "Sesuka hati?"
"Eh, a-anu, maksudnya … dengan senang hati dan semangat yang membara, Pak," jawab Senin, ngeri-ngeri sedap ditatap setajam itu oleh Minggu.
"Ya, ya, ya!" Minggu memutar bola matanya dengan malas. "Terserah kau!! Awas saja, kalau kau sampai membuat gadisku semakin sakit."
Senin menggeleng mantap. "Tidak akan, Pak. Tidak akan! Bapak tidak perlu khawatir!!"
Hem, Minggu sekali lagi memperhatikan detail wajah Selasa. Ia melihat bibir Selasa yang menurutnya itu sangat indah, apalagi jika memakai lipstik berwarna merah darah. Beuh, aura ratunya langsung keluar.
Tapi, sayang, bibir ini sama sekali tidak terbuka, terlihat pucat dan kering.
Jujur, dari dalam hatinya, ia ingin sekali mendengar suara ceria Selasa lagi.
Sejak gadis cantiknya ini divonis lumpuh oleh dokter Gerald, sialan itu— suara indahnya mendadak hilang. Tidak ada lagi keceriaan dan semangat membara yang selalu ditunjukkan Selasa padanya.
Hem, dan harus Minggu akui … dari puluhan model yang dimiliki Sky Castle, baik model laki-laki ataupun model perempuan dan kesemuanya sangat berharga untuknya, hanya Selasa lah kesayangan dan kecintaannya.
Entah mengapa, saat pertama kali melihat Selasa berjalan di runway-runway'an 10 tahun yang lalu, ia merasakan jika …
"Kau adalah Muse-ku! Jika kau sudah umur 17 tahun aku akan merangkulmu dan menjadikanmu model sungguhan."
Iya, itu! Janjinya terpenuhi. Walau bukan umur 17 tahun, tapi sesuai keinginannya Selasa jadi salah satu miliknya.
Tiga tahun lalu, Minggu call out Selasa dan langsung memberinya kontrak eksklusif selama 7 tahun. Prediksinya tidak salah.
Selasa benar-benar menjadi apa yang diimpikannya selama ini.
Tapi ... lihatlah kesayangannya ini!
Hem, kau pasti pulih, sayang! Itu yang Minggu yakini hingga detik ini. Pasti!
"Biar aku yang mendorong kursi rodanya nanti kau langsung masuk kedalam mobil dan bantu Selasa untuk masuk kedalam." Minggu memberi instruksi pada Senin.
"Siap!!"
"Hati-hati dengan tanganmu, Senin," kata Minggu tak lupa memberi peringatan. "Kalau sampai tanganmu patah dua kali, aku sendiri yang akan mengamputasinya," seloroh Minggu melihat tangan Senin yang menggantung lemah itu.
"Hahah, siapa, Pak!! Anda tidak perlu khawatir!"
"Dan, kalian semua!!" Minggu melihat ke sepuluh bodyguardnya yang tadi diberi intruksi olehnya untuk bersiap-siap. "Halangi semua wartawan yang mencoba menyerang Selasa!" tegasnya. "Jangan sampai ada yang menyentuhnya sedikitpun. Bila perlu dorong mereka jika sudah keterlaluan. Kalian harus berusaha melindungi Selasa sampai dia masuk ke mobil. Mengerti?!"
"Siap, TUAN!!" Kesepuluh bodyguard itu berseru kompak, selalu siap menerima perintah komandannya.
"Dan, satu lagi. Apartemen Selasa jangan sampai lepas dari pengawasan kalian."
"SIAP TUAN!!!"
Huh, untuk saja ini sudah ada di koridor rumah sakit lantai satu. Sangat jauh dari kamar pasien, kalau tidak … habislah mereka.
Seruan kesepuluh bodyguard Minggu sungguh membuat semua jantung yang berdetak sehat, sedikit banyaknya mengalami keterkejutan.
***
Salam
Galuh