Chereads / RABU DAN SELASA / Chapter 5 - MENGHALAU WARTAWAN

Chapter 5 - MENGHALAU WARTAWAN

28/2/21

Happy Reading

***

Minggu berusaha mendorong kursi roda Selasa untuk melewati setiap kerumunan wartawan yang berdesak-desakkan dan menyodorkan berbagai macam mic pada gadis manisnya ini.

"Kita akan segera sampai," bisiknya pada Selasa, menatapi satu persatu wartawan-wartawan itu dengan sinis.

Untung saja ia pakai kacamata hitam jadi tidak terlalu kentara tatapan sinis akan kebencian pada mereka semua.

"Sialan! Sialan! Matilah kalian!!" batin Minggu menyumpahi mereka semua yang tak ada hentinya menjepretkan kamera, dan flashnya … Ya Tuhan!! Mirip kilat yang menyambar, dan sangat cocok untuk membuat mata buta!!

"Untung kita semua pakai kacamata!!" Minggu mendengus, ditengah kerumunan-kerumunan wartawan yang memaksa ingin mewawancarai Selasa.

Minggu memberi isyarat pada semua bodyguardnya yang membuat lingkaran besar mengelilingi mereka, supaya selalu waspada dengan kejaran dan kejahatan zombie gila yang tak bisa ditebak pergerakannya.

Bodyguard yang mendapat isyarat dari bosnya itu, langsung menekan benda mungil berwarna hitam yang menempel pada telinganya, setelah sambungan terhubung, bibir bodyguard itu komat-kamit, memberi komando pada seluruh anak buahnya.

Sedang Senin yang berada di depan sana— yang sudah dilindungi juga oleh bodyguard pun sampai kesusahan untuk jalan.

Mau maju susah, mau mundur takut kena Selasa. Para wartawan itu benar-benar seperti memiliki kekuatan super. Dorongan mereka semua sangat kuat dan tidak melihat situasi sama sekali.

Tidak tahukah mereka jika tangannya masih diperban cantik, dan mereka sadar tidak sih jika yang ada di tengah-tengah kerumunan ini dan menjadi incaran mereka hanyalah gadis lumpuh yang butuh istirahat.

Haishhh!!

Mereka semua benar-benar sangat merepotkan dan keterlaluan!

Senin jadi bertanya-tanya dalam hatinya, "Wartawan-wartawan itu semua diajari etika kemanusian tidak, sih?! Masa tidak ada rasa kemanusiannya sama sekali," geramnya dalam hati, tak kalah sinis menatapi mereka semua.

Sekilas ia melirik ke belakang melihat keadaan Selasa yang hanya menunduk dan terus menunduk. "Semoga dia baik-baik saja," gumamnya.

Jujur, dari dalam hati Minggu dan Senin yang terdalam … mereka berdua benar-benar muak dengan kehadiran semua wartawan-wartawan yang benar-benar tidak tahu malu, tidak tahu diri dan minim etika serta rasa empati.

Maksudnya, bisa tidak sih, sopan sedikit! Ini ada orang sakit, lho! Ini tuh bukan tontonan yang patut kalian rekam sesuka hati! Nggak seharusnya kalian mengintimidasi seperti ini!! Nggak seharusnya kalian memprovokasi seperti ini!! Dimana rasa empati dan simpati kalian pada orang yang sedang sakit secara mental dan fisiknya!! Kalian sadar tidak sih, kalian itu orang gila!

Please kasih jalan untuk Selasa!!

Biarkan dia pulang!!

STOP!! Jangan beri pertanyaan apapun yang menyudutkannya!!!

Astagaaa!!!

"Minggir, bangsattt!!!"

Deg!

Itu teriakan Minggu.

Bodo amat!!

Minggu sudah tidak peduli lagi dengan imagenya yang memiliki kebaikan hati selembut bunga!!

"Sialan kalian semua!! Dasar babi Zombie!!!"

Minggu mengumpat lagi. Sangat-sangat tidak peduli lagi dengan sebutan CEO yang ramah dan memiliki kesabaran seperti malaikat.

Orang sabar ada batasnya, ok!!

Hatinya sudah terbakar emosi, otaknya sudah mendidih, dan dadanya meletup-letup serasa akan meledak, dan ia benar-benar ingin menumpahkan segala kekesalannya sejak tadi. Tapi … beberapa detik lalu ia masih mengingat orang tuanya. Hanya beberapa detik tidak lama, tapi … tidak dengan sekarang!

Mereka semua sangat keterlaluan! Sikap! Perilaku! Tata krama! Sopan santun!!

NOL!!! NOL!!!

Apalagi pertanyaan mereka yang tidak tahu malu dan tidak beretika.

Heshhhh!! Ingin rasanya ia merobek satu-persatu mulut besar mereka.

Semua orang tanpa terkecuali terdiam, lampu flash yang bagai kilat menyambar mendadak hilang dan sodoran mic pun pada akhirnya diam ditempat.

Tidak ada yang bersuara!

Hening!

Namun semua umpatan kasar yang dilontarkan CEO Sky Castle terekam jelas pada kamera mereka masing-masing.

Dan ... binggo! Ini bisa jadi berita besar.

Mereka akan membuat narasinya sedramatis mungkin, dipelintir sedikit, isi rekamannya di cut .. cut … cut, edit sedikit, kasih evil editing secukupnya … rilis, sebarkan!

Lihat saja apa yang terjadi besok!!!

Mendengar umpatan, sumpah serapah dan bentakan bosnya yang belum berhenti-henti juga, pada akhirnya Senin menoleh kebelakang dan badannya ikutan berbalik karena ingin melihat wajah tampan Minggu yang benar-benar terlihat marah.

Ah, Minggu tak pernah seemosi ini!

Ini pertama kalinya Minggu seperti ini, dan itu semua dilakukan tidak lebih untuk membela gadis kesayangannya ini.

Selasa tidak salah!

Minggu yakin 100% pada Selasa karena semua bukti sudah jelas. Selasa hanyalah korban! Jadi sampai titik darah penghabisan Minggu akan membela Selasa dan akan mencari penyebar berita mengerikan itu.

"Nona tidak apa-apa?" tanya salah satu bodyguard yang tampak kelelahan mengahalu para wartawan itu sekaligus ia terlihat cemas pada keadaan Senin yang yang juga terlihat lelah.

"Iyaa," jawab Senin, sedikit meringis kepegalan karena tangannya yang patah sempat tertekan tadi.

"Maafkan saya, Nona," katanya lagi.

"It's oke," jawab Senin.

Tangannya sungguh tidak apa-apa!! Yang jadi masalah hanya Minggu dan Selasa. Minggu tidak kunjung selesai mengumpat dan Selasa sepertinya sudah sangat-sangat tertekan dengan semua keadaan ini.

"Beri jalan tidak!! Minggir, Babi!!!" Minggu berteriak. "Minggir!!" kali ini suaranya turun satu oktaf. "Saya sudah memberi klarifikasi. Apa lagi yang ingin kalian-kalian tahu dari kecelakaan Nona Selasa, hah!! Dia ini lumpuh! Dia ini sakit!! Dimana hati nurani kalian!! Bisa tidak sedikit saja kalian merasa iba padanya! Jangan memaksanya bicara jika dia tidak mau bicara! Bukankah saya sudah katakan, beri waktu Nona Selasa! Beri waktu dia untuk pulih! Kalian itu harusnya menanyakan kabar—"

"Ta-tapi, Pak—"

"Diam, diam, diam!!!" Minggu mendelik pada salah satu wartawan yang memotong perkataannya barusan.

Susah sekali bicara pada wartawan-wartawan yang punya tingkat keegoisan tinggi akan uang. Maksudnya, jika tidak ada berita hoaks yang mereka dapatkan sama saja mereka tidak makan.

Minggu memberi isyarat untuk jalan lagi.

Barisan bodyguard bagian depan mengangguk, dan Senin pun mengangguk.

"Aman, kan?!" Minggu mengelus-ngelus sayang kepala Selasa sebelum menjalankan kursi roda itu kembali. "Tenang, oke," lanjutnya mencoba menyalurkan rasa tenang pada Selasa. "Ayo, jalan lagi," katanya.

Kursi roda di dorong lagi …

Hah, dasar wartawan gilaaa!

Memang benar-benar tidak bisa dibaiki dan maunya dikasari!

Minggu memberi isyarat pada semua bodyguard untuk mendorong kasar siapa saja wartawan yang mencoba menghalangi jalan mereka. Jangan kasih celah, jangan kasih ampun, dan jangan kasih kesempatan untuk mendekat.

Minggu jadi dendam! Ia jadi ingin memiliki acara stasiun TV gosip tapi pekerjanya yang tidak diperbolehkan sebrutal dan sekejam ini. Ia ingin punya pekerja yang mengedepankan etika saat mewawancarai dan iya … yang jelas jangan memaksa jika tidak mau!!

Awas kalian!!! Sumpah Minggu.

Huhhh! Percuma! Percuma!!

Padahal Minggu sudah mengumpati mereka dengan kata-kata kasar tadi, tapi hal itu sama sekali tidak mempan. Malahan mereka semakin bersemangat memberi pertanyaan pada Selasa, dan pertanyaan itu benar-benar sudah keterlaluan!!

Pertanyaan random mereka!

"Nona Selasa … Nona Jum'at akan ada di Paris Fashion Week bulan ini untuk menggantikan Anda. Bagaimana tanggapan Anda?"

"Nona Selasa … apakah Anda akan bertanggung jawab untuk semuanya?"

"Nona Selasa … saya dengar jika keluarga Bapak tua itu meminta pertanggung jawaban pada Anda?"

"Nona Selasa … saya dengar, Anda lah yang menyewa Bapak Tua itu untuk menabrak mobil Anda sendiri. Bagaimana menurut Anda dengan pemberitaan itu, Nona?"

"Nona Selasa … apakah kasus kecelakaan ini hanya settingan saja? Ini semua hanya rekayasa?"

"Nona Selasa … sebenarnya Anda tidak lumpuhkan? Dan, vonis kelumpuhan itu hanya digunakan sebagai dalih saja supaya kasus ini tidak diproses di meja hijau?"

"Nona Selasa … jika benar Anda lumpuh, pengobatan apa yang Anda akan jalani. Medis modern atau tradisional?"

"Apa harapan Anda setelah kasus kecelakan ini?"

"Bagaimana perasaan Anda ketika divonis lumpuh oleh dokter?"

"Apakah Anda akan tetap menjadi model Sky Castle?"

"Apakah Anda akan tetap melanjutkan karir Anda di dunia modeling?"

"Nona Selasa …."

"Nona Selasa …."

"Nona Selasa …."

Brakh!!!

"JALAN!!!" Minggu memberi perintah pada si sopir setelah berhasil mendudukan Selasa dengan baik di dalam mobil.

"SIALAN!! Brengsek!!" Umpat Minggu, memijat kepalanya yang mendadak pusing.

"Bapak tidak apa-apa?" tanya Senin, cepat-cepat memberi minum pada Minggu.

Minggu menggeleng. "Hahhh!!!" teriaknya benar-benar lelah lalu ia melihat Selasa yang diam-diam saja. Tidak ada reaksi atau respon apapun untuk semua yang sudah terjadi tadi.

Tapi jauh di dalam keterdiaman dan sikap tenang Selasa, sebenarnya Minggu bisa merasakan debaran jantung Selasa yang begitu hebat karena takut dan cemas di dalam sana. Ia bisa merasakan semua tubuh gemetar Selasa yang resah dan gelisah saat ia menggendongnya, dan mendudukkannya dengan nyaman disana.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Minggu setelah Senin sudah melepas topi dan masker yang dikenakan Selasa, dan Selasa baru saja minum.

Selasa mengangguk.

"Baguslah," katanya yang tidak tenang. "Jangan dengarkan apapun yang dikatakan mereka tadi, Sel."

Selasa mengangguk lagi, menatap mata Minggu dengan hati terkoyak-koyak. Ia bisa melihat betapa Senin dan Minggu terlihat kelelahan karena berusaha melindunginya tadi.

"Haahh! Kenapa aku jadi merepotkan semua orang seperti ini. Dasar tidak berguna!!" Selasa mengumpati dirinya sendiri.

"Maafkan aku, Pak Minggu, Senin. Maafkan aku yang tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa," batin Selasa ingin menangis namun ia tahan sekuat mungkin. Ingin sekali ia mengatakan itu, tapi entah mengapa suaranya tidak mau keluar.

"Mereka semua benar-benar gila!!" umpat Minggu tak ada habisnya. "Sangat menyebalkan! Sialan!! Cari uang sih cari uang, tapi bisakan lihat-lihat kondisinya dulu! Mana pertanyaannya gila-gila semua lagi!! Arghh, ingin rasanya aku mencabik-cabik mereka semua! Sialaaan, babii!!!"

Selasa menghela napas panjang. Tubuhnya ia coba sandarkan dengan nyaman di sandaran kursi. Kepalanya sangat pusing dan rasanya mau pecah!

"Benar semua dugaanku." Selasa menutup matanya, hatinya mulai meracau kembali. "Mereka semua menanyakan hal itu padaku," ucapnya semakin tertekan dengan semua keadaan ini. "Kenapa mereka menganggapku sebagai tersangkanya? Kenapa mereka mengatakan jika aku mau bunuh diri? Kenapa mereka sama sekali tidak mempercayai diriku? Apa salahku? Apa?"

***

Salam

Galuh