1/3/22
Happy Reading
***
Keesokan harinya … sesuai yang sudah diperkirakan.
Minggu melempar koran internasional yang memuat namanya dengan huruf kapital sebesar gunung, tidak lupa ada judul berita yang sangat indah yang menyertainya.
MINGGU MELAWAN WAKTU–CEO SKY CASTLE, BERKATA KASAR DI DEPAN UMUM! BABI DAN ANJING!
Minggu hanya sekilas membaca isi berita itu, setelahnya koran itu terbanting begitu saja di dilantai.
Hem, padahal harga kertas tidaklah murah sekarang!
Giginya gemeretak menahan marah. "Apa sih, mau mereka. Sampai membuat namaku seburuk ini. Bukankah yang salah mereka?! Apa salah jika aku menyebut mereka 'Babi Sialan' dan 'Anjing tidak tahu malu'!"
"Heshh!!" Minggu mendengus kesal.
Ia mengacak-ngacak rambutnya sangat frustrasi. Kepalanya sedikit pusing karena ia baru saja tidur selama 3 jam, dan entah mengapa, pagi-pagi buta tadi, tiba-tiba saja matanya terbuka dengan sendirinya— yang membuatnya jadi tidak bisa tidur lagi.
Tidak lama setelah kesadarannya pulih, ia melihat salah satu bodyguardnya dari balik dinding kaca yang ada di luar— tepatnya ada di taman— membawa koran yang entah dapat darimana.
"Ini namanya pencemaran nama baik," gumamnya, mengambil cangkir dari lemari untuk membuat kopi yang sempat tertunda tadi gara-gara berita sialan itu.
"Satu bulan ini mereka menjelek-jelekan Selasa lalu Senin yang hanya sebatas manajer pun kena sasaran berita jahat dan sekarang aku!! Hahaha, dasar kurang ajar dan kurang kerjaan mereka. Kehabisan berita atau bagaimana sih?!" Kepalanya menggeleng heran dengan situasi yang lagi tidak bersahabat dengannya ini.
Minggu jadi tertawa masam pada dirinya sendiri, "Mimpi aku semalam," gumamnya mengejek dirinya, "Bisa-bisanya …," gumamnya lagi sambil menyodorkan cangkir kosong ke mesin kopi otomatis. Tadi ia sudah memasukkan kopi bubuk hitam dan air panas kedalamnya. Jadi tinggal tunggu kopi mengalir ke cangkirnya hingga setengah bagian.
Sambil menunggu cangkir itu terisi, Minggu meraih ponselnya yang tadi diletakkannya begitu saja diatas meja saat menerima koran dari salah satu bodyguardnya.
Jari tampannya yang terampil segera mengetikan pesan pada salah satu orang kepercayaannya.
[Temukan siapa saja pembuat berita ini.]
Minggu menekan-nekan layar sentuhnya dengan begitu kuat— menunjukan betapa kesalnya ia dengan keadaan ini.
[SELIDIKI! JANGAN BERI AMPUN! PENJARAKAN!!]
Pesan itu langsung terkirim secepat kilat.
[KESABARANKU SUDAH HABIS!]
Lanjutnya, mengetik dengan bibir terlipat kesal. Kalau saja ponsel ini tidak penting untuknya sekarang, mungkin ponsel ini sudah akan jadi korban kemarahannya.
Terhitung hanya satu detik terdapat balasan pesan dari orang kepercayaan Minggu.
[Anda tidak perlu khawatir, tuan. Sebelum Anda perintahkan saya sudah jalankan tugas penyelidikan itu. Seluruh anak buah tuan yang ada di bawah komando saya sedang bekerja semua, tuan.]
Minggu tersenyum saat membaca pesan itu, "Kau memang selalu bisa kuandalkan," ucapnya menunggu dengan sabar saat orang kepercayaannya itu sedang mengetikkan sesuatu lagi.
[Saya pindah ke sambungan telepon, tuan?]
Heshh!! Minggu menggeleng gemas— padahal ia sedang menunggu pesan penting apa yang akan disampaikan orang kepercayaannya itu.
[Tidak perlu! Aku dirumah Selasa. Katakan apa yang ingin kau laporkan.]
[Baik, tuan.]
Tidak lama ….
[Kasus kecelakaan Nona Selasa memang benar adanya sabotase, tuan.]
[Dilihat dari rekaman CCTV yang berada di bandara waktu itu dan bukti rekaman yang disembunyikan dan tidak dipublikasikan ke publik jika bapak tua itulah yang menyabotase mobil Nona Selasa.]
Deg!
Dasar polisi ba …!! Hesh, sabar-sabar!
Minggu masih dengan sabar menunggu. Entah mengapa dadanya jadi sesak saat membaca setiap pesan yang dikirimkan orang kepercayaannya itu.
[Bangkai Mobil Nona Selasa dan Bapak tua itu sangat dijaga ketat oleh pihak kepolisian jadi saya belum bisa tahu dengan pasti bagian mana dari mobil itu yang dirusak, tuan. Perkiraan awal, salah satu kabel remnya diputus atau tangki bensinnya sengaja dibocorkan.]
[Tuan ingat dengan keluarga Bapak tua yang berkoar-koar di seluruh penjuru media baik online maupun offline yang ada seluruh negeri ini?]
Minggu hanya mengangguk tidak membalas pesan itu.
[Keluarga Bapak tua yang meminta pertanggungjawaban atas kematian 'Ayah' dan 'Kakek'‐nya itu?]
"Astaga ingat, brengsek!!" Minggu jadi gemas sendiri.
Ia masih ingat betul dengan pasangan suami istri yang menangis-nangis sampai berlutut minta keadilan dan dua orang anak remaja yang meraung-raung minta pertanggung jawaban dari Selasa.
Ia tidak akan pernah melupakan keempat orang itu. Tidak akan pernah. Dan, menurut kabar burung yang beredar jika keluarga itu ada dalam perlindungan pihak berwajib.
Sialan!
[Mereka hanyalah keluarga palsu, Tuan.]
"Hahh! Pa-palsu?!"
[Saya dapat rekaman wawancara dari orang-orang yang mengenal masing-masing semua orang itu, tuan. Ini bisa jadi bukti di pengadilan nanti, dan maaf saya pakai sedikit suap dan banyak kekerasan untuk membuka mulut mereka, tuan.]
"Hemmm." Minggu menghela napas dengan berat, dan sabar. "It's ok! Tidak masalah! Tidak masalah!!"
Andai saja pembicaraan ini adalah sambungan telpon, mungkin ia sudah mengumpatinya dengan kata-kata cantik yang menggemaskan.
Orang kepercayaannya itu memang selalu seperti ini. Tipe orang yang antara tegaan dan tidak tegaan. Entahlah, yang jelas dia selalu bisa diandalkan dalam banyak hal.
[Tapi sekali lagi saya minta maaf karena belum berhasil menemukan siapa dalang dibalik semua masalah ini, tuan. Keluarga palsu itu sama sekali tidak bisa ditembus. Sepertinya ada 'orang dalam' yang berkuasa ikut terlibat dalam kasus kecelakaan Nona Selasa, tuan.]
"Ya, kau benar. Ini terlalu tiba-tiba. Semuanya sangat susah dijangkau dengan tangan kosong— padahal bukti sudah jelas jika Selasa hanyalah korban, dan sekarang malah semua berbalik menyalahkan Selasa. Memang dari awal ada yang janggal."
[Untuk keluarga palsu itu saya masih menunggu perintah tuan selanjutnya.]
"Bunuh saja," batin Minggu sudah habis masa sabarnya.
[Dan, besar dugaan saya. Maaf. Jika salah satu petinggi kepolisian juga turut campur dalam kasus kecelakaan ini.]
"Hem." Minggu menggeram.
[Saya akan kirimkan semua berkas-berkas lengkapnya pada, tuan.]
"Ya, itu lebih baik." Minggu memijat kepalanya yang semakin pusing saja.
[Tuan mau dikirimkan hard copy'nya atau soft copy'nya?]
"Sialan, masih pakai acara tanya lagi!! Kalau menunggu hard copy'nya kapan sampai! Bisa-bisa nanti siang baru akan sampai! Jaman sudah canggih, kan, Monthly!!!"
Seolah tahu akan kemarahan bosnya...
[Ahh, saya mengerti, tuan.]
[Saya akan kirimkan ke email Anda, tuan. Salam damai, tuan Minggu. Semoga hari-hari Anda menyenangkan.]
Baru juga Minggu akan mengetikkan sesuatu tiba-tiba saja status chat Monthly sudah offline.
"Dasar Monthly!" umpatnya pada Monthly— salah satu orang kepercayaan Minggu.
Monthly bukan polisi, bukan detektif, bukan anggota CIA atau apapun itu. Monthly hanyalah sahabat sekaligus orang kepercayaan Minggu, dan Monthly hanyalah mantan anggota intelegen negara yang terbuang.
"Ok." Minggu menghembuskan napas untuk menenangkan hatinya.
Ini sebuah fakta yang sangat mengerikan, untuk sementara semua harus dirahasiakan. Jika Selasa tahu urusannya bisa jadi panjang nanti. Biarkan dia fokus menyembuhkan diri terlebih dahulu baru setelahnya, ia akan memberitahu semuanya. Selasa tidak boleh sampai tahu jika benar-benar ada yang ingin membunuhnya pada malam itu.
Minggu dengan asal meletakkan lagi ponselnya di atas meja lalu mengambil cangkir yang sudah terisi kopi.
Sebenarnya ia akan langsung mengambil tablet yang ada di tasnya untuk memeriksa berkas yang akan dikirimkan Monthly tapi, saat ia berbalik sudah ada Selasa yang entah sejak kapan, ada disana dan gawatnya lagi Selasa sedang membaca koran yang tadi dibuangnya.
"Aihh, gawat! Sialan kau, Minggu." Rutuknya pada diri sendiri dalam hati.
"Ehh, kau sudah bangun sepagi ini, sayang?" Minggu menyapa dengan suara riangnya, seperti biasa.
Sungguh melihat Selasa yang seperti itu entah mengapa Minggu jadi kikuk sendiri. Ia melupakan sesuatu jika masih berada dirumah Selasa. Karena tidak ingin ditanya macam-macam, ia langsung mengambil ponsel yang tergeletak dan memasukkannya ke saku celana belakang.
"Mau kopi, sayang?" tanya Minggu basa-basi. Mengangkat cangkir dan menyeruput kopi itu tipis-tipis sambil memperhatikan keterdiaman Selasa yang fokus sekali membaca koran itu.
Minggu jadi ingin tahu apa yang dipikirkan Selasa saat ini. Perasaannya jadi semakin cemas saja saat melihat keadaan Selasa yang berantakan seperti itu.
Merasa diawasi begitu intens oleh Minggu, Selasa jadi menghentikan membaca berita yang isinya benar-benar mengerikan itu. Tertulis jelas jika berita itu menyudutkan Minggu dan Senin.
"Hem, aku selalu jadi beban dan momok mengerikan untuk mereka." Hatinya mulai bergejolak, tidak nyaman dengan semua ini. "Sungguh aku tidak ingin menjadi beban kalian semua."
Selasa mendongak, melihat Minggu yang berdiri bersandar pada meja bar disana.
Walau masih mengenakan pakaian kemarin, Minggu tetap terlihat tampan seperti biasanya, lalu ia baru sadar akan sesuatu hingga membuat dahinya berkerut bingung.
Sebenarnya ia ingin bertanya, "Kenapa Pak Minggu masih ada dirumah saya?" Tapi suaranya tidak mau keluar. "Bukankah bapak sudah pulang tadi malam?"
"Ada apa?" Minggu mengangkat satu alisnya, berpura santai. Balik menatap mata cekung Selasa yang terlihat sekali ….
Ahh, Minggu lupa jika Selasa— gadis manisnya itu sama sekali tidak tidur semalam. Matanya terbuka hingga larut pagi. Ia tahu informasi ini dari Senin, katanya sudah diberi obat tidur tapi tetap saja tidak tidur-tidur juga.
Hem, dari matanya yang kosong … Minggu tahu jika banyak hal yang dipikirkan Selasa. Apalagi kejadian kemarin pasti membuat Selasa trauma untuk bertemu wartawan lagi.
Dan, hari ini, dokter kejiwaan akan datang, ia berharap jika dokter nantinya tidak akan memvonis kesehatan mental Selasa yang macam-macam.
Cukup kakinya saja yang sakit, mentalnya jangan!
Sebab, Selasa harus tetap menjadi Selasa! Ia ingin Selasa segera pulih dan kembali ceria seperti dulu.
Ini bukan masalah uang, tapi ini masalah kasih sayang! Titik!
Minggu sangat menyayangi Selasa.
"Istirahatlah, Sel." Minggu berjalan mendekati Selasa. "Sudah kubilang jangan memikirkan apapun lagi," katanya duduk berlutut di depan Selasa, meraih koran yang dipegang Selasa namun Selasa tidak mau melepas koran itu. "Oke," lanjutnya mengalah. Lantas ia menggenggam tangan Selasa yang selalu terasa dingin itu.
(Bersambung)
***
Salam
Galuh