"Rum, temenin ke gerai depan sekolah," kata Darsam bertepatan dengan bunyi bel pelajaran berakhir. Aku hanya mengabaikannya, sambil tetap mengais buku-bukuku yang ada di meja. Beberapa murid perempuan mulai keluar, melewati bangkuku dan tersenyum ke arahku. Aku merasa bahwa mereka mulai memperhitungkan keberadaanku di kelas ini sejak adanya pameran waktu itu. Atau mungkin sejak Arga bicara di kelas waktu itu, atau entahlah. Yang jelas sekarang, mereka pada sering basa-basi secara tidak wajar padaku. Dan itu membuatku merasa bahwa apa yang mereka tampilkan setelah berita pameran itu, adalah realitas semu yang dibalut dengan kebasa-basian yang tidak berguna.
"Arum!" pekik Darsam saat dia mulai kesal karena aku mengabaikan ucapannya. Lagipula, yang dia katakan tadi bukan ajakan, tapi paksaan. Ajakan harus benar-benar persuasif.
"Apa-apa?" Aku menimpali dengan gestur yang malas.
"Ayo temeni ke gerai depan sekolah itu," katanya sarnbil berdiri di depan mejaku. Dia memang sudah membereskan seluruh peralatan tulisnya bahkan sebelum guru mengakhiri kelas. Ya, kau pasti tahu kalau jam-jam menjelang pulang itu rawan sekali. Mereka yang tadinya terlihat lunglai, mendadak menjadi gesit gestur tubuhnya.
"Nggak, ah. Besok itu ada kelas sejarah, dan tugasku belum selesai." Dengan susah payah aku mengarang alasan untuk menolaknya. Dan satu-satunya alasan yang paling sering aku gunakan adalah menghubungkan dengan tugas sekolah.
"Alah, gampang. Nanti aku bantu ngerjain," katanya.
Nah, memang, rumitnya mempunyai teman kelas adalah susah mencari alasan untuk membohonginya. Dan apapun alasan yang kita pakai untuk membohongi teman satu kelas yang 'dekat' dengan kita, baiknya kita harus lebih hati-hati mulai sekarang. Kita harus matangkan betul alasan itu. Tidak mungkin aku terus-terusan membuat alasan dengan mengerjakan tugas sekolah, sementara Darsam satu kelas denganku. Kalau aku membohongi Arsyad dengan alasan tugas sekolah, mungkin bisa-bisa saja. Tapi aku tetap harus mencari alasan cadangan lain, yang menurutku tidak bisa dibantah, tidak bisa diprediksi, bahkan diriset oleh orang lain.
Aku memutar mata. "Males. Lagian sejak kapan sih, kau pernah tahu aku nongkrong ke kafe?"
Gerai yang dimaksud oleh Darsam tadi adalah kafe yang cukup elit di depan sekolah. Memang kafe itu kerap menjadi destinasi anak-anak sekolah—mahasiswa juga ada— ketika jam-jam anak sekolah pada pulang. Dan selalu ketika aku lewat di depan kafe itu, aku hanya melirik sekilas dan tetap berjalan menuju halte. Aku tidak pernah tertarik dengan kafe itu. Apalagi dengan suasana ramainya yang dengan melihat saja sudah bikin kepalaku pusing.
"Ish, cuma temenin makan aja, kok. Aku nggak bisa makan sendiri," rayunya.
"Dih, biasanya juga sendiri."
Secara mengejutkan, Darsam langsung menyentil keningku. "Sejak kapan bawel banget?!" katanya.
Aku langsung beringsut menjauh dari Darsam. Dan mengusap keningku akibat sentilan Darsam tadi. Sementara Darsam bergeser sedikit dan berjalan keluar kelas. Aku memakinya dalam hati.
Dia tetap bersikukuh mengajakku ke kafe itu. Dari awal aku bilang kalau aku bukan tipe orang yang suka nongkrong. Nongkrong di sini dalam arti nongkrong yang tidak punya tujuan jelas. Seperti hanya ngobrol tanpa arah—random. Ya, ngapain, lebih baik langsung pulang ke rumah. Melestarikan budaya perempuan yang lebih suka menutup diri.
Kenapa aku begitu? Banyak murid perempuan lain yang selepas pulang sekolah di sekolahku, yang malah tidak langsung pulang ke rumah. Tapi lebih memilih nongkrong. Aku tidak menjustifikasi mereka secara gamblang, ya. Karena bisa jadi mereka nongkrong sebab ada tugas kelompok. Tapi kan, kita sebagai anak sekolahan ya pasti akrab dong, dengan alasan-alasan yang kita pakai ketika izin ke orang tua kenapa telat pulang ke rumah. Ya, pasti kebanyakan dari mereka beralasan karena ada tugas kelompok. Mungkin memang benar kalau ada tugas kelompok. Tetapi tidak sedikit pula dari beberapa anak di sekolahku yang malah berpacaran. Buset. Apalagi sekolahku letaknya di pusat kota. Bisa kau bayangkan bila mayoritas anak itu rumahnya di desa yang agak jauh dengan kota? Yang mungkin perjalanannya membutuhkan waktu dua puluh sampai tiga puluh menit. Akan sangat sulit bagi para orang tua untuk memastikan apa yang dilakukan anak-anaknya. Tidak ada cara lain selain dengan percaya. Oleh karena itu makanya, salah satu pertimbangan kenapa aku tidak seperti mereka—tidak suka nongkrong. Bukan karena semata-mata perihal orang tua—bahkan bapak dan ibuku sendiri memperbolehkan kalau misalnya aku nongkrong. Hanya saja di sini aku memilih tidak. Karena bagiku, tugasku sebagai murid benar-benar selesai ketika pelajaran di sekolah berakhir. Setelah itu hanya tanggung jawab formal, seperti mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kemudian, setelah kegiatan di sekolah berakhir, akiu kembali menjadi seorang anak.
Kembali ke Darsam. Ketika Darsam mendorong pintunya, tampak di situ meja-meja yang penuh dengan anak-anak sekolah yang seragamnya sama persis denganku. Dan para gadis yang sedang sibuk bergosip—menurutku mereka punya bakat untuk segera menjadi ibu-ibu komplek yang suka bergosip sambil dasteran, juga para lelaki—alias bocah manusia bernuansa monyet—sedang mengincari seorang gadis yang bisa digodanya. Serta banyak orang lain yang sudah siap dengan pasangan masing-masing. Ada yang duduk formal di tengah-tengah kafe, sambil ngobrol. Ada juga yang ndepis di pojokan—laki-lakinya main ponsel, sementara si gadis hanya mengaduk-aduk gelas minumannya yang sudah tidak ada isinya.
Melihat keberagaman yang tidak senonoh itu, membuatku menjadi tidak nyaman. Ditambah aku datang ke sini dengan Darsam, berdua. Apa coba yang dipikirkan nanti oleh orang lain yang tahu kalau kami sedang datang ke kafe berduaan? Tidak perlu aku tegaskan lagi, kau pasti tahu. Aku terlihat tak ada bedanya dengan para monyet yang berusaha menjalin hubungan romansa di pojokan kafe itu.
"Em, Sam... Tiap hari memang penampakannya kek gini, ya?" tanyaku memberanikan diri.
"Nggak tahu, aku juga baru sekarang ke sini."
Kami duduk di tempat yang menurut Darsam mungkin strategis—karena dia yang memilih tempat. Depan, belakang, samping kiri-kanan adalah orang-orang pacaran.
"Aku tahu kalau kau sedang sebal. Mungkin ada seratus makian yang kau pendam..."
"Seribu!" sergahku.
"Ya, seribu. Tapi ya, apa boleh buat. Aku udah laper banget. Ya, udah nikmatin aja pemandangan yang ada. Hitung-hitung referensi baru," katanya dengan ringan, setelah itu nyengir ke arah samping kanan.
"Dih, lihat pemandangan, ngaco!"
"Halah, bilang aja kalau kau iri sama mereka. Jadinya kau kelihatan nggak suka gitu. Inget ini ya, Rum. Penyakit hati yang paling berbahaya itu adalah iri dengki."
"Kau ini, hih!" pekikku sambil menjitak kepalanya.
Darsam terkekeh. Setelah itu, dia memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman. Padahal, aku tidak mengatakan aku juga mau makan atau minum, tapi Darsam tetap memesankannya untukku.