"Prima?" sekelebatan suara tertangkap oleh telingaku yang seketika membuat lamunanku terpecah. Dan aku mendapati Bu Lia yang tengah berdiri di depan mejaku dengan raut wajah yang sulit aku identifikasi.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku kebingunan.
Bu Lia lantas menggeleng dengan tangan terlipat di depan dada. "Kau melamun di pelajaran saya?"
"Eh, em..." Aku terbata-bata ketika hendak menyusun alibi. Sementara Darsam yang ada di sebelahku hanya menggeleng.
"Apa kau ada masalah, Prima? Beberapa kali saya lirik, terlihat kalau kau tidak fokus dalam kelas saya. Ada apa?" kata Bu Lia. Dan yang membuatku lega adalah beliau tidak mencecarku dengan emosi, melainkan beliau terlebih dahulu menanyakan kondisiku sedang ada masalah atau tidak—yang membuatku tidak fokus dalam pelajaran. Dan dengan kesal aku merutuki diri sendiri. Karena telah lalai dalam melaksanakan tanggung jawabku dengan menyimak pelajaran secara serius. Bukan apa-apa, bukan semata-mata pelajaran tersebut penting bagiku, tapi juga sebagai bentuk menghargai guru yang ada di depanku.
"Tidak, Ibu. Saya tidak apa-apa. Saya minta maaf. Saya akan lebih memperhatikan."
"Tapi, bel baru saja berbunyi, Prima," jawab Bu Lia sambil menggelengkan kepala lagi. Disambut desis tawa dari murid lain yang ada di belakang.
Aku langsung terkaget. Sudah bel? Sejak kapan? Astaga, jadi selama dua jam pelajaran ini aku hanya melamun saja? Benar-benar khusyuk sekali ketika kau tenggelam dalam lamunanmu sendiri Arum. Perlahan, masalah datang padamu, dan itu juga mulai berimbas pada konsentrasi belajarmu. Kembali dalam hati aku merutuki diriku sendiri karena kecerobohanku yang terlalu banyak memikirkan mengenai pertemuanku dengan Kevin akhir minggu nanti.
"Tolong ke ruangan saya nanti sepulang sekolah," kata Bu Lia. Kemudian aku hanya mengangguk pasrah. Astaga, mungkin ini pertama kalinya aku datang ke ruangan beliau dengan urusan selain mengoreksi kuis. Benar-benar menyebalkan. Seketika aku ingin segera mencari kambing hitam untuk aku salahkan dalam hal ini. Dan orang itu adalah Kevin, ingin sekali aku menyalahkannya soal ini. Tapi masa iya Kevin?
Teman-temanku sudah mulai keluar kelas. Beberapa ada yang menatapku simpati tapi tidak sedikit yang menatapku dengan tawa tertahan. Okelah, menurut mereka mungkin itu semua adalah peristiwa yang patut ditertawakan. Tapi tidak bagiku. Pelajaran sekolah adalah soal esensialitas, tidak bisa dijadikan bahan tertawaan.
"Lah, malah bengong lagi," suara Darsam membuyarkan lamunanku. Darsam sudah berdiri di depan pintu. Aku menoleh ke belakang dan mendapati semua meja sudah kosong.
"Ah, maaf," kataku sambil mengais buku-buku yang ada di atas meja dengan tergesa-gesa. Perasaan, tadi aku sama sekali tidak memperhatikan pelajaan, tapi kenapa buku-bukuku berantakan di meja?
Selama berjalan ke kelas sejarah, tidak ada yang bersuara antara aku dan Darsam. Dan kembali aku sibuk dengan pikiranku sendiri tanpa mempedulikan sekitar. Dan tiba-tiba aku merasa ada sebuah tangan menahan lenganku.
Selain sentuhan tangan orang itu, matanya menatap mataku tajam. "Kau ada masalah?" tanya Darsam.
"Eh, enggak, kok. Udah ayo cepet masuk kelas, nanti telat malahan," kataku sambil perlahan melepaskan tangan Darsam.
"Semakin kebiasaan bikin alibi, musuh bicaramu akan semakin tahu," kata Darsam yang tahu-tahu berdiri di hadapanku untuk memotong jalanku. Aku memutar bola mata lalu bergerak ke kanan. Tapi Darsam juga mengikuti. Ketika aku ke kiri, Darsam juga begitu.
"Apaan, sih?"
"Sudah jelas, kan? Kau tidak akan kubiarkan lewat sebelum cerita apa masalahnya."
"Darsam, ayolah. Lima menit lagi kelasnya sudah dimulai. Aku nggak mau dipanggil ke kantor lagi."
Darsam masih bergeming di tempatnya "Gampanglah, Pak Deki ini, kata Darsam.
"Jangan gampangin pelajaran gitu, dong," kataku mulai kesal. "Dan soal melamun, apa salahnya orang melamun? Kayaknya, semua orang punya hak dan pernah melamun kali, ya. Dan menurutku itu wajar-wajar aja. Dan nggak perlu mempermasalahin itu. Kau ini kenapa, sih?!"
"Eh!" Dia mencolekku.
"Apa lagi?!" sahutku agak ketus.
"Ish, jangan masuk dulu..." Dia berusaha menarikku.
"Mau ngapain lagi?" tanyaku yang masih memberatkan pandanganku ke lorong koridor.
'Makanya berhenti dulu, dengerin," katanya. Kemudian aku memutuskan berhenti usai sempat memastikan bahwa kelasku tinggal lima langkah lagi, dan aku mendengar suasana kelas masih ramai, itu menandakan bahwa guru belum masuk kelas.
"Nyanyilah," kata Darsam sambil melipat tangannya dan menyandarkan diri ke tembok. Sedang aku sedikit kurang paham maksud dia apa. "Maksudnya?"
"Ya, nyanyilah."
"Hah?"
Seenaknya saja tiba-tiba menyuruhku nyanyi. Di koridor lagi.
"Denger apa yang kubilang?" balasnya.
Aku menatapnya tidak percaya. Bagaimana dia berkali-kali selalu bisa mengejutkanku secara tak terduga. Mungkin kalau bisa dibilang, semua proses yang dia ketahui itu adalah kebetulan semata. Tapi kenapa justru kebetulan itu terjadi berulang kali?
"Aku nggak sengaja beberapa anak tadi ngomongin soal Anggarakasih. Mereka cerita tentang liputan personel band itu sebelum wawancara di radio. Dan mereka menyebut-nyebut namamu. Dari situ aku bisa ambil kesimpulan bahwa penawaran untuk menjadikanmu sebagai musisimu di grup mereka sudah lebih diseriuskan," kata Darsam.
"He he he..." Aku hanya bisa terkekeh. "Kenapa konklusimu selalu tepat?"
"Hanya kebetulan. Yang pasti, aku penasaran dengan suaramu. Aku mau kau nyanyi sekarang, dikit aja," bujuknya.
"Buat apa? Suaraku sumbang. Benar-benar nggak enak buat didengerin."
"Ini bukan soal esai. Jadi kau harus membuktikan lewat suaramu buat bikin aku percaya dengan jawabanmu."
Astaga, orang ini benar-benar sulit sekali buat dibohongi.
"Nggak, deh. Nggak."
"Nggak mungkin ibumu bikin pertanyaan semudah itu tanpa mikir risikonya, di depan media lagi. Yang justru ibumu lebih tahu efeknya akan seperti apa ke depan. Coba aja dikit nyanyi, siapa tahu suaramu memang bagus. Hanya saja kau belum menyadari itu."
Entah kenapa ungkapan Darsam itu mengingatkanku dengan ucapan Kevin tempo hari.
"Iya. Dan bukan kau saja yang bilang kayak gitu. Tapi tetep aja aku masih merasa nggak yakin. Aduh, kenapa sih, pada coba bujuk aku nyanyi."
"Ya, coba aja, apa salahnya sih mencoba doing."
"Buang-buang waktu banget masalahnya."
"Halah, dengan nunggu Pak Deki masuk kelas tanpa ngapa-ngapain, itu justru lebih buang-buang waktu."
"Udah lah, nggak perlu bahas ini lagi."
Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan dirimu
Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu
Takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu
Kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini
Mataku nyaris keluar ketika kudengar Darsam bemyanyi di belakangku. Buru-buru aku berbalik dan dia sedang menatapku dengan senyum terangkat. Beberapa murid yang lewat sontak menoleh ke arah kami berdua dengan bertanya-tanya.
Telah habis sudah cinta ini tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu
Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Malu banget. Teman sekelasku banyak yang penasaran dengan siapa yang bernyanyi dan mengintip melalui jendela. Bahkan ada yang keluar dari pintu untuk melihat pertunjukan gratis dari Darsam. Beberapa gadis memandangku penuh arti. Aku langsung menggeleng, bermaksud menyatakan kalau yang terjadi bukan seperti yang mereka pikirkan. Lagian Darsam kenapa harus nyanyi lagu ini, sih?
Aku pernah berpikir tentang hidupku tanpa ada dirimu
Dapatkah lebih indah dari yang kujalani sampai kini
Aku selalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu
Tetap cantik rambut panjangmu meskipun nanti tak hitam lagi
"Rum, ayo nyanyi bareng," pinta Darsam sambil menarik tanganku ke tengah kerumunan orang itu. Sepertinya mereka semua menikmati pertunjukan Darsam.