"Aku nggak bisa..."
"Ayo temen-temen. Semangatin temenku yang satu ini, dong! Momen langka nih, vokalis baru Anggarakasih mau ngasih pertunjukan gratis tanpa tiket, tanpa paket data," teriak Darsam. Beberapa murid histeris ketika mendengar nama band itu disebut-sebut.
"Ayo dong, Rum! Nyanyi!" sebuah suara terdengar. Kemudian diikuti suara yang lainnya. Dan kini ramai yang meneriakkan namaku untuk bernyanyi bareng dengan Darsam. Laki-laki itu nyengir saja ketika aku membalasnya dengan tatapan tajam. Situasinya benar-benar seperti mendesak, padahal aku bisa saja mengabaikan Darsam, tapi terasa sangat sulit melakukan itu.
"Santai saja, Rum. Coba, pelan-pelan masuk ke kalbu dan rasain, setelah itu coba bersuara pelan-pelan. Kalau menurutmu suaramu enak, kau bisa kencengin sedikit," bisik Darsam, kemudian dia kembali bernyanyi. Matanya fokus kepadaku untuk ikut bernyanyi.
Bila habis sudah waktu ini
Tak lagi berpijak pada dunia
Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu
Darsam kembali memancingku dengan beberapa lirik. Sementara aku kesulitan menelan ludah, seperti tercekat di kerongkongan. Haruskah aku... Tapi tatapan Darsam menguatkanku. Akhirnya, aku membuka mulut dan mencoba bersuara pelan, untuk memastikan hanya aku yang bisa mendengar suaraku sendiri. Awalnya, suaraku hanya seperti bebek terjepit pagar. Tapi Darsam langsung mengenggam tanganku lembut dan tersenyum menyemangati. Lalu perlahan tubuhku mulai rileks dan aku menikmati lagu yang kami nyanyikan. Aku memejamkan mata menikmati sensasi bernyanyi bersama teman sebangkuku ini dan menjadi tontonan murid-murid yang lain.
Dan telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan
Sisa cintaku hanya untukmu
Aku membuka mata saat terdengar tepukan tangan dari orang-orang—meski awalnya hanya satu-dua orang yang tepuk tangan, tapi tidak lama setelah itu semua murid serempak. Luar biasa, baru detik ini, keberadaanku bukan lagi seperti mitos, yang dianggap ada sebenarnya tidak ada, sedang dianggap tidak ada, padahal ada. Saat-saat aku menyadari bahwa sepertinya wajahku mulai kemerahan, aku lantas menutupinya. Entah kenapa, bernyanyi mungkin sesuatu hal yang lazim bagi banyak orang. Dan suara tidak menjadi permasalahan, karena nyanyi bisa dianggap hanya sebagai, ya, seperti solusi pelepas penat. Tetapi itu justru tidak lazim bagiku. Baru kali ini aku bernyanyi. Mungkin waktu kecil pernah, tapi bukan menyanyi yang benar-benar memperhatikan suara, nada, dan sebagainya agar terdengar enak. Dan aku baru merasakan hari ini bahwa bernyanyi itu sesuatu yang mengolah jiwa.
"Arum, suaramu bagus banget!" tiba-tiba Vita sudah memelukku dari samping. Ternyata gadis ini salah satu orang yang ada di kerumunan itu. Aku hanya tersenyum tipis membalas ucapannya. Nyaris belum sadar bahwa baru saja aku telah menampilkan suatu pertunjukan di depan banyak orang.
"Ish, biasa aja," kataku.
"Beruntung kau punya pacar kayak Darsam gini," kata Vita sambil mencubit hidungku. Aku menepis tangannya dan dia hanya terkekeh.
"Pacar pacar, ngawur ae."
"Oh, kalau gitu bentar lagi pasti," kata Vita yang masih jahil. Kemudian dia pergi sama seperti kerumunan murid yang lain. Mereka juga masih sempat melontarkan pujian padaku. Dan itu benar-benar membuatku terasa malu. Transisi dari murid introvert, lalu mendadak menjadi murid yang seolah-olah paling mencuri perhatian. Ditambah ketidakterdugaanku akan suaraku sendiri. Parah, hari ini benar-benar parah. Tuhan memberikan adegan klimaks yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya sebagai wayangNya.
Dan aku melihat Pak Deki mulai keluar dari kantor dan berjalan menuju kelas. Aku menarik tangan Darsam untuk segera masuk kelas, kali ini tarikanku cenderung kasar, karena mengingat dia sebelumnya selalu mengelak dan menahan diri. Dan di saat aku merasa ragu bahwa tarikan tanganku sepertinya terlalu kasar, Darsam justru cengengesan di balik punggungku.
"Kenapa senyum-senyum?!" gertakku.
"Kan bener yang kubilang. Ngeyel, sih."
"Ish!"
Sebenarnya aku ingin sekali membalas ucapannya, aku kira kalau dia sedang besar kepala atas apa yang baru saja terjadi, dan aku takut kalau dia juga dengar apa yang Vita katakan, namun sayangnya, Pak Deki sudah terlebih dahulu masuk kelas. Beliau meminta maaf atas keterlambatannya karena ada urusan mendadak. Entah aku harus bersyukur atau tidak dengan keterlambatan Pak Deki ini. Karena kalau mungkin dia tidak masuk tadi, aku akan tetap melamun memikirkan suaraku nanti. Ya, kalau gitu berterima kasihlah pada Darsam yang sudah mengajakku bernyanyi tadi.
"Kenapa kau?!" gantian Darsam yang menyambar begitu ketika mendapati aku meliriknya sambil tersenyum.
Sialan.
***
Aku pulang terlambat hari ini. Tentu saja, karena pulang sekolah tadi aku harus menemui Bu Lia terlebih dahulu. Dan tak disangka, bahwa dipanggilnya aku ke ruangan Bu Lia adalah semata-mata urusan personal. Beliau justru tidak menghardikku karena aku telah lali dalam pelajarannya, tapi beliau justru menawarkan jasa curahan hati yang sangat membuatku terkejut. Beliau berpesan bahwa tidak baik jika memendam masalah seorang diri. Paling tidak, minimal dengan membagi itu padanya, itu bisa membuatku lega. Tapi penawaran dari Bu Lia itu dengan terpaksa aku tolak. Bukan apa-apa, aneh saja rasanya kalau bercerita dengan guru. Karena masih ada hierarki antara guru dan murid yang tidak bisa dihilangkan. Mungkin karena itu sudah lazim terjadi dalam hubungan guru dan murid. Mereka mungkin hanya semata-mata guru formal yang sebatas mengajar pelajaran sekolah sesuai target yang mereka tentukan sendiri, tapi tak pernah benar-benar menjadi orang tua kedua yang kerap kebanyaka guru gadang-gadang. Kalau kalian mendengar bahwa masih ada guru yang menyebut dirinya adalah orang tua kedua dari para murid, apa kalian setuju?
Dan pada akhirnya, Bu Lia sendiri merasa putus asa memaksaku. untuk bercerita dan beliau memberikanku kertas yang berisi materi yang tadi tidak aku simak di kelas sebelumnya. Betapa baiknya guru yang satu ini. Setelah mcngucapkan terirna kasih, lantas aku segera pulang. Langit tersapu awan hitam. Kalau tidak cepat pulang, bisa-bisa aku terjebak hujan.
"Arum!" teriak seseorang.
Arsyad menghampiriku dengan blazer berlambang OSIS di pungungnya. "Aku baru selesai rapat. Pulang bareng aku aja, dek."
Aku mengangguk. Sekolah sudah sepi. Momentum yang pas untuk mengiyakan tawarannya.
"Pertunjukan yang bagus. Aku nonton loh tadi."
Seketika aku mengernyitkan dahi.
"Dih, mulai sok nggak tahu."
"Apaan?!"
"Dih, yang waktu kau nyanyi tadi, loh," kata Arsyad dengan kesal.
Duh, topik yang benar-benar tidak aku harapkan. Tahu gitu mending aku pulang sendiri saja tadi.
"Spesial banget ya, Darsam itu buatmu. Sampai dinyanyiin gitu," goda Arsyad yang membuatku geli. "Aku aja nggak pernah digituin."
"Hah?" Aku malas mengatakan apapun.
"Eh iya, mau tahu sesuatu nggak?"
"Apaan?"
"Sekarang si Arsyi sedang jemput orang di stasiun."
"Terus, urusannya sama aku apa?"
Arsyad langsung menyentil kepalaku. "Kebiasaan bodo amat ini. Aku cuma ngasih tahu doang," kata Arsyad sambil mengangkat bahu.