Aku duduk di tepi tempat tidur dengan mata berat. Semalam aku sama sekali tidak tidur karena aku membicarakan begitu banyak hal dengan Darsam. Walaupun sebenarnya aku tidak berharap banyak padanya. Dan ternyata, Darsam bukan pilihan yang buruk, dia mampu menjadi pendengar yang baik, dan dia juga mampu menjadi seorang pembicara yang baik. Pun lumayanlah dia bisa menghiburku dengan leluconnya—meski sebenarnya tidak lucu sih, tapi mungkin karena saat itu aku memang benar-benar butuh hiburan, jadilah aku tertawa olehnya.
Satu dari sekian nasihat Darsam adalah mengingatkanku bahwa aku tidak boleh seolah-olah merasa kalau masalah vokalis ini terlalu berat. Hal itu bisa membuatku depresi sendiri. Dia menyarankan supaya aku menghadapi masalah ini dengan santai. Dengan menganggap bahwa semua masalah tampak seperti masalah biasa sehari-hari.
Awalnya aku merasa sinis mendengar sarannya itu, bisa-bisanya dia menganggap kalau masalah yang 'kali ini' aku hadapi adalah masalah yang tampak sesepele itu. Namun aku sempat menenangkan diri sejenak, aku mulai memperhatikan kebiasaan bahwa orang cenderung berpikir sempit ketika sedang berada dalam masalah, dan cenderung gampang mengkerdilkan saran dari orang lain. Akhirnya aku mulai mengerti bahwa nasihatnya padaku adalah mengingatkan diriku untuk kembali pada proporsinya bahwa aku seharusnya bisa bersikap jauh lebih besar daripada masalah yang aku hadapi, apapun itu.
Aku mendengar pintu kamarku berderit. Di sana aku melihat Arsyad sedang berdiri dengan blazer OSIS yang sudah terpasang ditubuhnya. Intinya dia sudah tampak rapi dan siap berangkat. la melotot ketika melihatku masih santai duduk di tepi tempat tidur.
"Astaga, Arum! Ini udah jam berapa?! Lah kok masih leyeh-leyeh kek gitu," bentaknya sambil menarikku ke arah kamar mandi.
"Masih jam 6 toh..."
"Iya jam 6. Tapi Kevin itu sudah siap nganter kau."
"Ish!" Aku menepis tangannya dari lenganku. "Ngapain sih, dia pakai acara nganter segala. Aku mau berangkat sendiri, bilang sama dia."
Bukan maksud apa-apa aku ngomong begitu, bukan karena sok jual mahal, arogan, tidak bersyukur, atau sombong. Tapi aku merasa karena pembicaraan bersama Kevin tentang band kemarin membuatku agak risih berdekatan dengannya sekarang. Gimana ya, apa harus sampai nganter sekolah segala gitu? Menjadi partner dalam sebuah grup bukan berarti layak untuk selalu terlibat dalam kehidupan sehari-hari bukan? Dan aku tidak ekspek kalau menjadi rekan Kevin dalam 'kerjaan', bisa membuatku menjadi lebih dekat dengannya dalam urusan-urusan lain juga.
"Jangan gitu. Lagian masih mending dia berbaik hati buat nganterin kau ke sekolah. Secara fungsional, ada aspek yang terpenuhi, aspek ekonomi, misalnya. Kau jadi hemat ongkos."
"Aspek ekonominya bukan di situ, Kakakku sayang. Aspek ekonominya justru terjadi ketika aku naik angkot. Ada pengeluaran dan pendapatan. Aku mengeluarkan sejumlah uang, dan ada pendapatan yang diterima oleh sopir angkot atas jasa yang telah dia lakukan. Itu cara kerja dasar ekonomi dalam kehidupan. Lagian nggak boleh loh mikirnya materialistis gitu. Aku naik angkpt juga mau sedekah kali ke pemilik angkot. Kalau bukan dari kita, dari mana lagi pendapatan mereka?"Aku meluruskan.
"Iya sekali-kali kan, gapapa," kata Arsyad masih keukeuh.
"Lagian kakak tumben banget jadi promosi antar-jemput Kevin gini. Bilang aja aku kenapa gitu biar dianya nggak jadi nganter."
"Dih, kau kok..."
Ucapan Arsyad tersendat karena dering dari ponselku mengambil alih waktu. Dengan gesit, segera kuraih ponsel itu dari nakas. Tanpa melihat nama pemanggil yang ada di layar, aku segera menjawab telepon itu.
"Eh, inget nggak tadi malam kalau aku ngajak bareng?"
Sambi memandang langit-langit, aku mengingat kapan dia ngajak aku berangkat bareng. Meski dengan susah payah aku mencoba, tetap saja tidak berhasil. Aku lupa.
"Lupa... He he..." Aku tertawa garing sambil menatap Arsyad yang berdiri di depanku.
"Hari ini kita berangkat bareng ya, Rum. Aku jemput kau di rumah. Jam setengah tujuh udah harus siap," kata Darsam dengan mernperlambat tempo suaranya. "Kalimat itu sama persis seperti tadi malam."
"Hah? Jemput aku di rumah? Naik angkot?" tanyaku sambil cekikikan. Membayangkan Darsam dengan susah payah ke rumahku naik angkot.
"Ya, menurutmu ajalah aku pakai apa ke sana. Udah ya, lima menit lagi aku berangkat," katanya kemudian sambungan telepon terputus.
Aku menggelengkan kepala karena tingkah Darsam yang terkadang lucu, bertolak belakang dengan sikap acuh tak acuhnya saat pertama kali kenal. Tangan Arsyad melambai di depan wajahku. Membuatku mengerjap beberapa kali kemudian menatapnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Tadi alasannya karena biar aku bisa hemat ongkos, kan? Aku bisa bareng Darsam kalau gitu. He he!" kataku girang sambil memelet.
Arsyad menatapku kosong selama beberapa detik kemudian matanya melebar. "Eh, kau sudah jadi..."
Kini sontak aku yang tersendat dan melongo. "Jadi apaan?"
"Jadi... Duh masa nggak ngerti, sih?"
"Iya apa? Jadi apa?"
"Jadian sama Darsam."
Aku nyaris terbatuk mendengar kalimat lengkapnya itu.
"Ngaco ish! Kok bisa-bisanya bilang gitu."
"Dih, nggak usah sok bego gitu. Orang kalau udah identik pinter, berlagak bego sedikit udah kelihatan. Lagian kalau kalian jadian ya, gapapa toh. Kakak sendiri pun juga secara nggak langsung bisa ngerasain chemistry kalian berdua."
"Chemistry apaan. Ngawur aja ini. Dah dah, aku mau mandi." kataku kemudian menghentakkan kaki ke kamar mandi diikuti tawa Arsyad.
Darsam sudah berdiri di depan rumahku dengan seragam seperti biasa. Tas ransel hitamnya juga tergantung di bahu kanannya. Dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaket. Dia tersenyum kecil saat melihatku keluar rumah.
"Telat nih ceritanya?" tanyanya sambil menunjuk roti di mulutku.
"Bisa jadi!" jawabku.
"Berangkat sekarang aja ya, biar nggak kena macet," kata Darsam. Aku mengangguk dan mengekor di belakangnya.
Tiba-tiba langkah Darsam terhenti dan otomatis aku menabrak punggungnya. Aku mundur beberapa langkah untuk melihat apa yang membuat Darsam berhenti. Ternyata di depan pagar ada Kevin dengan baju dan celana olahraga, tanda kalau dia habis jogging. Laki-laki itu tersenyum tipis melihatku bersama Kevin. "Oh, ternyata kau sudah ada yang jemput," katanya.
"Iya. Maaf kalau aku nggak bisa memenuhi tawaranmu," kataku sambil melirik Darsam yang wajahnya datar-datar saja.
"Nggak apa-apa. Lagian aku juga belum sempat kenalan dengan dia. Ini temanmu yang sama seperti waktu kemarin aku ke sekolah, kan?"
Aku mengangguk dan menyorot matanya dengan sedikit melempar tatapan sinis. Bisa-bisanya dia seolah tidak ingat dengan Darsam yang sebelumnya sudah dia temui
"Eh, ini temanmu kan, bukan pacarmu?"
Aku tergagap. "Bu-bukanlah." Aku sambil melirik Darsam. "Ini temanku. Ah ya, Darsam kenalin ini Kevin, dan Kevin kenalin ini Darsam. Mungkin kalian sama-sama lupa kenalan kemarin," kataku basa basi. Memang membicarakan status dalam situasi yang seperti ini terasa sangat sensitif. Tidak tahu kenapa. Aku merasa sangsi saat menjawab sebuah pertanyaan yang sebetulnya sudah jelas jawabannya.