"Buru buru banget, kenapa sih?"
"Bahaya kalu misalnya aku pulang sore kayak kemarin."
"Memangnya kenapa? Toh ibumu juga nggak bakal marahin."
"Bukan ibu. Tapi kali ini ada yang jauh lebih serem."
"Lah terus siapa?" tanyanya lagi. Sepertinya dia nggak bakal berhenti bertanya sebelum jawabanku jelas.
"Ya siapa, yang menurutmu serem."
Kening Darsam mengerut. Dia sepertinya sedang berpikir keras.
Sementara aku melirik jam—mencoba membuat gestur seolah-olah kami harus segera menyudahi obrolan ini.
"Siapa? Arsyad? Mana mungkin. Eh... Bapakmu pulang?"
"Nggak."
"Terus? Aneh, memang ada siapa di rumahmu?"
"Ish, nggak ada hubungannya sama kau. Udah ah, aku mau pulang." Aku sedikit menerobosnya.
"Eh, mau kuanter?" tawar Darsam yang berusaha menyejajarkan langkahnya denganku.
"Nggak-nggak. Aku pulang sendiri aja."
Darsam tidak berkomentar apa pun setelah itu. Aku segera menyampirkan tas ranselku dan kami keluar dari perpustakaan. Dan situasi di sekolah masih tampak ramai. Tentu saja, ini baru lima belas menit setelah bel pulang berbunyi. Di lapangan, masih banyak anak-anak futsal yang sedang pemanasan. Tidak sedikit yang baru keluar dari kelas karena guru yang mengambil jatah jam pulang sekolah.
"Eh, ya..." Tiba-tiba Darsam menghentikan langkah kakinya. "Buku sejarahku kayaknya ketinggalan di loker. Tunggu bentar, ya."
"Jangan lama-lama."
Setelah punggung Darsam tidak bisa aku jangkau memakai kedua mataku, aku memilih duduk di koridor yang menghadap ke arah parkiran. Di sana terlihat para murid yang sibuk mengeluarkan kendaraan mereka untuk bergegas pulang.
Tapi ada yang janggal. Sebuah mobil mewah masuk ke area sekolahan dengan kaca film yang cukup tebal sehingga tidak terlihat siapa pengemudinya.
Aku memilih untuk mengacuhkan mobil itu dan kembali memperhatikan sekitar. Anak-anak futsal sepertinya akan bermain. Baiklah, lumayan ada tontonan selagi menunggu Darsam.
Ketika sedang seru-serunya memperhatikan anak-anak futsal, mendadak aku mendengar suara riuh di sekitarku. Dengan suara perempuan yang lebih dominan. Aku mengernyitkan dahi dan menoleh ke arah suara berasal.
Di lapangan parkir terlihat beberapa murid perempuan bergerombol di satu titik. Mereka terlihat seperti sekelompok lintah darat yang tengah serius melihat mangsanya. Para murid perempuan yang ada di dekatku juga mulai gigit jari sambil memekik kecil. Ini ada apa, ya.
Aku baru berdiri, hendak melihat ke arah kerumunan, saat sebuah tangan menarikku hingga aku jatuh. Mulutku nyaris menumpahkan umpatan ketika tangan yang sama membekap mulutku. "Jangan berdiri tanpa perintahku," kata orang itu. Mataku melebar sambil menoleh ke arahnya.
Benar-benar sial. Hari yang sial. Kenapa dia ke sini segala?!
Lalu seketika itu sarat pandang justifikasi menyebar di mata mereka pada kami. Bagaimana tidak, pose kami sudah mirip ninja yang gagal total.
Apalagi kacamataku yang terus menerus turun dan rambutku berantakan karena tangan orang. Merasa kesal karena dia tak kunjung melepaskan tangannya dari mulutku, akhirnya aku memilih menggigit telapak tangannya. Sontak orang itu langsung melepaskan tangannya jijik dan menatapku murka. Kemudian dia langsung mengeluarkan tisu dari tas untuk segera mengelap tangannya.
"Benar-benar bedebah yang jorok!" gerutunya sambil mengusap tangannya. "Aku tidak mengerti kenapa kakakku bisa suka sekali denganmu."
Aku memutar mata mendengar ucapannya barusan. "Jangan tanya aku. Tanya dia. Lagian siapa yang lagi suka-sukaan."
Kini gantian orang bernama Dara ini yang memutar matanya. "Wow! Kau punya potensi jadi musuh yang besar."
"Lagian kenapa kau di sini? Ada urusan apa? Aku sama sekali nggak punya keinginan meladenimu walau dengan sepatah kata. Temanku sudah menunggu," protesku karena sekilas tadi aku melihat Darsam tampak berdiri di area parkiran, seperti sedang mencari sesuatu. Bukan bermaksud terlalu percaya diri atau apa, tapi bukannya dia tadi menyuruhku untuk menunggunya di sekitar situ dan mendadak aku menghilang. Mungkin dia sedang mencari keberadaanku sekarang.
"Kevin sedang ada di sini dan sekarang dia lagi mencarimu," katanya dengan frustasi. "Aku tidak mau kamu bertemu dengannya sekarang."
Hah? Kevin di sini? Apa jangan-jangan pemilik mobil tadi adalah dia?
Aku segera menepis pikiranku dan berusaha menjatuhkan tafsir Dara soal aku dan Kevin. "Em, gini ya, Dara. Aku sama sekali tidak tertarik dengan kakakmu. Sedikit pun aku nggak punya. Aku hanya sebatas orang yang kebetulan kenal dengan dia saja. Dan kemungkinan akan jadi partner kerja dia saja nanti. Jadi, kau bisa melumpuhkan sendiri pemikiran bodohmu itu soal aku dan Kevin. Tanpa repot-repot aku memberikan penjelasan padamu."
"Memangnya kau ini pinter, ha? Seenaknya sebut orang bodoh."
"Kau bisa memberiku tes pelajaran sosial apapun sekarang."
Dara tampak gelagapan. Memberikan tes apa coba, toh pelajaran sosial saja dia mungkin nggak ngerti sama sekali.
"Aku nggak suka kalau kau dekat-dekat dengan dia. Aku mau kau jauh-jauh dari kakakku," katanya dengan tegas.
"Aku sama sekali nggak ngerti kau ini ngomong apa," kataku sebal sambil berdiri dan menepuk-nepuk bagian belakang rokku yang kotor.
Aku dapat merasakan kalau Dara ikutan berdiri dengan menatapku terperangah. Aku mengabaikannya dan berjalan mendekati Darsam. Laki-laki itu menoleh ketika merasakan seseorang berdiri di dekatnya. la menghela napas lega ketika melihatku.
"Kukira kalau kau sudah duluan," katanya sambil tersenyum.
"Maaf ya, bukan aku banget kalau pulang," kataku sambil berjalan lebih dulu. "Eh, udah ketemu bukunya?"
"Udah."
"Ya sudah, ayok."
"Hem."
Aku berjalan mengiringinya.
"Kau tahu tidak—" Ucapan Darsam terhenti ketika dia melihat sebuah tangan menepuk pundakku. Sementara aku nyaris melompat karena kaget dengan tepukan itu. Dengan cepat aku menoleh dan menyadari sosok yang menepuk pundakku. Ternyata sosok itu adalah Kevin.
Duh, waktunya benar-benar nggak pas banget.
Apalagi sekarang aku lagi bersama Darsam.
"Kevin?" Aku mengernyit. Aku sempat tidak begitu yakin dengan kata-kata Dara yang bilang kalau kakaknya ada di sini. Dan aku benar-benar kaget ketika dia menemukanku di sini dari sekian banyak murid.
Laki-laki itu hanya nyengir. Dia kemudian memperhatikan Darsam sesaat lalu kembali menatapku. "Kau mau nggak pulang sama aku sekarang?" tanyanya.
Aku cuma menggigit bibir, tanda aku ragu. Dari segi pertanyaan saja, secara implisit aku harus memilih antara dia dan Darsam. Tapi kalau dipaksa milih, jelas aku lebih memilih pulang bersama Darsam, dengan alasan rasional bahwa Darsam sudah menawarkan pulang bareng lebih dulu. Tapi di sisi lain, aku merasa kalau menolak ajakan Kevin juga tidak enak. Dia sudah jauh-jauh ke sini. Belum lagi pasti ada acara nyasar segala. Ini Malang, kota besar, jalannya bercabang. Aku saja masih sering nyasar padahal sudah tinggal di sini sejak lama.
Aku menatap Darsam, seolah mengirimkan telepati agar dia membantuku. Dan kesalnya, dia malah membuang muka dan tidak melakukan apa-apa. Keheningan menyelimuti kami berdua. Kevin menunggu jawabanku, sementara aku menunggu bantuan Darsam, tapi Darsam malah diam. Astaga, situasi yang benar-benar berbahaya.