"Ya, sudah kalau kalian mau pulang ba—" ucapan Kevin terhenti karena Darsam menyela cepat.
"Aku pulang duluan aja, kau pulang sama dia," katanya. Raut wajahnya datar. Membuatku bertanya-tanya apakah dia marah atau apa dengan kehadiran Kevin sekarang.
Kevin mengernyitkan dahi, dia terlihat bingung. Dia tidak mengerti apa yang dibicarakan Darsam barusan. Di sisi lain aku juga merasa tidak pantas dengan mencoba membuatnya paham dengan katu-kata Darsam barusan.
"Serius? Aku benar-benar nggak enak," kataku masih sambil mengigit gigi.
"Nggak apa-apa. Dah gih, buruan pulang, kasihan dia udah jauh-jauh ke sini," jawabnya.
"Em, tapi..."
"Toh tiap hari kita masih bisa ketemu, ngobrol, dan pulang bareng. Sementara dia ke sini kan karena ada acara penting. Jadi hargailah usaha dia. Dah ya, aku duluan. Kau hati-hati di jalan," katanya kemudian berjalan menjauh. "Harusnya aku yang bilang hati-hati," gerutuku menatap kepergian Darsam.
"Dia pulang duluan?" tanya Kevin. Aku seketika terkejut mengetahui kalau Kevin sedari tadi di sini.
"Ya, sepertinya ada urusan keluarga." Aku berusaha membuat percakapan tidak jadi panjang. "Oh ya, jadi kenapa kau menjemputku?"
"Urusan penting pastinya," jawabnya. Kemudian dia membalas lambaian tangan para gadis di parkiran. Astaga, para gadis itu langsung cekikikan tidak jelas. Pasti kehebohan itu gara-gara Kevin.
"Dasar, sukanya bikin heboh saja," omelku saat kami baru saja duduk di dalam mobil.
Kevin hanya terkekeh, kemudian sambil menyalakan mobil dia mengatakan, "Tidak apa, sekolah ini sudah bosan dengan Arsyad."
"Dih, mana ada. Popularitas mereka tidak pernah menurun di sini."
"Sebentar lagi kau."
"Hah? Kenapa aku? Oh, ya, mereka akan heboh mengetahui kalau aku adalah adik kandung mereka berdua. Setelah itu ya, sudah. Sudah tak akan ada apa-apa. Aku akan kembali jadi gadis culun yang tak terlihat."
"Masa?"
"Hah?"
"Aku nggak percaya kalau jalan ceritanya bakal kek gitu."
"Maksudnya?"
"Ya, mereka pasti akan segera mengagumimu. Ada yang terang-terangan, ada yang lebih memilih secara diam-diam."
"Kagum kenapa coba? Toh aku nggak berbakat apa-apa. Aku cuma merasa lebih memahami ilmu sosial daripada yang lain."
"Nah, buktinya kau adalah orang yang paling berbakat dalam bidang ilmu sosial di saat yang lain males dan ogah-ogahan mempelajarinya. Toh ya, benar kalau suaramu bagus."
"Dih, sok tahu. Kayak pernah denger aja."
"Ish, pernah dong. Bahkan aku puter terus tiap malem. Meski aku tidak begitu ngerti maksud dari lagu itu," katanya.
"Kau puter? Emang kamu dengerin di mana?"
Mobil melambat karena di depan ada lampu merah. Ketika mobil berhenti, Kevin mengambil ponselnya dan jari-jemarinya berkelana membuka beberapa folder. Lalu tiba-tiba terdengar suara riuh dari ponselnya.
"Nyanyi! Nyanyi!"
Sontak aku terkeut dan mengerjap, aku merasa familiar dengan keriuhan itu. Kemudian aku membeku ketika terdengar suara perempuan menyanyi.
Itu adalah suaraku saat nyanyi bareng Darsam di depan kelas sejarah. Kenapa Darsam bisa memilikinya?
"Kenapa..." Pertanyaanku menggantung karena dengan cepat Kevin menyergah.
"Aku jelaskan nanti, kita makan siang aja dulu. Ngomong-ngomong di mana tempat makan yang enak?"
Tampaknya, Kevin mendapatkan rekaman itu dari Arsyad. Bodohnya aku yang tidak menyadari ada seseorang yang merekamku saat itu. Karena bila dipikirkan lagi, siapa orang yang paling tepat untuk melakukan itu selain Arsyad sendiri? Dan oleh karena itu, jatuhnya rekaman itu ke tangan Kevin, membuatnya semakin yakin bahwa aku adalah orang yang tepat sebagai vokalis grup musiknya. Dia bahkan meneruskan rekaman itu ke personil Anggarakasih lainnya, juga pada manajernya.
"Menurutku suaramu sangat pas dengan lagu-lagu baru kita nanti," katanya.
Kami sekarang berada di sebuah restoran makanan cepat saji. Aku jarang makan di luar, jadi aku asal saja menunjuk tempat makan enak. Aku tidak tahu standar makanan enak bagi Kevin seperti apa, tapi bagaimana pun juga, dia tanya aku, jadi mau tidak mau dia harus mengikuti standar makananku meski aku sendiri juga nggak tahu restoran ini makanannya enak atau tidak.
"Oh gitu," kataku.
"Kau benar-benar mau kan, jadi vokalis band kami?" tanyanya.
Coba kau baca pelan-pelan sejenak pertanyaannya. Itu adalah pertanyaan sakral yang baru dia ucapkan padaku setelah sekian kali kehebohan terjadi. Kalau aku bisa marah sekarang, mungkin aku akan membentaknya. Tapi setelah aku pikir-pikir, reaksi seperti itu bukan reaksi seorang Arum—yang kalau mau marah, tidak tahu tempat. Dia benar-benar orang yang paling berani untuk bertindak menyebalkan di depanku, dan konsisten melakukannya. Karena aku harus jawab apa? Kalau aku bilang tidak mau, kehebohan sudah terjadi, berita-berita menyebar sana-sini, dan lebih bahaya bagiku karena aku akan dianggap hanya mencari sensasi.
"Ya, mau gimana lagi, udah telanjur."
"Jangan murung gitu, dong. Aku jadi merasa bersalah kalau kau sebenarnya nggak rela jadi vokalis kami," kata Kevin sambil menatapku dalam.
Sumpah, dia benar-benar lihai untuk membuatku mengatakan sesuatu yang membuat dia yakin kalau aku benar-benar tidak ada pilihan lain selain menerima tawarannya.
"Nggak, kok. Aku mau kok Vin, jadi vokalis kalian. Lagian ya, masa aku mau malu-maluin band kalian cuma gara-gara aku yang egois."
Kevin mengangguk pertanda setuju. "Beneran, ya? Nggak terpaksa, kan?"
"Nggak, kok," jawabku.
Duh, sebenarnya aku ragu menjawab pertanyaan itu. Tapi situasinya memang sulit. Di sisi lain juga, kenapa suaraku bisa terdengar bagus menurut mereka, sih? Padahal kalau suaraku benar-benar jelek, aku pasti akan dengan yakin menolak tawarannnya.
"Makasih ya, Rum. Nanti aku akan menemuimu lagi dengan membawa surat kontrak. Dan kita akau mulai rekaman dalam satu minggu ke depan."
"Anj-." "Eh, nggak kecepetan apa?"
"Target album baru keluar di Januari. Dan kita harus mengejar deadline itu."
"Hah?" teriakku yang sontak membuat pengunjung lain melirik sinis ke meja kami.
"Kok kaget gitu?" tanya Kevin.
"Itu mendadak banget, Kevin. Astaga, belakangan ini kenapa aku jantungan mulu sih, bisa-bisa aku mati gara-gara sakit jantung nih!" protesku.
Alih-alih menghiburku, Kevin malah tertawa terbahak. Dikiranya aku sedang melucu kali, ya. Padahal aku benar-benar frustasi saat tahu kalau rekaman band Kevin bakal dimulai dalam waktu dekat. Asal kau tahu, itu bertepatan dengan pasca UAS.
"Kenapa, sih?" tanya Kevin. "Santai aja kali. Lagian kau nggak bakal diapa-apain selain disuruh nyanyi."
"Lah, dikira aku udah punya jam terbang banyak aja. Ini tuh perdana. Paling tidak, kau itu nyuruh aku menyiapkan diri dulu, kek. Setelah aku konfirmasi kalau aku udah siap, baru ditentuin tanggal rekamannya, gitu. Ini macam aku udah dikira kek penyanyi profesional aja. Toh kita juga bukan grup musik yang asal men-cover lagu orang lain. Kita benar-benar membuat lagu sendiri dari awal."
"Ish, kau terlalu pesimis. Aku yakin kalau kau bisa."
"Optimismu sendiri udah kelewatan," kataku.
Lantas Kevin mengacak-acak rambutku kemudian menyeruput minumannya.
"Hidup ini pilihan, Rum. Apapun yang kau pilih, apabila kau sudah berpijak pada pilihanmu, berarti Tuhan merestui pilihanmu, meski tujuanmu yang sebenarnya belum tercapai. Misalnya, kau pengin jadi peneliti ilmu sosial, dan di tengah-tengah perjalananmu menggapai keinginanmu itu, kau sempat berbelok untuk memilih mengambil pekerjaan ini, kalau nanti kita jadi rekaman, berarti Tuhan membersamaimu dalam pilihanmu, meski tujuanmu yang sebenarnya belum benar-benar tercapai. Menurutku, dengan menjalani hidup secara linier, kita tidak punya bahan cerita untuk memotivasi orang lain."
"Kan aku tidak punya keinginan memotivasi orang lain," jawabku.
"Rum, kita hidup bukan semata-mata untuk diri kita sendiri. Kita nanti pasti akan bertemu dengan orang-orang yang beragam. Orang yang punya masalah A, punya masalah B, dan secara tidak langsung kita harus siap menghadapi mereka dengan stok cerita yang kita miliki. Kalau kita tidak punya stok cerita yang bervariasi, bagaimana kita mentransfer pengetahuan hidup kita pada orang lain?"
Aku menatapnya dengan mata berkedip. Benar juga sih ucapannya. Laki-laki ini terkadang punya segudang kata-kata bijak. Mati kutu aku dibuatnya.
"Soal tempat di mana kita akan rekaman, aku akan memberitahumu lagi. Dan kita nanti juga akan membuat video klipnya sekalian. Manajer Novel, akan menyusul nanti setelah semua personil beres. Sebaiknya kita berkenalan satu sama lain lebih dulu untuk menghilangkan canggung. Aku berharap banyak padamu, Rum."
Kata-kata itu mengalun seperti kaset rusak di pikiranku. Bahkan ketika kami tiba di rumah dan berpisah di depan tangga. Duh, dia itu benar-benar jago membuat orang merasa terbebani. Kevin, kenapa kau tidak bisa sedikit pun untuk tidak terlibat dalam hidupku sehari saja?
Jika ada Gea sekarang, mungkin saat ini kami akan berteleponan hingga dini hari. Dia pasti bakal berceramah panjang lebar akibat ucapan Kevin yang membuatku di posisi yang sulit. Tapi, hingga saat ini, aku masih belum bisa berbicara dengannya. Lantas aku harus bercerita pada siapa supaya perasaan terbebani ini hilang? Minimal untuk sementara saja.
Mataku masih menyala. Padahal, waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Dengan ragu, aku meraih ponsel dan menekan sebuah kontak.
"Iya. Halo?" Terdengar suara dari seberang sana. Suaranya berat, tanda kalau dia baru bangun tidur.
"Darsam, tolong..."