"Ya, mungkin," gumamku. "Siapa suruh dia beli baju kurang bahan begitu."[Ma1]
"Maklum aja deh, Rum. Cara dia bergaul kan beda sama kita," kata Arsyad sambil mengulum senyum. Kembali dengan cekatan dia menyabotase serealku dan kami berakhir dengan tarik-menarik mangkuk sereal. Meski pada akhirnya kami saling berbagi makanan.
"Lah, jatahku jadi dikit gini, Kak," kataku sambil manyun ketika sereal itu habis.
"Jatahku juga dikit, kau ambil terus," kata Arsyad ikutan manyun. Seraya aku mencubit lengannya.
"Dih, ini lho serealku. Main klaim aja biasanya. Ambil sendirinya sana."
"Mager, nih."
Mendengar alasan mainstream itu keluar dari mulutnya, aku kembali mencubitnya. Kali ini dua kali lebih keras dari sebelumnya. Ya paling tidak, peristiwa senda gurau seperti ini adalah salah satu cara untuk mengembangkan hubungan romansaku dengan Arsyad sebagai kakak-adik. Dan ini memang sangat aku nikmati. Tak ada momentum yang lebih romantis selain bisa bercanda dengan kakak sendiri. Bagi kalian yang punya kakak, mungkin kalian paham dengan yang aku rasakan. Meskipun terkadang ya, candaan itu terlampau berlebihan sehingga tidak dipungkiri sempat merasa kesal. Tapi secara keseluruhan, sulit untuk menciptakan momentum bercanda seperti ini. Benar-benar manjur untuk menepis hal-hal yang ruwet dalam hidup. Untuk kalian yang mengidamkan atau membayangkan memiliki seorang kakak, tidak perlu khawatir. Akan selalu ada cara untuk membuat hatimu bahagia. Percayalah.
"Udahan, ah," kata Arsyad sambil merogoh ponsel dari saku celananya katadari saku celananya.
Dan baru aku sadari saat itu kalau Arsyad sudah rapi dengan mengenakan baju kasual dan sudah wangi. Sementara sejak tadi dia juga nggak terganggu dengan penampilanku yang masih kucel dan berantakan. "Kayaknya kita harus ke stasiun sekarang, deh. Belum mandi, kan? Mandi gih. Lima menit!"
"Astagaa! Kucing aja mandi sampai sepuluh menit, Kak."
"Kucing kan, mandinya sambil rebahan, dek."
"Bisa aja, nih, Abang Ketos."
"Your chef!"
"Apa itu?"
"Dapurmu!"
***
Tiga puluh menit kemudian, aku sudah berada di mobil dalam perjalanan menuju Stasiun Malang. Seperti biasa, Arsyad tidak mau memakai jasa sopir. Dia lebih suka mengendarai mobilnya sendiri. Beda halnya dengan Arsyi yang ke mana-mana harus diantar sopir layaknya tuan putri. Padahal menurutku dia lebih cocok memakai karpet terbang, paling tidak ya, sapu terbang lah, cocok buat nenek sihir.
Aku duduk di bangku depan menemani Arsyad. Di bangku belakang ada dua makhluk kasat mata Arsyi dan Dara yang sudah aku hitung selama lima belas menit masih rempong mengurusi riasan mereka. Padahal menurutku riasan mereka sudah cukup. Toh agendanya cuma jemput Kevin doang, kan?
"Kalian ini dari tadi masih belum selesai juga? Padahal udah pas menurutku."
Aku melirik sekilas kalau Dara tersenyum malu mendengar ucapan Arsyad barusan. Reaksinya benar-benar menjijikkan.
"Dia memujimu," kudengar Arsyi berbisik kepada Dara. Itu bahkan tidak terdengar seperti bisikan sama sekali karena saking kerasnya. Dan Arsyad pasti juga mendengarnya. Tapi dia tidak berkomentar lagi. Selama perjalanan menuju stasiun, yang terdengar hanyalah gosip-gosip orang populer yang dibicarakan oleh Arsyi dan Dara dengan heboh.
Ketika aku memperbesar volume radio di mobil, suara mereka semakin keras juga. Mereka benar-benar tidak ingin terkalahkan. Astaga, bagaimana sampai ada dua orang serupa dan sewatak di dekatku seperti itu, padahal satu saja belum tentu aku kuat. Akhirnya aku yang mengalah. Aku mengeluarkan headset dan mencoba tenggelam dalam mataku sendiri.
Tidak lama setelah itu, guncangan membuatku mengerjap. Arsyad dengan geram menatapku sambil mengataan, "Bangun, Dasar Kebo!" katanya sambil terkekeh akibat panggilan yang dibuatnya. "Buruan, kereta Kevin udah sampai." Kemudian dia keluar mobil.
Aku memperhatikan wajahku melalui kaca spion. Aku mengumpati diriku sendiri. Benar-benar memalukan. Aku terlihat sangat kacau. Ada kotoran di sudut mataku dan dengan cepat aku menghapus kotoran itu dengan tangan.
"Kak, kayaknya aku harus ke kamar mandi dulu, deh," kataku pada Arsyad saat kami mulai berjalan menuju tempat kedatangan. Sementara dua sejoli penyihir sudah pergi ke sana sesaat setelah mobil diparkir.
"Hah, buat apa?" tanya Arsyad.
"Mukaku kek orang bangun tidur, nih."
"Lah kan kamu emang habis tidur," balas Arsyad dengan polosnya.
"Ya kan, malu aku. Udah ah, kakak duluan aja, nanti aku nyusul," kataku, kemudian aku langsung berjalan menuju kamar mandi yang cukup dekat dengan tempat keluarnya penumpang.
Kamar mandi adalah tempat paling ramai kedua selain peron yang dipakai tempat kedatangan. Iya lah ini kan stasiun besar, pasti kamar mandinya tidak pernah kosong. Aku melepaskan kaca mataku dan membasuh wajahku. Lalu aku melihat pantulan bayanganku di cermin. Mataku memang masih sayu khas orang bangun tidur, tapi minimal tidak separah tadi.
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku.
Aku melihatnya dari pantulan di cermin, seorang gadis yang mungkin seusia denganku tengah menatapku balik dengan cengiran di wajahnya. Wajahnya tampak asing.
Aku langsung menyambar kacamata dan menyelipkannya di saku jaketku. Setelah itu aku berbalik ke arah gadis itu, dan hendak mengatakan bahwa mungkin dia salah orang dan sebagainya. Tapi baru aku mau membuka mulut, gadis itu langsung menyela.
"Kenalin, aku Siska. Kau Arum Prima bukan? Putri dari Deri Prima dan Ariana Prima yang direkrut jadi vokalis Anggarakasih yang baru?" tanyanya dalam satu tarikan napas.
Seketika aku langsung terkejut mengetahui kalau dia mengenaliku. Mataku menatapnya tanpa kedip. Sementara tangannya masih mematung tak kunjung kubalas jabatannya.
"Kok tahu namaku dan keluargaku?"
"Aku suka sekali denganmu! Sejak pameran itu, sepertinya semua fotomu yang ada di internet waktu pameran itu aku punya, deh. Kau itu, ish, aku suka sekali denganmu!" katanya sambil memekik heboh. Aku merasa aneh kalau ada orang yang seolah sedang fanatik seperti itu padaku. Dan agak mencurigakan, kenapa harus aku.
"Ah... Iya. Pameran itu, ya?" kataku yang masih tidak percaya. "Omong-omong terima kasih."
"Tadi itu sebenarnya aku sedikit nggak yakin kalau itu kau. Tapi setelah aku pastiin berulang-ulang dengan fotomu yang ada di ponselku, eh ternyata itu beneran kau," jelasnya, ia bahkan sempat menyodorkan sebuah foto di ponselnya. Aku sendiri ragu kalau itu adalah diriku.
"Boleh minta tanda tangan nggak?" Dia menyodorkanku sebuah buku kecil dengan pena yang sepertinya sudah dia siapkan secara niat. Ya ampun, ini kali pertama ada seseorang di bumi meminta tanda tanganku selain surat pernyataan dan lembar jawaban ujian dari sekolah!
"Eh, i-iya," jawabku gugup lalu menandatangani bukunya. Ini baru satu, gimana dengan Arsyad yang sampai ratusan bahkan ribuan penggemar.
Dia memekik girang setelah itu mengucapkan terima kasih secara formal dan tidak lupa dengan pelukan singkat. Lantas dia pun keluar dari kamar mandi.