"Oh!" aku memekik teringat sesuatu. "Kau nggak ngasih tau aku kan soal Kevin itu? Kau selalu saja menyebalkan, Arsyad!" kataku sambil meremas pipinya.
"Duh, fitnah lagi!" Arsyad langsung menjauhkan wajahnya dari jangkauan tanganku. "Soal Kevin yang mana?"
"Tahu dah."
"Dih, ngambek. Soal kau yang jadi vokalis itu kan aku sudah kasih tahu emang," kata Arsyad.
"Kapan ha?" Aku semakin nyolot.
"Eh, eh, kok makin tinggi suaranya? Sama yang lebih tua, nggak boleh kayak gitu, Dek," katanya. Entah kenapa ya, kalau setiap dia memberiku nasihat, pasti selalu adem kedengarannya. "Waktu itu kan kakak numpang tidur di balkonmu. Kau nggak tahu? Molor aja, sih, makanya nggak tahu," tambahnya.
"Ya pasti aku nggak tahu dong, kalau pas lagi tidur."
"Dih, kata siapa? Toh Gus Dur bisa. Tidur tapi tahu orang lain ngomong apa."
"Lah terus mau nyamain aku sama Gus Dur? Ngawur!"
"Ya, maaf," kata Arsyad nyengir. "Tapi Kevin udah kasih tau kamu kan?" tanyanya.
"Udah."
"Ya sudah, tenang aja kalau gitu. Toh suaramu juga bagus," kata Arsyad dengan santai. Kemudian aku memukul lengannya, karena seolah menggampangkan sesuatu yang menjadi urusanku.
Persetan dia mau anggap aku adik seperti apa. Yang jelas,dia secara otoriter memutuskan suatu urusan yang melibatkanku tanpa terlebih dahulu bertanya.
"Dih, main pukul aja dari tadi."
"Biarin! Daripada main ambil keputusan sendiri."
"Iya maaf, maaf. Ya ampun, astaga..."
Aku cuma mendengus kesal.
Ponsel Arsyad bordering, dia melirik sekilas ke nama pemanggil yang terlihat di layar ponsel. Dia memintaku mengangkat dan ternyata yang memanggil adalah Arsyi. Menyebalkan sekali dia, benar-benar keputusan yang sembrono.
"Arsyad! Bisa ke sini nggak? Ini si Dara rempong banget. Barang-barang bawaannya ini sumpah... Arsyad sini cepet. Mobilku juga mogok, nih."
"Kok suaramu suara perempuan, sih?"
Lah, bukannya dia memang perempuan, ya?
"Arsyi bilang, kalau kakak disuruh nyamperin dia sekarang. Soalnya dia bilang, siapa, si Ara itu barang-barangnya banyak. Dan mobil Arsyi sekarang lagi mogok"
"Hah? Ara? Ara siapa? Terus sekarang posisinya di mana?"
Arsyad menyuruhku mendekatkan ponselnya ke telinganya. "Ara siapa? Kau ada di mana sekarang?"
"Ah, si culun tadi yang ngangkat?!" Arsyi baru menyadari siapa tadi yang mengangkat panggilannya. "Bukan Ara, tapi Dara! Aku sekarang ada di sekitar Sigura-gura. Udah cepet suruh Arsyad ke sini, keburu hujan," gertak Arsyi.
Meski terdengar urgent, aku merasa malas menyampaikan permintaan Arsyi. Sebenarnya, kalau bisa aku biarkan dia tetap di sana. Tapi karena aku masih punya hati, aku tetap menyampaikan pesan ke Arsyad. Dan kakakku itu langsung terkejt begitu nama Ratih kusebut. Siapa juga sih, si Ratih? Nama baru yang seolah penting banget.
"Sampai bawa adiknya segala buat ke sini. Buat apa juga? Dasar si Kevin itu," gumam Arsyad.
"Hah? Adiknya?"
"Ingat tidak, gadis yang pernah bicara sama kau di karpet merah waktu itu? Nah itu yang namanya Dara, adiknya Kevin."
***
Aku tanya padamu, boleh tidak aku merasa kesal karena melihat Arsyi yang berdandan terlalu berlebihan untuk bertemu Kevin? Maksud aku gini, dia kan sudah punya Arga, ya. Yang bahkan Arga pun sampai rela jadi eksekutor dalam setiap kemauan Arsyi—seperti pembantunya. Tapi Arsyi justru masih kayak begitu, mempercantik dirinya secara berlebihan saat hendak bertemu laki-laki lain. Menurutku jika hanya dilihat dari dandannya memang nggak salah dan kalau memang ketemunya kebetulan, tapi ini kan seolah direncanain. Dia mau jemput Kevin, dan dia dandan sedemikian rupa.
"Kau sungguh terlihat luar biasa, Arsyi," pekik Dara dengan cekikikan khas gadis-gadis perkotaan. Sedang aku menatap mereka sambil menggelengkan kepala. Memang, sih, Arsyi tidak pernah kalah dalam hal berdandan. Secara dia kan, model. Tapi tetap saja menurutku untuk ukuran anak sekolah, dandanannya sangat berlebihan.
Dan apalagi bajunya Dalam hatiku, nggak kurang pendek lagi tuh baju?
"Whoa," terdengar suara dari arah tangga.
Ibuku ternyata. Masih dengan piyamanya. Wajahnya terlihat segar padahal baru pulang jam tiga pagi. Sebagai perempuan, ibuku tidak pernah takluk dengan stereotip gender masyarakat pada umumnya. Ibuku perempuan karier yang sangat kuat, tak kenal lelah, dan konsisten di bidangnya. Dia sudah kebal dengan perjalanan jauh, tidak pernah mengelu apakah dia naik kereta, pesawat, bahkan mobil. Itu semua sudah menjadi makanannya sehari-hari "Arsyi, jangan pakai baju yang itu!" pekik ibuku.
Aku menahan tawa melihat ibuku menatap horor ke arah pakaian Arsyi. Dress yang panjangnya dua puluh sentimeter di atas lutut dan ketat itu membuat tubuhnya benar-benar terbentuk. Dan senangnya di sini adalah karena ibuku sepikiran denganku. Kendati ibuku juga seorang model, tetap saja dia menjauhi model pakaian yang terbuka.
"Ibu..." rengek Arsyi. "Memangnya kenapa? Kan aku mau ke stasiun, aku mau pakai baju ini," protesnya.
Ibuku menghampiri Arsyi kemudian berjongkok di depannya. Dia mengangkat tangannya dan meletakkan telapak tangannya di depan paha Arsyi.
"Tanggung banget celanamu, mendin nggak usah dipakai sekalian, ya," kata ibuku.
Dengan wajah terperangah, Arsyi langsung tunduk dan menuruti perkataan ibuku kemudian dengan cepat beranjak menuju kamarnya. Dapat terdengar jelas kalau dia membanting pintu kamarnya, Seukuran anak manja seperti Arsyi, kalimat tadi pasti benar-benar menampar mentalnya. Sedang aku berdiri sambil tersenyum kecil. Mungkin kalau aku sedang ada di kamar, pasti aku akan bersorak-sorai.
"Tapi Ria—" Dara sepertinya juga tidak setuju dengan keputusan ibuku. Dan dia memanggil ibuku tanpa sebutan tante, bu, atau apa.
"Baju Arsyi itu kependekan, Sayang. Tante cuma nggak mau dia itu kenapa-kenapa. Bahaya kalau anak gadis keluar dengan baju begitu," kata ibuku membalasnya dengan mengggunakan bahasa yang lembut sambil tersenyum. Lalu, berjalan menuju dapur untuk sarapan.
Dara menatap punggung ibuku hingga menghilang di balik dinding. la menggerutu. Mungkin karena dia juga ikut andil dalam pemilihan baju itu. Mendadak, ia berbalik ke arahku yang sedang duduk di ruang televisi. Aku masih mengenakan kaus putih kucel dengan celana piyama bermotif kotak-kotak yang mungkin bagi orang lain agak norak. Emang sih, nggak banget.
"Apa kamu lihat-lihat? Pake senyum-senyum lagi," katanya ketus lalu menghentakkan kaki menuju kamar Arsyi. Pasti mereka nanti akan saling menggerutu. Benar-benar partner yang serasi.
"Kenapa, tuh?" Terdengar derap langkah kaki dari tangga menuju sofa tempatku duduk.
"Biasa, nggak dibolehin ibu pake baju pendek," jawabku sambil memasukkan sereal ke dalam mulutku.
"Oh," gumam Arsyad kemudian dia dengan gesit mengambil alih sendok yang kupegang dan memasukkan satu sendok penuh sereal ke dalam mulutnya. "Baju yang dia beli kemaren itu, kan?" tanya Arsyad lagi.
"Ya, mungkin," gumamku. "Siapa suruh dia beli baju kurang bahan begitu."