"Eh, ya, aku masih penasaran soal kejadian kemarin itu. Kok bisa ya, Gea dan Arsyi barengan gitu? Ada urusan apa coba," kata Darsam yang lantas membuat sorot mataku menajam. Sejak kapan dia lihat mereka?
"Iya, aku tahu, kok. Nggak usah sok nyembunyiin gitu," katanya dengan nada santai.
"Kaget aja, sih. Kok bisa tahu?"
Dia cuma terkekeh.
"Menurutmu sendiri gimana? Kan kau termasuk orang yang sok tahu, barangkali kebiasaanmu itu berguna dalam hal ini," kataku.
"Sial," katanya tertawa. "Ya aku rasa... Coba deh, inget waktu kau dikunci di ruang kesenian waktu itu. Itu kan yang ngunci Arga, dia disuruh sama Arsyi. Nah, pasti terlbatnya Gea nggak jauh-jauh dari kompromi mereka. Coba kau pikir. Kenapa bisa kebetulan banget Gea ada di situ?"
Aku memikirkan kata-kata Darsam itu. Dan hanya bisa manggut-manggut. Masuk akal juga.
"Terus kalau faktanya kek gitu, kenapa Gea mau, ya?"
"Nah itu yang bikin aku penasaran. Kenapa dia sampai bisa nurut sama Arsyi? Mungkin ini karena dia udah kecewa banget sama kau..."
"Masa kek gitu?" Aku merenung sejenak. "Ah, nggak mungkin lah. Gea bisa sampai nurut sama Arsyi. Mungkin karena Gea ada masalah dan secara kebetulan Arsyi tahu masalahnya itu..."
"Nah itu baru yang namanya sok tahu. Kalau betul Gea ada masalah, ya pastinya kau yang tahu. Secara kau sahabatnya. Bukan malah si Arsyi. Gimana, sih?!"
"Ish, jangan nyela omongan orang, dong. Kan aku bilang 'mungkin', itu berarti cuma sebatas hipotesaku aja..." Aku sedikit kesal dan menjeda obrolan sebentar, kemudian asumsiku semakin liar. "Nih pasti si Arsyi ngancam Gea. Pasti. Makanya dia bisa bikin Gea sampai mudah diajak kompromi kek gitu. Iya juga, ya. Arsyi, kan kalau udah ngancam, dia bakal nggak main-main sama ancamannya. Bahkan kalau dia bisa mikir panjang itu bakal nyakitin targetnya, dia benar-benar lakuin," kataku seolah-olah bergumam pada diri sendiri.
"Dasar psycho!" pekik Darsam yang langsung membuatku terlonjak.
Ketika aku sedang fokus mengembalikan ritme normal detak jantung, Darsam bertanya, "Ngomong-ngomong, kenapa Arsyi bisa benci banget sama kau?"
Aku berpikir sejenak. Bahkan, sampai makanan diantar pun aku tidak dapat menemukan penyebab kenapa Arsyi membenciku. Mungkin sudah takdir kali, ya. Bahwa hidup di dunia itu pasti ada saja orang yang nggak suka sama kita. Dan di dalam hidupku, orang tersebut adalah Arsyi.
"Kau sendiri juga nggak tahu?" sahut Darsam lagi.
"He he, enggak. Beneran, aku berpikir keras buat nyari penyebabnya apa, tapi aku belum bisa nemuin satu pun alasan yang masuk akal. Memang kita pada dasarnya nggak pernah akur, sih. Dari kecil selalu berantem. Bahkan sekarang pun, nggak hanya di sekolah, di rumah pun di sering neror aku. Makanya kalau di rumah itu aku selalu di kamar terus, kek jamur."
"Artinya kau harus nyari tahu. Apa penyebabnya. Dan mastiin apa betul kalau dia juga yang mempengaruhi Gea kemarin."
"Ya pasti aku nyari tahu. Tapi caranya ini, loh. Gimana ini caranya?"
"Soal cara, gampang. Aku udah punya ide. Tinggal tunggu tanggal main.
Aku menatapnya tidak yakin, heran. Lah terus, aku ke sini buat nemenin dia makan doing, gitu? Nggak ngobrolin rencana dia apa.
Tapi sebelum aku membuka suara, ponselku lebih dulu bergetar.
Aku langsung merogoh saku dan menemukan di layar bahwa nomor tidak dikenal masuk lagi ke ponselku. Aku menerka, kira-kira siapa lagi dalangnya. Aku ingin segera mengangkat telepon itu, tapi setelah aku pikir-pikir... Nomorku ini nomor baru, aku menyimpulkan kalau itu mungkin hanya orang iseng. Atau bisa jadi hacker dadakan yang menyalahgunakan kemampuannya untuk menipu orang. Mungkin kali ini nomorku sasarannya. Atau bisa jadi ini adalah nomor orang pemilik konter pulsa tenpat aku sempat mengisi paket data kemarin. Jadi aku lebih memilih untuk mengabaikan panggilan itu. Toh, kalau memang urgent, pasti dia masih berusaha dengan cara lain, mengirimiku pesan misalnya.
"Nggak diangkat?"
"Nggak. Nomor nggak kenal. Toh kalau emang butuh, pasti ya nanti ngirim lewat pesan," kataku seraya meneguk minuman yang telah dipesan Darsam tadi.
"Hem. Ya udah, cepet habisin. Biar bisa anterin kau pulang. Kayaknya hawanya mau hujan, nih."
"Emang ada kendaraan buat pulang?"
"Nggak, lah. Udah buruan habisin," desaknya. Mau tidak mau, aku segera menghabiskan minuman itu. Benar-benar orang yang menyebalkan. Dia sendiri yang minta ditemanin, dia pula yang buru-buru ngajak pulang. Teman-teman, jangan ditiru orang seperti dia. Bagaimana pun, ada norma tidak tertulis ketika kau berani untuk memulai ngajak seseorang. Hargai preferensi orang yang kau ajak. Dari mulai tempatnya, hingga memutuskan untuk pulang jam berapa. Harus benar-benar sepakat dan nyaman.
***
Darsam mengantarku hingga ke depan rumah. Bahkan dia pun tidak peduli kalau ada Arsyad di garasi. Tetapi yang justru bereaksi adalah Arsyad sendiri. Dia menghampiriku dengan senyum-senyum menggelikan.
"Makasih, ya..." lagi-lagi aku belum berhasil menyelesaikan ucapanku, kali ini justru Arsyad dengan gegabah menyambar.
"Makasih, ya... Udah nganterin adekku pulang," katanya dengan nada yang menurutku sok akrab dan itu norak banget.
"Santai aja, Mas. Kebetulan aja kok ini. Emang ada yang mau aku omongin sama dia."
Lagi-lagi Arsyad menoleh padaku dan tersenyum penuh arti. Aku tahu bahwa dia sedang mempersepsikan ucapan Darsam yang memang terdengar implisit. Aku langsung menggeleng ke arahnya, memberikan kode kalau apa yang dia pikirkan itu tidak benar.
"Aku balik dulu ya, Mas," kata Darsam sambil mengangguk takzim. "Rum, mending angkat deh. Keknya bukan penipu, deh. Dari tadi udahan," pesan Darsam sebelum dia berbalik pulang. Aku tidak menjawab, hanya melambaikan tangan ke arahnya. Dan berjalan masuk ketika dia sudah menghilang di tikungan.
"Ciee... Yang dianter gebetannya..," kata Arsyad heboh sambil mengikutiku dari belakang." Aku mengabaikannya dan terus berjalan menuju kamarku. Aku tidak mempedulikannya. Lagian, gebetan dari mana. Kayak dia nggak pernah ditebengi teman perempuan saja.
"Masa orang yang nganter kita, selalu ditafsirin sebagai pacar kita?" kataku sebal.
"Lah, emang gitu faktanya."
"Terus kalau aku dianterin tukang ojek, itu artinya dia gebetanku juga?"
"Iyalah. Ha ha ha."
Aku semakin kesal. Dan memilih mempercepat langkah kaki.
"Gapapa lagi. Lagian kalau memang iya, aku pasti restuin kalian kok," katanya berusaha menjangkauku agar aku dengar ucapannya.
"Siapa? Tukang ojek?" tanyaku dengan malas, sebenarnya aku tahu kalau maksud dia bukan itu.
"Mau?"
"Nggak."
"Seriusan loh kakak ini. Kakak restuin." Dia masih gigih menggodaku.
"Sesuka hati kakak, deh," kataku kemuudian buru-buru menutup pintu kamar sebelum Arsyad ikut masuk ke kamarku. Dari luar aku mendengar ia sudah melengos karena pintunya kututup. Dan langkah kakinya akhirnya terdengar semakin jauh yang menandakan dia tidak akan masuk ke kamarku.