Chapter 19 - Sembilan Belas

"Arum!!!" sapanya riang sambil menggamit lenganku. Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak beberapa minggu yang lalu. Entah bagaimana gadis ini tiba-tiba jadi sering bersamaku semenjak dia tahu bahwa aku bukan pacarnya Arsyad.

"Eh, tumben naik busway? Mobilmu ke mana?" tanyaku bingung. Memang dia selalu bawa mobil kalau ke sekolah.

"Mogok!" katanya. Terlihat raut kesal di wajahnya.

"Emang mogok di mana? Terus kau tinggal mobilmu?"

"Deket. Di situ, tuh," tunjuknya ke arah jalan seberang dan terlihat sebuah mobil berwarna silver dengan nomor plat yang sama dengan nomor plat mobil Vita.

"Hah? Kau tinggal di situ? Nggak takut ilang?"

"Ya nggaklah. Lagian aku udah bayar orang buat khusus melototin mobilku. Kalau sampai ada lecet, meski setengah senti pun, dia yang akan ganti rugi," jawabnya santai lalu merebut headset di telinga kiriku.

"Aish, main ambil aja kayak bocah," pekikku.

"Dih, aku udah gede, ya. Bentar lagi mau sweet seventeen," katanya tidak terima.

Aku hanya memutar mata menjawab komentarnya.

Beberapa menit kemudian, busway pun berhenti di halte yang dekat dengan sekolahku. Dengan gesit, Vita menarik tanganku untuk menerobos kerumunan orang-orang yang turun di halte yang sama. Gadis itu lantas berlari sepanjang jembatan penyeberangan sambil menarikku di belakangnya yang sudah megap-megap kehabisan napas.

Di bawah jembatan penyeberangan, barulah gadis itu melepaskan pegangannya.

"Vit, aku tahu kau itu anggota regu pemandu sorak, yang fisiknya emang oke. Tapi jangan ajak-ajak aku juga dong, mendadak asma nih," kataku sambil terengah-engah.

"Arum, adik iparku sayang, plis deh kita itu udah telat. Ayo buruan, ngeluhnya nanti aja. Kalau udah masuk gerbang, baru deh kau bisa ngeluh atau ngomelin aku sepuasanya. Ayo!" ajaknya lalu dia kembali berlari ke arah gedung sekolahan.

Aku menggaris bawahi kata eksentrik tadi. "Adik ipar? Sejak kapan aku restuin kau jadi kakak iparku?"

"Kau nggak pernah dengar yang satu ini, ya? Ucapan adalah doa," katanya sambil nyengir.

"Aamiin..."

Yah, siapa sangka. Vita yang awalnya aku kira menyebalkan—sebenarnya dia tetap menyebalkan, sih—dan suka menindas itu ternyata lawak banget dan tidak ada jaim-nya sama sekali. Buktinya, dia sekarang rela lari-larian dengan keringat membasahi wajahnya. Maksudku, dia itukan salah satu anggota regu pemandu sorak yang kebanyakan sifatnya tidak jauh beda dengan Arsyi yang cinta pada dirinya sendiri. Yang mengedepankan gengsi daripada apapun. Vita sedikit banyak memang sama seperti mereka, riasan wajah yang mencolok, shopping, dan bergaul dengan para lelaki eksis. Tapi ada perbedaannya, gadis yang satu ini sangat memperhatikan betul tentang akademisnya. Di mana hal itu sangat berlainan dengan para seniornya di regu pemandu sorak.

Jauh di belakangku, aku melihat Gea juga tengah berlari. Tapi sayangnya dia tidak secepat kami. Gea sama sepertiku yang juga benci dengan olahraga. Ingin rasanya aku menyuruh Vita berhenti agar bisa lari bareng dengan Gea. Tapi, gadis itu membuang muka setiap kali kami beradu pandang. Aku tersenyum sedih.

Gea, kau tidak tahu betapa kangennya aku denganmu.

"Arum," sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku melihat Pak Satjipto tengah menatapku. Tumben sekali.

"Ya, Bapak?"

"Bisa bantu saya untuk rnernbawa buku-buku ini ke perpustakaan? " tanyanya.

Dan, aku baru sadar kalau pelajaran Pak Satjipto sudah selesai. Bahkan, aku tidak mendengar bel saking asyiknya berfantasi. Duh, kacau!

"Baik, Bapak," jawabku sambil membantunya membawa beberapa buku tebal.

Biasanya Darsam-lah yang selalu membantu Pak Satjipto. Tapi, laki-laki itu sekarang sedang dipanggil ketua ekstrakulikuler jurnalistik.

Selama di perjalanan menuju perpustakaan, tidak ada pembicaraan yang berarti. Toh ya mau ngomong apa coba ke Pak Satjipto yang memang terkenal pendiam dan hobi diolok murid itu. Aku tetap berjalan dengan memasang raut wajah yang setenang mungkin. Sesampainya di perpustakaan, aku meletakkan buku di rak-rak yang sesuai dengan nomor yang tertera di buku.

Ketika aku sedang meletakkan buku-buku tersebut, tanpa sengaja mataku melihat ada sebuah rambut berwarna pirang di belakang perpustakaan. Aku coba mengingat kira-kira siapa murid dengan rambut pirang itu. Dan aku meyakini kalau itu adalah Arsyi, sebab cuma dia satu-satunya murid yang mendapatkan priviledge itu di sekolah. Tapi yang membuat aku bertanya-tanya ialah ada urusan apa dia di perpustakaan? Sepertinya perpustakaan tak akan pernah menjadi destinasi dalam hidupnya.

Setelah aku bilang pada Pak Satjipto bahwa pekerjaanku sudah selesai aku segera kembali berbalik dan menghampiri rak terdekat untuk melihat lebih jelas apa yang sedang Arsyi lakukan.

Dan ternyata di sana Arsyi tidak sedang sendirian. Ada orang lain. Aku sempat membetulkan posisi kacamataku untuk memastikan siapa gerangan yang bersama Arsyi di situ.

Dan jeng jeng jeng. Aku lantas membekap mulutku ketika mengetahui siapa gerangan yang tengah bersamanya. Dan tak pernah kusangka-sangka, orang itu adalah Gea!

Sedang apa mereka di sana? Eh, tidak, kenapa mereka bisa dekat seperti itu? Segera timbul banyak pertanyaan dalam benakku. Dan di situ mereka berdua terlihat sangat serius.. Apalagi ketika melihat Arsyi sedang bicara, benar-benar tampak serius. Duh, rasa penasaran ini meledak. Ingin rasanya aku menghampiri mereka. Tapi bisa-bisa aku dilempar pakai kamus besar Bahasa Inggris lagi.

Jadilah aku cuma mengintip saja. Dan sedetik kemudian bersilang sengkarut pertanyaan dalam benakku.

Apakah menjauhnya Gea dariku ada campur tangan Arsyi di dalamnya?

Bisa jadi! Bisa jadi! Aku lantas membenarkan sendiri pertanyaan itu. Bagaimana pun, Arsyi adalah orang yang sangat opportunis, ya, dia menggunakan momen ini untuk mengakali Gea dan memanfaatkan kebencian yang ada dalam hati Gea karena telah kubohongi. Aku harus segera memastikan ini.

"Hei!" sebuah tepukan membuat aksi mengintipku tadi jadi terganggu. Darsam berdiri di belakangku sambil berusaha melihat apa yang sedang aku lakukan. "Ngapain kau?"

"Ish!" aku berjengit panik. "Kenapa sih, selalu muncul tak terduga seperti itu? Seneng banget ya, buat aku kaget?"

"Lagian ngapain di situ? Gesturmu aneh. Mau ngantongin buku perpustakaan, ya?"

"Hah? Siapa juga."

"Ya, bisa aja, toh."

"Dah dah, ayo balik ke kelas." Ajakku dengan sedikit menarik tangan Darsam. Bahaya kalau ada Darsam. Dan bahaya kalau sampai dia tahu. Untuk sementara, aku saja yang mengurus masalah ini diam-diam.

Dalam perjalanan kembali ke kelas, rasa penasaran itu semakin tidak terkontrol. Ingin segera aku untuk memastikan apa sebenarnya yang mereka berdua lakukan? Jangan-jangan mereka bekerja sama untuk menjebakku? Aku menggeleng-geleng frustasi, takut sekali jika hal tersebut sampai benar adanya. Aku berharap kalau Gea tidak sampai melakukan hal itu. Apalagi berkomplot dengan Arsyi. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan hal itu.

"Kenapa daritadi menggeleng terus?" tanya Darsam yang lantas membuatku kaget. Aku lupa kalau aku tengah jalan di sampingnya.