Chapter 18 - Delapan Belas

Aku hampir saja terbentur pintu jika aku tidak menghindarinya tepat waktu. Dari balik pintu, muncul kepala kakakku yang nyengir karena dialah yang nyaris membuat kepalaku terbentur. Aku mendengus, kemudian mundur beberapa langkah sehingga dia bisa membuka pintu lebih lebar.

"Mau ngapain, sih?" tanyaku dengan mata masih setengah terpejam. Ya, Arsyad pergi ke kamarku usai mendengar jam berdentang dua kali yang menandakan sekarang tepat tengah malam. Dan tebak, jam berapa sekarang? Jam dua malam! Astaga, aku nggak tujuan dia apa sehingga membuat dia pergi ke kamarku jam segini.

"Insom, nih. Nggak bisa tidur. Aku ke sini cuma mau ke balkon kau doing kok. Udah... Kalau kau mau lanjut tidur, gih sana," katanya.

Spontan aku langsung memelototinya. Nggak jelas banget, nggak bisa tidur terus main masuk ke kamarku dan alasannya pengin ke balkon. Lagian nggak masalah sih kalau sekarang siang, nah ini jam dua pagi!

"Dih dih!" Aku menarik kausnya. "Nggak bisa, nggak bisa. Aku mau tidur!"

Arsyad tertarik dan berusaha menyingkirkan tanganku.

"Kak, aku mau tidur. Ke balkon kakak sendiri aja sana. Toh juga di kamarnya ada balkon."

Arsyad menjauhkan tubuhnya dan berlari menuju pintu balkon yang memang sudah aku kunci sebelum tidur. Dan dia berupaya menarik-narik gagang pintunya dengan tidak sabar sambil menggerutu karena pintunya tidak kunjung terbuka. Ya iya, lah, wong udah tahu kalau nggak bisa terbuka ya pasti sudah dikunci.

"Aish, kok susah banget sih bukanya," gerutunya sebal yang masih dalam usahanya menarik gagang pintu. Untung tenaga Arsyad tidak sekuat Samson, kalau tidak, mungkin pintu itu sudah berubah menjadi pintu ke mana saja kayak punya Doraemon, menyisakan kusennya doang. Orang narik pintunya nafsu banget gitu.

"Coba deh itu lihat. Dikunci!" kataku mempertajam. "Buruan keluar, Kakak!!!"

"Dih, kok gitu sih sama kakak sendiri. Aku benar-benar nggak bisa tidur," katanya sambil memoncongkan bibirnya. Arsyad memang cenderung menjadi manja jika sudah menginjak tengah malam seperti ini, terlebih kalau dia sudah tidak bisa tidur. Manjanya itu benar-benar memprihatinkan. Kalau aku sebaliknya, aku bisa beurbah menjadi orang yang paling garang seunia jika tidurku diganggu. Nyaris sebelas dua belas dengan Arsyi. Yah, kalau Arsyi sih, sudah memang keturunan macan. Jadi memang benar-benar nggak mau diganggu.

"Ya siapa suruh nggak bisa tidur. Toh kalau nggak bisa tidur ya jangan bawa-bawa aku kek gini dong. Aku baru tidur jam setengah dua belas tadi, loh," rengekku dengan mata terpejam.

"Ya, siapa suruh baru tidur jam segitu," katanya membalikkan pernyataanku. "Ah, pokoknya aku nggak mau tahu. Aku mau duduk-duduk di balkonmu. Ya kalau mau tidur ya tidur aja, sih."

"Ish, maksa banget!"

"Makanya bukain pintunya, buruan, kalau nggak cepet, aku teriak nih," kata Arsyad sambil menarik-narik lengan bajuku. Ya Tuhan, kenapa aku kayak jadi orang yang mau memperkosa dia, sih. Masalahnya itu bukan karena dia resek atau apa ya, tapi karena ini sudah malam. Tidak seyogyanya ribut-ribut, cielah.

Mempertimbangkan sekilas kalau lebih baik membungkam mulutnya dengan membiarkan dia duduk di balkonku, daripada dia tetap dalam kondisi runyam seperti itu. Mungkin jauh lebih baik untuk menghemat tenagaku supaya aku bisa istirahat lagil.

"Ya udah, itu kuncinya ambil sendiri di lemari," kataku lalu tidur dengan posisi telungkup.

Sempat aku mendengar Arsyad berteriak 'hore' dan langsung menuju lemariku dan segera mengobrak-abrik isinya. Di tengah kerusuhan itu, kesadaranku mulai menipis dan samar-samar aku mendengar Arsyad sedang mengoceh tentang sesuatu yang hanya aku jawab dengan asal.

"Lah, udah molor dia." Itu adalah kata-kata terakhirnya yang aku denger sebelum akhirnya aku benar-benar terlelap.

***

Aku berjalan cepat ke arah halte busway. Ini gara-gara Arsyad nih, aku sampai telat begini, batinku,. Dan asal kau tahu, dia benar-benar tidur di balkonku. Apanya yang cuma duduk-duduk coba?

Dan tadi itu Arsyad masih mandi. Kalau aku menunggunya sama saja aku cari mati. Bayangkan kalau sudah tahu telat, dia akan lupa membedakan mobil dengan karpet terbang. Dia akan mengira kalau jalanan kota tidak ada hambatan. Oleh karena itu, aku memutuskan berangkat sekolah sendiri menggunakan angkutan umum. Minimal bisa lebih cepat beberapa menit dibandingkan dengan Arsyad. Aku yakin walau Arsyad telat nanti, Pak Dodik—satpam sekolah—pasti akan tetap membicarkan Arsyad masuk. Kekuatan anak OSIS memang beda. Terlebih karena Arsyad adalah ketuanya. Benar-benar privilege yang luar biasa.

"Aduh, hati-hati dong, Mbak!" seru seorang laki-laki yang tadi tidak sengaja aku tabrak karena jalanku memang tergesa-gesa.

"Maaf!" pekikku.

Aku berdiri cemas di depan halte sambil menatap iPod-ku. Sumpah, ini sangat jauh dari jam biasanya aku berangkat. Aku memandang ke arah jalur busway yang malah dilewati oleh kendaraan lain. Benar-benar nggak enak kalau sedang menunggu seperti ini. Kalau tidak ada orang di sini, mungkin aku sudah melompat-lompat frustasi karena tidak ada satupun busway yang jalurnya searah dengan sekolahku.

"Ampun deh, sori, aku telat nih," Terdengar seseorang berkata dengan nada nyolot di belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang gadis dengan seragam serupa denganku tengah mengomel pada orang yang berdiri di belakangnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia membelakangiku. Tapi dilihat dari posturnya, dan suaranya tadi, sepertinya aku mengenalnya.

Deg.

Aku mematung di tempat ketika mata kami akhirnya bertemu. Wajah kesalnya lantas membuatku kangen. Sepertinya sudah satu bulan aku tidak mengobrol dengannya sejak insiden dia mengeluarkan semua unek-uneknya padaku. Dan sejak saat itu, kami benar-benar seperti orang asing.

Gadis yang tadinya mengomel itu, tibas tiba mengatupkan mulutnya rapat ketika mata kami bertemu. Tidak ada sapaan keluar dari mulutnya. Begitupun aku. Bahkan senyum pun tidak tampak sedikit di sudut bibirnya. Ya ampun, kami benar-benar seperti orang yang tidak pernah saling kenal.

"Ge—" aku baru membuka mulut ketika busway yang sejalur dengan sekolahku datang. Aku pun terdorong masuk ke dalam busway tanpa menyelesaikan ucapanku. Hendak menyapanya saja rasanya berat sekali mulut ini menganga.

Seperti biasa, busway ini penuh sesak. Jadilah aku harus melongokkan kepalaku ke segala arah agar bisa melihat posisi Gea saat ini. Aku benar-benar rindu berat padanya. Terasa hampa banget hidupku tanpa dia, cielah. Tapi serius, satu hari tanpa mendengar ocehannya, pernyataan sarkasnya yang dingin, tawanya, sambat-nya, dan keluhannya, itu benar-benar membuat hidupku kehilangan nuansa kemesraan.

Lagi-lagi aku menyadari sesuatu, semuanya memang salahku. Aku yang terlalu pengecut untuk minta maaf lebih dulu. Tapi bukan karena gengsi, ya, catat. Aku hanya takut dampaknya saja. Tapi kalau ditanya takut karena apa, aku juga nggak bisa menemukan jawabannya.

Aku mendesah dramatis ketika tidak menemukan batang hidung sahabatku itu. Akhirnya, aku memasang headset di telinga dan memutar lagu bernuansa berontak untuk membangkitkan semangatku.

Tidak lama setelah itu, sebuah tangan mendarat di pundakku. Buru-buru aku berbalik dan berharap itu tangan Gea. Tapi yang kudapati adalah gadis dengan wajah berseri dengan make up tipis. Dia sedang nyengir ke arahku.