Chapter 17 - Tujuh Belas

Jadi, apa masalah dia denganku? Aku pernah berbuat salah padanya sebelumnya? Oh, mungkin bukan pada Arganya, tapi pacaranya itu, Arsyi. Kapan sih, dia mau berhenti menggangguku?

"Ehm—" aku dan Haris sama-sama berdeham. Tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti karena aku juga berniat mengatakan sesuatu padanya. Kemudian kami berdua mengatupkan mulut kompak. Kalau setiap aku dan Gea mengatakan sesuatu yang sama berbarengan, dia akan mengatakan suatu saat nanti anak yang lahir bakalan mirip. Ya mana mungkin itu bisa terjadi antara aku dengan Darsam.

"Kau dulu," kataku dengan cepat sebelum Darsam lebih dulu mengucapkannya.

"Oh, oke," katanya sambil tersenyum tipis. "Aku cuma mau bilang makasih."

Sontak aku mengerutkan kening, bingung dengan ucapannya. Semestinya aku yang mengataan itu.

"Harusnya aku yang bilang makasih."

"Aku belum selesai ngomong, sabar. Dengerin dulu. Katanya nyuruh aku duluan yang ngomong."

"Bilang dong kalau pakai koma."

"Aku mau bilang makasih, karena kau sudah mau mengandalkanku dalam hal ini."

"Eh, aku aja bingung kenapa kau yang tadi aku mintain bantuan."

"Ya itu, intinya. Terlepas kau berniat atau nggak. Eh, ya, kau mau bilang apa?"

"Cuma mau bilang makasih juga."

"Halah, santai aja kali," katanya sambil mendengus seolah dia mengharapkan bukan kata itu yang keluar dari mulutku.

"Dengerin dulu, dong, kan ini giliranku ngomong."

"Bilang dong kalau pakai koma."

"Ish."

"Makasih karena kau diam-diam sudah menyimpan nomormu di ponselku. Itu benar-benar membantu," kataku kemudian langsung berjalan ke arah kelas Geografi yang tinggal lima langkah lagi. Tapi, mendadak aku berhenti ketika menyadari sesuatu.

"Eh ya, beresin dulu bajumu itu. Bisa kacau nanti kalau ketahuan Bu Atik." Lalu, aku segera masuk tanpa tahu reaksi apa yang ditunjukkan Darsam. Kemungkinan dia langsung membenarkan bajunya.

***

Kali ini, pulang tanpa Gea terasa benar-benar berbeda. Yang paling terasa adalah ketika berjalan di koridor saat sepi seorang diri. Benar-benar terasa canggung sekali. Kami jarang sekali bertemu tanpa sengaja. Karena sistem moving class, kelasku tidak pernah berdekatan dengan kelas Gea. Terkadang malah beda gedung. Untuk bisa bertemu, kami harus janjian dulu. Ya, meskipun ribet, tapi toh bisa untuk pulang bareng. Justru yang ribet adalah sekarang. Ketika masa-masa dengan Gea itu sudah aku bilang 'dulu'.

Darsam sudah pulang lebih awal, dia bilang sebelumnya kalau dia ada urusan. Aku juga tadi dipanggil Bu Atik untuk membantunya mengoreksi kuis yang diadakannya tadi. Guru Geografi kesayanganku itu sedang hamil makanya dia tidak sanggup memeriksa kuis-kuis itu sendirian. Ketika aku sudah selesai mengoreksi kuis-kuis itu, terlihat sekolah sudah sepi.

Aku melihat anggota pemandur sorek di ujung sana masih latihan. Mereka memang selalu latihan sepulang sekolah.

Ketika aku sedang mengamati mereka...

Bruk!

"Whoa," aku mengerjap kaget, lalu mundur selangkah. Aku tidak menyadari ternyata ada orang yang berjalan berlawanan arah denganku. "Maaf."

"Arum?" tanya orang itu. Aku mengangkat kepala dan melihat gadis dengan seragam pemandu sorak tengah berdiri di hadapanku. Gadis yang tampak tidak asing karena dia sempat melabrakku terakhir kali kami bertemu dan menuduhku berpacaran dengan Arsyad, kakakku sendiri.

"Eh, maaf maaf, Vit. Aku nggak sengaja," kataku lalu kembali berjalan. Tapi anehnya, gadis itu memanggilku lagi. Duh, ada apa lagi? Mau bully aku lagi? Aku sudah lelah sekali di-bully.

"Aku mau ngomong sebentar sama kau."

Heran, ada apa? Setelah menatapnya beberapa saat, aku bertanya, "Mau ngomong apa? Soal Arsyad lagi?"

"Jangan di sini," ucapnya, kemudian dia berjalan dan mengisyaratkan agar aku mengikutinya ke arah belakang sekolah.

Vita berhenti tepat di belakang sekolah. Dia lantas berbalik kemudian menghadap ke arahku. Oke, perkiraan awalku kalau ini adalah jebakan atau sesuatu yang buruk. Sebaiknya aku tetap siaga, untuk menjauhi hal buruk akan terjadi.

Aku mulai sedikit berjalan mundur. Tapi Vita segera memegang tanganku. "Ngapai mundur-mundur gitu? Aku mau ngomong," katanya dengan kesal.

"Oke, ngomong apa? Aku dengerin," kataku masih dengan tatapan waspada.

Vita menghela napas. Namun sedetik kemudian, wajahnya menjadi sumringah. "Jadi beneran kau nggak pacaran sama Arsyad?" tanyanya dengan lega.

"Perasaan aku udah pernah bilang gitu, deh," jawabku dingin. Aku tahu kalau pasti ada sangkut pautnya sama Arsyad.

"Maksudku, Arsyad itu masih jomlo, kan?"

"Ya, mungkin bisa dibilang gitu..." jawabku kebingungan. Di sisi lain aku memang tidak begitu tahu tentang hubungan asmara Arsyad bagaimana. Selama ini dia terlihat bebas-bebas saja.

Sontak Vita berteriak kegirangan. "Terimakasih, Tuhan!" Wajahnya sangat berbeda dibandingkan dengan saat dia melabrakku waktu itu. "Aku seneng banget, pas ketika aku nonton pameran itu. Dan ada wawancara soal kau. Ternyata, Arsyad itu kakakmu?! Ya ampuun, aku benar-benar merasa bersalah ini."

Aku mengerjap. Ya, begitulah manusia kurang cerdas. Kemarahan lebih cepat muncul daripada kecerdasan.

"Kau juga nonton pameran itu?" tanyaku seolah terkejut. "Kok kau malah seneng? Bukannya marah ke aku seperti anak-anak yang lain?"

"Semua orang menonton itu, Rum. Dan itu informasi yang dampaknya sangat besar bagi anak-anak di sekolah. Dan ngapain aku marah coba? Toh aku bersyukur, dengan menonton pameran itu, aku jadi tahu kalau kau itu adiknya Arsyad," jelasnya berbunga-bunga. Paling tidak aku bisa mendengar satu ungkapan positif dari orang lain tentang siapa aku sebenarnya.

"Oke, mungkin cuma kau satu-satunya yang mengatakan itu."

"Jangan sok tahu dulu. Sebenarnya, setahuku nih ya, hanya Arsyi yang nggak suka dengan adanya pameran itu. Kalau murid lain? Aku kurang tahu, sih. Tapi mungkin-mungkin saja kalau mereka itu senang dengan keberadaanmu. Tapi karena pengaruh Arsyi, ya jadi lain kelihatannya. Kakakmu itu kan benar-benar beda," katanya.

"Kok kau..." Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kata-kataku karena ragu. Aku merasa bahwa ungkapan Vita ini benar-benar tidak selaras dengan Arsyi.

"Di grup pemandu sorak, aku memang juniornya Arsyi. Tapi bukan berarti aku harus selalu berada di pihaknya, kan?" kata Vita nyengir. Aku mengangguk setuju, Aku seperti sudah berprasangka buruk pada sosok gadis yang berdiri di hadapanku ini. Dia tidak seburuk yang aku pikir. Oke, penilaianku terhadap seseorang memang masih cenderung labil.

"Dan nggak cuma aku doang kok yang berpendapat begitu. Mungkin ada beberapa anak lain yang kurang lebih sama pemikirannya kayak aku. Tapi mungkin rasa takutnya ke Arsyi jauh lebih besar daripada menindak pemikirannya sendiri secara terang-terangan. Dan percaya, kalau suatu saat nanti kau akan terbebas dari bully-an Arsyi, apapun bentuknya. Dan kau akan bebas bergaul dengan siapa saja sesuai maumu," kata Vita lagi sambil menepuk bahuku. "Aku balik dulu, ya."

Aku mengangguk—sambil mendengar kata-kata itu yang masih mendengung di kepalaku-- kemudian Vita meninggalkanku sambil melambaikan tangannya.

Kenapa pada saat seperti ini malah orang yang awalnya aku kira menyebalkan malah menjadi penyemangatku? Aku mendesah pelan. Tapi minimal, saat Gea sedang marah padaku dan Arsyi sedang gencar-gencarnya menindasku, Tuhan masih menyisakan satu-dua orang yang punya pandangan positif terhadap setelah pameran kemarin.