Aku mendobrak pintu ruang kesenian itu dengan frustasi, aku berharap itu bisa mengurangi emosi yang mengendap dalam hatiku. Sialan. Bisa-bisanya terkunci seperti ini. Aku tak berhenti, aku berulang kali menggedor pintu itu berharap ada orang dari luar yang mendengar. Setelah ini ada kelas Geografi. Dan gurunya sering kali memberikan kuis dadakan. Mengingat itu, aku semakin frustasi. Tuhan... Cobaan apa ini?
"Gea!" aku berteriak. Gea adalah orang terakhir di sini. Aku tahu kalau dia belum jauh. Meski sebenarnya cuma perkiraanku. "Sumpah ini nggak lucu!"
Bak kilat menyambar kepalaku, segera aku merogoh sakuku dan mengeluarkan ponsel. Untuk kali ini aku sangat bersyukur kalau ponselku tidak kutinggalkan di kelas. Dengan cepat langsung kutekan nomor Arsyad. Karena cuma dia satu-satunya yang dapat menolongku. Duh, bahasanya. Tapi aku serius, selain nomor Arsyad, aku cuma punya nomor Gea, tak ada yang lain. Toh buat apa, dia tidak akan menolongku, bukan? Apalagi setelah dia mengungkapkan kekecewaan yang teramat besar padaku.
Ketika sedang mencari kontak Arsyad — yang benar-benar aku lupa memberi nama apa di ponsel ini—aku melihat sebuah nama tertera di sana. Bahkan aku tak pernah ingat kapan dan di mana aku meminta nomornya. Yang pasti namanya tertera di kontak ponselku beserta nomornya. Tanpa pikir panjang aku langsung menekan tombol 'panggil' dan langsung tersambung.
Satu, dua, tiga dentuman nada sambung menandakan nomornya aktif.
"Rum?" tanyanya di ujung sana.
"Darsam, hei!" aku berteriak lega. "Aku butuh bantuanmu. Sekarang, aku benar-benar butuh... Aku sekarang terkunci di ruang kesenian. Mungkin menurutmu ini konyol, kenapa aku bisa terjebak di sini. Tapi singkirkan itu dulu, aku benar-benar butuh bantuanmu sekarang. Sebentar lagi kelas akan dimulai dan aku nggak mau skip kelas itu. Bantuin aku keluar dari sini, tolong," pintaku sambil memasang wajah memelas. Meski mendengar suara memelasku saja sudah cukup tahu kalau aku sedang darurat.
"Hem? Ruang keseniang?" tanyanya dengan nada curiga dan kujawab dengan anggukan. Lagi-lagi aku lupa bahwa aku sedang berbicara melalui telepon.
"Oke. Aku akan ke situ." Sambungan telepon langsung terputus.
Merasa agak lega, aku memasukkan ponsel ke dalam saku, dan duduk bersandar di tembok samping pintu. Ruang kesenian ini pasti kedap suara. Tidak akan mungkin tidak kedap suara, karena pasti akan mengganggu kelas lain. Dan sering aku tahu bahwa Arsyad latihan di sini. Lantas aku jadi teringat dan aku memukul jidatku sendiri. Jelas saja tadi tidak ada yang dengar aku berteriak Meski aku berteriak hingga suaraku habis tak mungkin ada yang bisa mendengarku.
Suara berderak terdengar dari arah pintu.
Aku berdiri dengan tergesa dan antusias. Sedetik kemudian pintu kembali diam. Aku mengernyitkan dahi. Tadi itu Darsam bukan? Kenapa dia berhenti? Apa salah kunci? Karena suasana semakin sunyi, pikiranku mendadak melayang tak terkontrol. Bisa-bisanya pintu ini terkunci. Siapa juga orang yang sengaja mengunci pintu ini? Aneh, horror banget.
Seketika aku memikirkan yang tidak-tidak, pintu berdentam terbuka dan langsung menghantam dinding. Karena kaget, aku nyaris berteriak. Apalagi tiba-tiba dua orang jatuh akibat pintu terbuka. Dan aku mendapati di situ ada Darsam dengan bibir berdarah dan Arga dengan tampang yang jauh lebih kacau. Tak perlu aku tanya dulu mereka kenapa, yang pasti mereka pasti habis berantem.
"Kau!" Darsam mendesis di balik giginya yang terkatup. Lantas Arga buru-buru bangkit dan mundur beberapa langkah sambil mengelap darah yang masih mengalir di bibirnya.
"Tuh kan, dia baik-baik aja. Udah dibilang, aku nggak akan ngapa-ngapain dia. Toh siapa yang sudi ngapa-ngapain si culun yang ternyata hobi bohong ini," kata Arga sambil menatapku merendah.
Aku terpaku di tempat. Dan Darsam langsung menerjang Arga sampai keduanya terjengkang menghantam piano tua. "Camkan ini baik-baik, jangan pernah ngomong seperti itu tentang Arum tepat di wajahku! Aku harap kau mengingat itu untuk kebaikanmu sendiri!" geramnya lalu memukul rahang Arga dengan keras.
"Darsam!" aku berteriak. "Udah cukup!" aku segera berlari ke tempat mereka dan menarik Darsam sebelum dia memukul Arga lagi. Aku khawatir apabila pukulan itu mengarah ke hidung atau matanya, aku tidak bisa membayangkan masalah baru apa yang akan terjadi nanti.
Darsam tetap tidak bereaksi meski sudah kutarik paksa. Matanya tetap tertuju kepada Arga yang meringis ketika bangkit. "Arsyi lagi yang menyuruh kau?" tanyanya
Arga menatap Darsam beberapa detik kemudian mengalihkan pandangannya, seolah berpura tidak mendengar.
"Hei!, Jawab sialan!!" bentak Darsam.
"Darsam, udah-udah cukup," kataku pelan berusaha menyingkirkan emosi yang ada padanya.
"Pasti kau disuruh Arsyi kan? Cih, nggak nyangka. Bisa-bisanya laki-laki bisa tunduk di atas perintah perempuan bodoh seperti Arsyi. Sejak kapan laki-laki sepertimu bersimpuh pada perintah orang sepertinya? Benar-benar bodoh, sangat bodoh."
Gea tidak menjawab. Kemudian, bel masuk berbunyi. Buru-buru aku menarik tangan Darsam. Laki-laki itu akhirnya mau tidak mau mengikuti langkahku keluar dari ruang kesenian. Selama perjalanan menuju kelas Geografi, Darsam hanya diam. Kalau hal itu, sudah biasa. Tapi yang berbeda adalah otot di lehernya tetap menegang seperti menahan emosi. Dan itu benar-benar mengangguku.
" Darsam, udah, ya," kataku.
Dari sudut mataku aku dapat melihat Darsam melirikku sekilas, lalu menghela napas. "Aku cuma nggak suka sama cara dia. Benar-benar keterlaluan. Apalagi alasannya benar-benar nggak bisa diterima sama sekali. Cuma karena disuruh gadis manja kayak kakakmu. Astaga, aku nggak nyangka, laki-laki yang seolah banyak pengikutnya itu tenyata diam-diam juga jadi budak orang lain," ungkap Darsam.
Dia-diam aku tersenyum ketika ada seseorang yang mengatakan kalau Arsyi adalah gadis manja.
"Eh, tadi kok bisa ada Arga?" tanyaku.
"Waktu aku sampai di depan ruang kesenian, dia sudah ada di sana. Awalnya, aku nggak ngerti dia ngapain di situ. Tapi, gerak-geriknya aneh. Dia terlihat sibuk ngawasin sana-sini. Waktu aku samperin dia, dia malah bilang seharusnya aku ada di kelas karena udah masuk, lah ngapain kalau dia udah tahu masuk dia sendiri malah di situ. Dan udah, dia bilang sesuatu yang nggak jelas. Terus aku bilang kalau kau ada di dalam. Dia malah nyolot katanya ruang kesenian kekunci dan nggak ada siapa pun di dalem. Gimana mau tahu kalo ada orang di dalam apa enggak kalau pintu terkunci. Aku sama sekali nggak nggak ngapa-ngapain, tiba-tiba mukjizat terjadi, kunci ruang kesenian itu jatuh dari pengamanannya," jelas Darsam.
Tidak tahu kenapa, aku langsung ingin tertawa. Dan benar-benar terjadi, aku terbahak-bahak di sampingnya. Oke, kalau itu memang benar terjadi seperti yang Darsam katakan, maka jebakan yang dibuat Darsam benar-benar gagal total. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada otak bocah player bernama Arga itu sampai-sampai dia menjebakku seperti itu. Padahal, sebelumnya kami tidak pernah mengobrol, sama sekali, tidak pernah. Waktu minggu kemarin pun ketika dia diundang Arsyi ke rumah, dia tidak mengatakan apa pun, cuma mengobrol pada ibuku dan Arsyi.