Chapter 15 - Lima Belas

Seketika aku lantas terbengong. "Hah? Buat apaan?"

"Ya, aku mau tahu aja. Toh kau bukan siapa-siapa juga. Jadi nggak apa-apa kan kalau kau buka kacamata?"

Aku cuma bisa menelan ludah. Apa maksud Arga hingga memintaku untuk melepas kacamata. Dan baru aku sadar bahwa kondisi kelas menjadi hening. Ini kejadian yang sulit didapati, bisa terjadi saat ada kejadian yang menarik. Seketika semua pasang mata terfokus pada kami. Lebih-lebih beberapa anak mengeluarkan kamera mereka dan merekam kejadian ini. Benar-benar pemanfaat kemajuan teknologi yang ngawur!

"Nggak!"

Arga langsung menyambut dengan tawa sinisnya. "Kenapa? Takut kalau rahasia besarmu bakal terbongkar?"

"Ngapain juga. Aku nggak punya apa pun buat disembunyiin."

"Masa?" ucapannya menggantung, saat jeda itu dia secara menyebalkan menampilkan raut wajah yang benar-benar mengundang pukulan. "Aku sepertinya ingat kalau aku pernah lihat kau di sebuah acara besar..."

Arga sudah semakin menjadi-jadi. Aku semakin gugup, jantungku berdegup kencang sekali. Dan jelas saja mereka tahu acara besar yang dimaksud Arga itu. Aku terlihat sangat mencolok kemarin. Ah, sial! Benar-benar sial!

"Hem? Acara besar?"

"Apa kau familiar dengan film Melodi?" tanyanya.

Melodi. Itu adalah film di mana bapak menjadi pemeran utamanya. Dan, itu adalah premiere film yang aku hadiri kemarin. Ya ampun.

"Kalian percaya nggak kalau aku ngelihat gadis ini di sana? Dan ternyata, saat aku tahu dia ada di sana, dia ternyata nggak seculun yang kita kira selama ini. Tapi sayangnya dia tetap seorang pengecut karena nyembunyiin jati dirinya yang sebenarnya selama ini kalau dia itu..." Kata-kata Arga tersendat ketika Darsam datang dan mengangkat tangannya.

"Kenapa kalian semua mau menjadi pengikut laki-laki pengecut macam Arga ini?" sindir Darsam dengan dingin. "Sepertinya kau harus selagi memeriksa kelaminmu itu," katanya terang-terangan pada Arga.

Ketika Arga hendak membuka mulut untuk membalas kata-kata Darsam, Bu Fitri masuk ke kelas dan langsung memelototi siapa pun yang belum duduk di bangku masing-masing. Termasuk Arga.

"Dua detik kalian harus kembali di tempat duduk masing-masing! Pelajaran akan dimulai dan jika tidak ingin mengikuti pelajaran ini, saya dengan senang hati menyuruh kalian keluar."

Bu Fitri ini adalah pengajar Sosiologi, memiliki kemampuan manajerial kelas yang baik. Konsep akomodir yang tegas bagi para murid, contohnya ya pernyataan dinginnya barusan. Hanya bertemu dengan satu kilatan matanya, membuat jantung para murid menjadi mandek sejenak.

Tanpa sadar hembusan napasku kian lega. Ternyata aku menahan napasku sejak tadi. Diam-diam aku berterima kasih dengan datangnya Bu Fitri kali ini.

"Makasih," bisikku sambil melirik sedikit ke arahnya.

Dia tidak menjawab, tetapi aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk senyuman.

***

Aku berjalan menuju ruang kesenian. Biasanya saat istirahat, Gea sudah ada di sana. Aku ingin segera menanyakan padanya, kenapa dia menghubungiku hingga berkali-kali seperti itu. Setiba di ruang keseniang, aku segera membuka pintu dan disambut bau apak yang berasal dari alat-alat musik yang tidak terpakai di ujung ruangan.

"Gea?" panggilku sambil masuk ke dalam ruang kesenian.

Aku memperhatikan sekeliling. Dan merasa kalau tak ada siapa pun di sini. Akhirnya, aku memilih keluar. Tapi baru beberapa langkah aku berjalan, aku mendengar sebuah benda jatuh. Aku menoleh cepat ke arah sumber suara.

Terdengar gemerisik derap kaki yang menyentuh lantai. Orang itu berdiri. Dan aku melihat Gea di sana. Dia berdiri kikuk sambil membersihkan bajunya yang terkena debu. Tentu saja aku menahan tawa melihat tingkahnya itu.

"Ha ha ha... Kau ngapain di situ?" tanyaku sambil menghampirinya yang terlihat kesulitan untuk keluar dari tempat persembunyiannya.

"Jangan ke sini, berhenti di situ," kata Gea dengan suara tajam.

Seketika aku terkejut dan bengong melihatnya. "Maksudmu?"

"Aku bilang berhenti di situ. Aku nggak butuh bantuanmu. Lagian ngapain sih kau ke sini segala?" tanyanya masih dengan nada tajam yang sama. Aku takut setengah mati kalau dia sudah mulai membenciku.

"Aku mau cerita sama kau. Seperti biasanya. Lagian kau kenapa sih? Bentak-bentak gitu," tanyaku.

"Langsung intinya aja. Mau ngomong apaan?"

"Nggak. Sebelum kau ngomong kenapa kau jadi sinis seperti ini."

"Oh, jadi kau pengin dengar alasanku? Alasanku satu, yaitu nggak pengin kau ada di sini."

"Hah? Kenapa? Aku ada salah sama kau?" Seketika aku mengingat-ingat dan mengira kalau dia sinis seperti itu karena panggilan dan pesannya belum aku jawab sama sekali. "Karena aku nggak telfon dan pesanmu? Maaf, ponselku mati."

Gea menatapku seolah aku bodoh. Dia kemudian menggelengkan kepalanya, "Iyalah. Ya wajar aja sih, ponselmu mati karena kau sibuk. Maklum anak artis." katanya. Aku sedikit kesal ketika dia menekankan kalimat terakhirnya. Itu benar-benar membuatku tidak nyaman.

"Ak..." Belum sempat bertanya, Gea sudah terlebih dahulu memotong.

"Kau ngira aku kudet banget, ya? Aku tahu kali. Dan semua orang juga tahu. Gila, ya, selama ini aku anggap kau temen, bahkan sahabat. Aku cerita soal apapun padamu. Apapun itu, entah yang sifatnya pribadi atau bukan. Dan aku nggak pernah sedikit pun menyimpang rahasia padamu. Kalau aku lagi suka sama laki-laki, aku cerita sama kau. Semisal aku di-bully, meski itu memalukan, aku tetap cerita sama kau. Sampai hal yang menurut orang lain paling privat, aku tetap cerita sama kau, soal keluargaku yang ada masalah, aku juga sharing denganmu. Tapi kau? Gimana kau, Rum? Aku dari kemarin tertawa, sebenarnya aku ini kenal beneran nggak sih sama kau? Aku bingung. Rasa-rasa, aku cuma bicara dengan stranger tahu gak selama ini."

Aku sedikit mengira kalau kejadian ini bakal terjadi. Suatu kemungkinan di mana Gea akan membenciku. Dan aku sebelumnya juga berupaya untuk membuat rencana agar aku tidak sampai menangis ketika kejadian ini bakal benar-benar terjadi. Tapi nyatanya sangat susah untuk menyingkirkan air mataku. Dia tetap turun membasahi pelipisku.

"Dan aku baru sadar kenapa Arsyi selama ini menindas aku. Itu karena kau, kau adiknya. Dia nggak suka denganmu, dan siapa saja orang yang mencoba mendekatimu. Buktinya, sekarang aku baik-baik saja. Nggak ada gangguan dari siapapun. Mungkin lebih baik begini aja ya kita. Toh, kau sendiri yang buat ada jarak di antara kita."

Sepintas aku berani menatap mata Gea, dan pancaran matanya memperlihatkan kalau dia tampak baik-baik saja. Ucapannya tegas dan tidak ada tanda-tanda dia usai menangis. Sejak berita itu menyebar di media sosial, dia pasti sudah membenciku. Dia pasti sudah tidak percaya lagi padaku. Aku ingin menjelaskan semuanya. Tapi, mulutku berkata lain. Mulutku tetap terkatup rapat menahan agar bibirku tidak bergetar karena menahan tangis.

"Awalnya... aku percaya denganmu, Rum. Tapi, sekarang? Kayaknya susah buat aku percaya lagi sama kau." Setelah itu, Gea berjalan cepat keluar dari ruang kesenian. Tanpa ada adegan tabrak-menabrak bahu. Minimal dia tidak melakukan itu.

Sekarang aku tercenung sendirian di sini. Aku terduduk di tempatku. Bukan main, ketika orang membuat pepatah hidup bahwa penyesalan datang di akhir, aku anggap itu ucapan sakral yang harus diperhatikan secara serius. Sekarang pepatah itu baru aku dapati. Tapi aku harus menanggung risiko ini. Benar kata Gea, sejak awal aku yang membuat masalah. Aku yang membuat jarak. Maka aku yang harus menyelesaikannya.

Air mataku kembali menetes. Dengan gerakan cepat, aku menghapusnya. Aku harus kuat. Apalagi tanpa Gea di sampingku. Aku berjalan menuju pintu ruang musik dan menarik pintunya.

Dan entah bencana apalagi sekarang. Yang pastil pintu ini terkunci.