Chapter 14 - Empat Belas

"Beneran nggak mau berangkat bareng?" tanya Arsyad sambil mengedikkan dagunya ke arah mobil. Aku lagi-lagi menggeleng. Arsyad sudah menanyakan pertanyaan yang sama sejak aku bangun tadi. "Enggak, Kak... Aku berangkat sendiri aja," jawabku dengan nada sabar.

Arsyad menatapku lalu menepuk pundakku pelan. "Ya sudah kalau gitu, kakak duluan, ya," katanya kemudian dia berjalan masuk ke dalam mobil. Mobil itu kemudian meninggalkanku di halte yang cukup ramai ini. Aku berjalan mendekati letak di mana bus biasanya akan parkir.

Aku memasang headset di telinga dan menaikkan tudung jaketku hingga menutupi rambutku. Seperti yang kalian tahu aku tidak suka menjadi pusat perhatian—pameran bapak hanya pengecualiannya—jadi hoodie dan kacamataku benar-benar membantu supaya orang-orang tidak memperhatikanku yang cukup mencolok dengan tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak SMA di Indonesia kebanyakan. Dan wajahku, tidak ada unsur Indonesianya sama sekali.

Sebuah bus dengan jalur menuju ke arah sekolahku berhenti di tempat pemberhentian. Orang-orang yang telah ada di halte ini lebih dulu lantas berdesakan masuk karena bus ini cukup lama datangnya. Melihat desakan itu, aku perlahan menepi. Tapi ketika aku melirik jam, kalau tidak berdesakan, bisa-bisa aku terlambat ke sekolah dan menyesali tawaran Arsyad tadi. Jadilah aku berdiri di tengah-tengah bus dengan tangan terlipat di depan dada. Aku hanya menggunakan bahu orang lain sebagai sasaran bila tubuhku hendak mau roboh.

Aku berusaha berpijak tanpa membuat tubuhku maju ke depan setiap bus berhenti. Ya, mungkin sejak aku SMP aku sudah sering naik bus ke mana pun aku pergi. Tapi ini masalahnya berbeda, aku tidak bisa memanfaatkan apapun yang bisa aku pakai buat pegangan. Karena nggak mungkin juga jariku berusaha menggapit jaket—yang cukup longgar—milik bapak-bapak.

Aku menarik napas sejenak, aku melihat sekeliling dengan saksama. Aku memperhatikan jika bus ini semakin hari semakin banyak jumlah penumpangnya. Aku mengecek jam melalui iPod, bel masuk masih tiga puluh menit lagi. Aku merasa lega ketika aku mampu melihat kalau bus ini sudah akan sampai di tempat pemberhentian berikutnya. Jadi ada kemungkinan bus ini akan semakin longgar.

Tapi ketika wajahku berseri-seri menunggu bus ini berhenti, sopir bus dengan tiba-tiba menginjak rem dengan tajam hingga membuatku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terjungkal ke depan karena di sisi kananku memang tidak ada orang. Ketika aku sudah tahu kalau wajahku benar-benar akan mencium lantai, aku bersiap menahan malu. Tapi tiba-tiba, tubuhku berhenti di udara...

Seseorang menahan tubuhku. Dalam hati: Tuhan, terima kasih! Aku segera berdiri dan mundur dua langkah menjauh dari orang yang memegangi tubuhku. Menurutku nggak estetik kalau berusaha melihat orang yang memegangiku ketika wajahku masih di bawah.

Aku berusaha mengangkat tubuhku kembali. Dan sejenak aku terdiam ketika melihat siapa orang yang menolongku.

Darsam!

Aku mengira kalau dia bakal kaget juga sepertiku, karena tahu kalau orang yang dia tolong adalah aku. Tapi dia hanya menampilkan senyum tipis dan sambil mencubit pipiku. Spontan aku juga tersenyum sambil memukul bahunya dengan tanganku.

"Sakit, ish," gerutuku.

"Keseimbanganmu buruk banget," katanya.

Sontak aku merasa kesal dengan pekikannya itu. Dia secara tidak langsung menyerang daya fisikku yang lemah.

"Wajar kali, tiba-tiba sopir bus ngerem mendadak kayak gitu dan aku posisinya tidak pegangan apa-apa. Kalau kau ada di posisiku, pasti kau juga bakal nyungsep."

"Kayak peramal aja. Tahu kalau aku di posisimu nantinya juga bakal nyungsep."

"Kau yang peramal."

"Peramal dari mana. Kalau intuisiku bagus, mungkin iya. Tapi sumpah deh ya, nggak lucu kalau misalnya tadi nggak ada aku. Pagi-pagi udah nyungsep di kerumunan orang sebanyak ini," katanya sambil melihat sekeliling.

"Mending kau diem." Ya pasti aku mikir dong, soal ucapannya barusan. Pasti bakal malu banget kalau sampai tadi aku benar-benar jatuh.

"Hemmm..."

"Di kelas biasanya kau cuma ngangguk-ngguk doing, atau paling-paling cuma bilang iya dan enggak."

Darsam manggut-manggut mendengar ucapanku kemudian dia tersenyumlagi. "Sampai bisa membekas kayak gitu ya ternyata..."

Takut salah tingkah, aku segera memutar bola mata. Kemudian mengalihkan pandangan tanpa menjawab ucapannya dan kembali memperbesar volume iPod-ku.

Tak kuasa aku segera mencegah, earbud -ku sebelah dicabut oleh Darsam dan sudah berpindah ke telinga kirinya. Kami berdiri dalam diam dengan lagu dari iPod-ku yang mengiringi hingga berhenti di halte dekat sekolahku.

Ketika turun, Darsam melepaskan earbud di telinganya kemudian memasangkannya ke telingaku seperti semula. Dia kembali berjalan tanpa berkomentar apa-apa dan menjadi seperti Darsam yang aku tahu seperti sebelumnya.

***

Aku berjalan memasuki sekolah, secara tidak sengaja langkah kami seirama. Entah kenapa aku merasa bahwa satu-dua tatapan orang mulai berdatangan ke arah kami. Entah hanya aku yang merasakannya atau apa, yang pasti Darsam terlihat acuh tak acuh. Yang pasti dia juga tahu kalau beberapa orang mulai memperhatikannya.

Aku mulai agak risih. "Kok kayaknya mereka pada ngelihatin kita, ya."

Darsam melirik ke arahku sekilas kemudian kembali menatap ke depan. Dia tidak menjawab pertanyaanku, sial.

Aku menoleh ke arah gadis-gadis yang berdiri di dekat loker yang sedang sibuk saling berbisik. Ketika mata mereka beradu dengan mataku, mereka dengan kompak langsung memalingkan wajah. Aku mengerutkan dahi, apaan c*k. Aku memilih tak berkomentar dan berjalan ke arah kelas Sosiologi. Seperti biasa, kelas masih kosong karena kebanyakan murid memilih duduk di luar kelas—ada yang di kantin, ada yang di depan kelas untuk sekedar sarapan atau kumpul bareng.

Belum waktunya bel masuk berbunyi, aku segera mematikan iPod-ku dan memasukkannya beserta earbud ke dalam tas. Dan di dalam tas, aku melihat ponselku dan terpikirkan untuk membukanya selagi kelas belum masuk. Asal kau tahu, aku sama sekali belum sempat menyalakan ponsel sejak kemarin. Dan setelah aku lihat-lihat di bagian LED Flash, terus berkedip. Tanda ada notifikasi masuk. Bisa notifikasi pesan, panggilan, atau notifikasi yang lain.

Aki buka layar kunci dan muncul seketika pemberitahuan miscall dari Gea sebanyak dua puluh kali dan tiga puluh pesan spam darinya. Juga ada satu nomor tak dikenal juga sempat memanggil dan mengirim dua pesan.

Dan seketika pandanganku terfokuskan ke layar ponsel, murid-murid lain mulai berhamburan masuk ke kelas. Sepertinya aku tidak mendengar kalau bel masuk sudah berbunyi. Dan beberapa di antara para murid itu meliriku secara diam-diam, yang secara tidak sengaja terbalas tatapannya itu olehku. Dengan lucu, mereka langsung membuang muka, seolah tidak sengaja saling melihat.

"Hai," sapa seseorang yang ternyata pacar Arsyi yang tengil itu.

"Kenapa ya?" Balasan yang pas untuk laki-laki tengil sepertinya. Aku memang tidak akan pernah sudi untuk beradu sapa dengannya.

"Mukamu kayak familiar gitu, deh..," katanya sambil menelengkan kepalanya seolah agar dia semakin jelas melihatku. Spontan aku langsung membuang muka dari hadapannya.

"Ya, kan? Ya nggak sih?" tanyanya pada antek-antek yang dari tadi ada di belakangnya.

"Ya iya lah orang dia udah sekelas sama kita dari semester kemarin. Masa nggak familiar," jawab salah satu laki-laki di belakangnya dengan nada bosan. Aku hampir saja ketawa dengan jawabannya itu, bisa-bisanya dia pakai alasan itu untuk tahu siapa aku. Sepertinya memang dia kudet banget.

"Aku juga tahu," kata yang lain sambil menjitak kepala laki-laki itu.

"Coba kau buka kacamata," perintah Arga tanpa menghiraukan ocehan anak buahnya yang lain.