Chereads / Harem Post / Chapter 26 - Pria yang Mampu Melindungimu

Chapter 26 - Pria yang Mampu Melindungimu

Arsia dengan perasaan bersalah yang memenuhi dirinya saat ini berdiri di depan freezer. Dia mengambil tempat es batu dan mengeluarkan semua isinya ke dalam baskom kecil. Dia juga mengambil handuk yang cukup tipis. Setelahnya dia membawa baskom dan handuk itu ke ruang tamu.

Di sana Arsia mendapati Salim tengah duduk sambil berusaha untuk menggerakkan lengannya. Perasaanya makin kacau. Dia pun memperhatikan pria itu. Dengan tanpa sadar juga menggigit bibir bawahnya.

'Duh, Arsia! Itu saudara sultan kau apakan?!', Arsia memarahi dirinya sendiri.

"Bagaimana? Kau bisa menggerakkannya?" Arsia tak mampu menutupi kecemasannya.

Salim mengangkat pandangannya dari lengannya. "Entahlah," katanya sambil menatap Arsia.

Salim memang sengaja membuat Arsia merasa bersalah dengan jawabannya itu. Normalnya dia tidak suka membicarakan rasa sakit yang dirasakannya. Tapi Salim tidak mengada-ngada ataupun melebihkannya. Dia memang kesulitan untuk menggerakkan lengannya karena rasa nyeri yang menusuk.

"Aku minta maaf. Aku sungguh tidak tahu kalau itu kau," Arsia kembali meminta maaf. Sejenak dia terlihat seperti akan menangis karena penyesalannya namun seketika ekspresi di wajahnya seperti orang yang baru saja tersadar akan sesuatu. "Tapi itu salahmu! Kenapa kau menyentuh bahuku?" tuduhnya tiba-tiba dengan sorot mata yang menunjuk-nunjuk ke arah lengan Salim yang terluka.

Salim yang tadinya senang melihat Arsia bak seekor anak kucing kini jadi salah tingkah. Dia tidak menyangka kalau akan diserang seperti itu oleh Arsia. Sikap gadisnya itu berubah 180 derajat dalam sekejap.

"Kalau aku tahu bakal begini aku tidak akan melakukannya! Sudah dosa karena menyentuhmu, menderita pula! Aku hanya kasihan padamu yang menangis seperti setan tengah malam," Salim membela diri.

Sorot mata penuh kekesalan milik Arsia terarah pada Salim. "Dia sungguh tidak peka! Kan gara-gara dia aku menangis!" gerutunya sambil melangkah mendekati Salim dan duduk di sampingnya.

"Kau bilang apa?" tanya Salim dengan kening berkerut. Kata-kata yang keluar dari bibir Arsia terdengar bak dengungan lebah di telinganya. Itu karena baru saja Arsia mengomel dalam bahasa Indonesia yang jelas tidak dimengerti oleh Salim.

"Tidak ada!" jawab Arsia sambil meletakkan es batunya ke dalam handuk. Saat itu dia melihat lengan kemeja Salim yang belum dilinting.

"Apa Anda bisa tolong menekuk lengan kemeja Anda, Yang Mulia?" tanyanya yang dengan sengaja menggunakan bahasa formal. Formalitasnya itu karena Arsia sungguh gemas terhadap Salim.

Tentu Salim tak melakukannya. Sebaliknya dia malah menyodorkan lengannya ke Arsia.

Mata Arsia terarah pada lengan Salim kemudian pada si empunya. Kedua anak Adam itu saling melihat satu sama lain untuk menekan masing-masing pihak.

Lagi, Salim melalui isyarat mata menunjuk lengannya, menyuruh Arsia untuk melintingnya. "Silakan," katanya dengan gestur ningratnya.

"Maaf, Yang Mulia, tetapi tidak pantas bagi saya menyentuh tubuh ningrat Anda. Mohon supaya Anda dapat melakukannya sendiri," tolak Arsia gemas.

"Kau tim medis sekarang. Lakukan tugasmu dengan benar!" perintah Salim dengan mimik wajah serius.

Arsia kaget disentak begitu. Akhirnya dia menurut. "Kau tidak perlu membentakku seperti itu!" omelnya.

'Padahal dari kemarin dia lah yang berteriak-teriak padaku', Salim mencebik dalam hati.

Arsia pun memulai tugasnya meskipun dengan berat hati dan bibir yang berkerut. Namun dia tetap hati-hati dalam melakukannya. Bagaimanapun yang berada di hadapannya saat ini adalah seorang pangeran. Salah-salah, kepalanya bisa menggelinding.

Sepasang mata chartreuse Salim memperhatikan Arsia. Gadisnya itu fokus pada kerjaannya sehingga tidak menyadari bila dia memperhatikannya.

'Pesonamu sungguh berbeda, Arsia', batin Salim mengagumi keindahan di depannya.

"Kau bisa bela diri?" Salim membuka pembicaraan di antara mereka.

"Hm, dari umur 5 tahun aku ikut taekwondo. Kau tahu taekwondo?"

"Tentu. Aku sudah tujuh tahun mengenal masa ini, Arsia," Salim menjawab.

Jujur dirinya terpukau. Baru kali ini dia bertemu dengan perempuan yang bisa bela diri. Seandainya Arsia hidup di Harem, gadisnya itu akan menjadi satu-satunya yang dapat melakukannya.

'Tidak masalah, bukan? Bela diri juga termasuk seni. Dia akan jadi yang paling berbeda', batin Salim kembali mengagumi calon istrinya.

"Kenapa kau belajar bela diri?" tanya Salim ingin tahu. Maniknya masih melekat pada Arsia yang dengan telaten sedang mengurusnya kini.

"Awalnya hanya karena ayahku penggemar bela diri. Jadi semacam untuk hobi dan kegiatanku saja," terang Arsia sekenanya.

"Lalu?" Salim menaikkan sebelah alisnya saat menanyakannya. "Kau tidak terlihat seperti seseorang yang melakukan bela diri secara pasif," kejarnya.

Sebenarnya Salim hanya ingin lebih mengenal gadisnya itu. Namun tampaknya pertanyaannya memantik sesuatu dalam diri Arsia. Salim baru menyadari setelahnya, saat gadisnya itu mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu.

Sejenak manik hitam Arsia menatap ke kedalaman manik Salim seolah tengah mencari sesuatu di balik pertanyaan sang pangeran barusan. Lantas Arsia menundukkan kepalanya lagi. Dengan air mukanya yang berubah dia melanjutkan kembali tugasnya. Tentunya Salim tak melewatkan detail tersebut, bagaimana Arsia menjadi sedih seketika.

"Ayahku hanya berniat untuk membantu temannya yang merupakan seorang aparat negara saat itu. Ayah orang yang baik. Sangat baik sehingga mudah sekali dimanfaatkan," Arsia tiba-tiba bercerita. Dia terpaksa berhenti sejenak demi menjeda kesedihannya.

"Tapi temannya itu menyalahgunakan dokumen yang ditandatangani oleh ayahku. Membuat seolah ayahku menggelapkan uang negara. Saat itu mereka mengancam kami agar bungkam. Terkadang mereka mengirimkan orang untuk meneror kami. Cara-cara seperti itu... Kau tahu..." Arsia melanjutkan. Suaranya sedikit bergetar karena menahan amarah bercampur sakit hati.

Sepasang manik Salim terpaku pada wajah Arsia tatkala mendengarnya. Tapi dia tidak mengatakan apapun. Salim membiarkan Arsia menyelesaikan kesedihannya yang belum tuntas itu. Sedang dirinya meremang oleh rasa tidak suka.

"Karena itulah saat aku mendapatkan beasiswa, keluargaku segera melepaskanku untuk ke Turki. Setidaknya aku akan aman dengan berada di sini," lanjut Arsia yang buru-buru menuntaskan ceritanya

"Apa kau pernah terluka karena orang-orang kiriman itu?" ada kekhawatiran sekaligus perhatian yang nyata dalam suara Salim.

Arsia menghela nafas. "Kalau kau bertarung kau harus siap terluka, bukan?"

Salim terenyuh mendengarnya. Dia tidak habis pikir bagaimana Arsia harus berada dalam posisi bertarung. Terlepas dari fakta bila Arsia dapat melakukannya, tetap saja Arsia seorang gadis yang seharusnya dilindungi. Lantas dia teringat ucapan gadisnya itu yang hidup untuk bertahan hidup.

'Jadi itulah sebabnya?', pikirnya penuh ironi.

"Lalu bagaimana dengan ayahmu dan keluargamu?"

"Tahun lalu ayahku terbukti tidak bersalah dan dibebaskan. Tetapi keluarga kami harus memulai lagi semuanya dari nol."

Arsia berhenti melinting lengan Salim sampai ke siku. Perasaannya tidak baik-baik saja sebab pertanyaan-pertanyaan Salim barusan meskipun dia tetap menjawabnya. Dia lalu mengangkat wajahnya menatap Salim dan mendapati bila sang pangeran tengah memandangnya dengan sorot mata yang diartikannya sebagai rasa iba.

"Jangan memandangku seperti itu. Kau mungkin sudah menyadarinya kalau aku mencintai lelaki lain. Tetapi bukan hanya karena itu saja aku keberatan dengan pernikahan ini. Sekalipun ini hanya formalitas tetapi aku tidak ingin kelak dianggap mengambil keuntungan darimu. Bagaimana pun kita tidak setara," ada harga diri yang terkoyak dalam suara Arsia.

Sejenak Salim terdiam, menyadari bila Arsia salah mengartikan dirinya. Salim bukannya iba kepada gadisnya itu. Karena dia belum bisa menyentuh Arsia jadi begitulah caranya untuk menunjukkan afeksinya. Hatinya juga terasa tertusuk mengetahui apa yang dialami oleh calon istrinya. Tapi dia tidak berusaha untuk meluruskan persepsi Arsia terhadapnya.

"Lalu apakah lelaki yang kau cintai itu bisa memberikan perlindungan terhadapmu?" tanya Salim tajam. Sorot matanya dipenuhi oleh tuntutan terhadap Arsia. Lurus menghujam ke dalam diri gadis itu.

Arsia tak mampu berkata apapun. Dia hanya menatap lurus pada Salim penuh dengan kebimbangan. Tidak menyangka bila akan ditanyai seperti itu oleh sang pangeran.

"Aku bisa melakukannya, Arsia."