Chereads / Harem Post / Chapter 25 - Meminta Pertanggungjawaban

Chapter 25 - Meminta Pertanggungjawaban

Arsia tak menyadari ketika Salim keluar dari kamarnya. Hampir seluruh fokus dirinya tenggelam ke dalam kesedihannya. Hanya menyisakan sedikit kesadaran dan itupun yang akan digunakannya untuk menghentikan dirinya dari menangisi keadaan -- tipikal orang patah hati.

Ketika Salim menyentuh lembut bahunya, itu memantik rasa terkejut sekaligus rasa takut Arsia secara bersamaan. Arsia pun refleks memelintir lengan Salim dengan menekan di bagian pergelangan tangannya. Dia seperti orang kerasukan saat melakukannya.

Salim tidak bisa mempertahankan dirinya. Pikirnya Arsia hanya seperti anak anjing kecil yang kerap menyalak namun tidak mampu menyerang. Ternyata perkiraannya salah. Gadisnya itu mampu memelintir lengannya seolah mereka sedang dalam baku hantam.

'Ini sungguh gila!', pikir Salim terkejut.

"Argh! Arsia!" Salim mengerang melalui sela-sela giginya saat lengannya menjadi korban Arsia. Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya setelah menahan diri untuk memekik. Demi harga dirinya, dia tak mau Behram mendapatinya dalam posisi seperti itu.

Erangan Salim itu membuat Arsia tersadar. Seketika Arsia melepaskan lengan Salim dari cengekeramannya. Dia terkejut sendiri atas apa yang baru saja dilakukannya terhadap sang pangeran. Di belakangnya, Salim dengan segera menjauhkan diri darinya.

Nyaris melompat, Arsia bergegas berdiri dan membalikkan badannya. "S-salim..." panggilnya. Lalu membekap mulutnya mendapati hasil perbuatannya.

"Ya. Ini aku, Arsia," Salim menyahut dengan menahan nyeri sehingga suaranya seperti desisan.

Tubuh Salim sedikit membungkuk. Lengan kirinya menopang lengan kanannya yang dia tekan ke atas perutnya.

Ya, Arsia menyerang lengan kanannya dan nyaris saja mematahkannya. Saat ini lengannya itu terasa sangat panas dan nyeri. Terutama di bagian pergelangan tangannya yang saking nyerinya sampai terasa hampir kebas. Belum lagi sekujur tubuhnya yang juga merasakannya.

Dari cara Arsia menyerangnya, Salim dapat segera mengetahui bahwa itu bukan sekedar gerakan refleks. 'Dia bisa bela diri', Salim sangat yakin.

"Apakah sakit?" Arsia bertanya konyol saking khawatirnya.

"Menurutmu?" balas Salim kesal.

Wajah Arsia seketika jatuh. Dia merasa sangat bersalah kepada Salim. 'Pasti sakit sekali. Aku memelintirnya dengan kuat tadi', sesalnya.

Mendengar keributan di ruang makan, Behram tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. "Anda kenapa, Yang Mulia?" tanyanya cemas. Pandangannya pun langsung tertuju ke lengan sang pangeran.

Melihat kedatangan Behram, Arsia dapat merasakan bila dirinya menciut. Sepasang matanya memperhatikan pria tua itu dengan takut-takut. Dia ngeri bila Salim akan mengadukannya kepada Behram.

'Pria tua itu pasti tidak akan mengampuniku. Dia akan mencambukku!', Arsia panik dengan sendirinya.

"Tidak apa-apa, Behram. Hanya kecelakaan kecil," Salim menjawab.

Jawaban sang tuan tidak serta-merta membuat Behram percaya. Salim sudah seperti anaknya sendiri, yang didampinginya sejak masih kecil. Karenanya Behram dapat merasakan bila itu bukan sekedar kecelakaan kecil seperti pengakuan tuannya. Instingnya berkata bila itu adalah perbuatan Arsia. Bila benar maka Arsia wajib dihukum terlepas dari statusnya sebagai calon istri Salim.

Behram pun menoleh ke Arsia. Sepasang mata tuanya yang masih tajam terarah menyelidik kepada gadis itu.

'Gestur Nona Arsia menampakkan kegusarannya. Nona Arsia menghindari kontak mata denganku. Senyumnya pun kaku', dalam hati Behram menilai. Semakin yakinlah dia bila Arsia adalah pelakunya.

Yang ditatap keder di tempatnya. 'Ya Allah, tolong hamba-Mu ini...', Arsia berdoa memelas.

"Nona Arsia," panggil Behram.

Arsia tersentak. Dengan Behram memanggilnya, dia sudah pasrah akan nasib dirinya. Bayangan rasa sakit terkena cambuk otomatis muncul dalam pikirannya.

Takut-takut Arsia membuka mulutnya. Syukur, sebelum dia sempat mengatakan apapun Salim sudah mendahuluinya. Doanya terkabul.

"Behram, kembali lah ke kamarmu," perintah Salim yang menyadari kecurigaan Behram.

Di sini Salim bukan hanya hendak melindungi Arsia tetapi juga harga dirinya. Bila tidak dicegah, Behram pasti akan mengetahuinya. Arsia tidak bisa berbohong. Lihatlah bagaimana gadis itu terlihat ketakutan sekarang. Tidak mungkin Salim membiarkannya. Bisa malu seumur hidup dia nanti.

"Tapi Anda terluka, Yang Mulia. Biarkan saya melihat lukanya," Behram menolak. Dia pun hendak meraih lengan Salim.

Salim segera menjauhkan lengannya dari Behram. "Jangan berlebihan, Behram! Aku tidak terluka. Hanya terkilir," sangkalnya.

"Sama saja, Yang Mulia," Behram bersikeras. Dirinya terlalu cemas akan kondisi Salim sehingga berani mendebat tuannya itu tanpa sadar.

"Behram," Salim memanggil dengan nada memperingatkan.

Dari lengan Salim, Behram lantas beralih menatap tuannya itu. Dilihatnya mata Salim bergerak menunjuk ke arah kamarnya. Segera, Behram memahami isyarat yang diberikan Salim. Tuannya lagi-lagi membutuhkan privasi dan dia dengan bodohnya hampir mengacaukannya.

"Saya undur diri, Yang Mulia," pamit Behram lalu berjalan mundur ke kamarnya.

Arsia yang melihat perubahan sikap Behram yang mendadak itu merasa janggal. 'Bukankah tadi dia ngotot sekali?', batinnya.

Tanpa disadari oleh Arsia, Salim juga tengah memperhatikannya. Sesuatu kemudian muncul dalam benak Salim.

"Behram, kemari lah!", Salim kembali memanggil pelayannya itu.

Behram menghentikan langkahnya. Kepalanya yang sedikit tertunduk terangkat menghadap sang tuan. Eskpresi wajahnya antara tidak mengerti dengan menunggu perintah dari Salim. Salim membalasnya dengan memberikan isyarat mata supaya Behram cepat mendekat.

"Carikan imam dan panggil beliau kemari," bisik Salim ke telinga Behram segera setelah pelayannya itu sampai ke hadapannya.

Kedua mata Behram melebar mendengarnya. "Sekarang, Yang Mulia?" tanyanya memastikan. Behram tidak menyangka bila tuannya akan secepat ini melakukan pergerakan.

"Nanti setelah aku pulang naik haji di masa Ottoman!" balas Salim sewot.

Mendengarnya, Behram mengkerut di tempat. "Baik, sesuai permintaan Anda, Yang Mulia," katanya, menerima perintahnya. Setelahnya Behram segera kembali ke kamarnya untuk menghubungi pihak yang bersangkutan.

Sepeninggal Behram, Arsia bernafas lega meski dia tidak tahu apa yang tadi dibicarakan kedua pria itu sambil berbisik-bisik. Ah, apa pedulinya? Yang penting sekarang Behram sudah tidak di sana. Itu artinya dia selamat.

'Ya Allah, itu hampir saja', batinnya bersyukur.

Lalu Arsia menatap Salim dengan pandangan memelas yang berterima kasih. Pria yang dilukainya itu kini menjadi pria yang sama dengan yang menyelamatkannya.

"Aku tidak suka membesarkan masalah," kata Salim mengerti arti sorot mata Arsia kepadanya.

"Terima kasih. Maaf untuk lenganmu. Aku benar-benar tidak bermaksud mencelakaimu," ucap Arsia lirih. Sungguh, dia merasa bersalah atas apa yang terjadi.

"Simpan semua itu," balas Salim. Lalu dia mengulurkan lengan kanannya. "Kau harus bertanggung jawab," tuntutnya kemudian.

Arsia memperhatikan lengan Salim. Dia menggigit bibir bawahnya. Ada keraguan menyusup dalam dirinya. 'Apa harus aku melakukannya?', dia bertanya pada dirinya sendiri.

Kemudian Arsia menatap Salim. Wajahnya mengiba. Dia berharap Salim mengurungkan tuntutannya itu dan menyuruh Behram saja untuk merawatnya. Bagaimana dia bisa berdekat-dekatan dengan Salim?

'Tidak. Aku tidak dapat melakukannya', Arsia meratap dalam hati. Dia pun menggeleng kepada Salim dengan sorot memohon.

Alih-alih bersikap pengertian, Salim justru membalas tatapan gadisnya itu dengan menaikkan sebelah alisnya dan menggoyang pelan lengannya. Salim tidak mau tahu, Arsia harus melakukan tugasnya.

'Ayolah, Arsia Sultan... Jangan tega kepadaku. Tidak mungkin aku meminta tolong pada Behram', suara hati Salim.

"Arsia, ini sakit sekali," erang Salim saat dilihatnya Arsia tak kunjung melakukan apapun kepadanya.

Arsia menghela nafas mendengarnya. "Baiklah. Tunggulah di ruang tamu. Aku akan mengambilkan es batu untuk mengkompresnya," akhirnya dia mengalah.

Kelegaan memenuhi benak Salim. Sepasang mata chartreuse-nya lantas melirik Arsia melalui sudut matanya saat gadisnya itu berjalan melewatinya.

'Kita tidak bisa berada di sini tanpa hubungan apapun, Arsia', batin Salim mendesah.