Arsia menggigit bibir bawahnya. Pernyataan Salim sukses membuatnya memikirkan ulang klausul yang diajukannya dengan perasaan ciut. Situasinya saat ini sama seperti saat kemarin dia mencoba untuk meminta menikah dengan pria lain yang tidak lain adalah Selim.
Pikirannya kini langsung tertuju pada pemuda itu. 'Apa yang akan Selim pikirkan bila dia tahu aku sudah menikah dan tetap mendekatinya?', batinnya kacau.
Meskipun enggan untuk mengakuinya tetapi Arsia sadar bila Salim benar. Dia tidak memikirkan hal itu sebelumnya. Yang tahu pernikahan itu hanya sebatas formalitas hanya dia dan Salim. Oh, ya Behram juga. Di luar itu, orang-orang takkan peduli. Mereka hanya akan tahu bila Arsia sudah menikah dan tidak seharusnya mendambakan pria lain. Lagipula mana ada lelaki waras yang sudi menjalin hubungan dengan istri orang, bukan?
'Aku tidak akan pernah bisa bersama Selim', pikirannya itu membuat dadanya terasa sesak seketika. Arsia merasakan patah hati bahkan sebelum dirinya sempat menjalin hubungan apapun dengan pemuda itu.
Sebagai gadis polos, jelas Arsia tidak menyadari kalau Salim bukan hanya terlahir sebagai lelaki tetapi juga terlahir sebagai seorang pangeran. Artinya, Salim lahir sebagai politikus. Sekalipun Salim tidak ada ambisi terhadap tahta namun tetap saja dia adalah penggerak dari bidak-bidaknya.
Salim terbiasa merancang langkah untuk mencapai tujuannya. Walaupun dia tidak suka bila harus menggerakkan bidaknya terhadap orang-orang yang semestinya dikasihinya tetapi dengan Arsia dia berakhir melakukannya.
Salim terpaksa. Kalau tidak dia harus berakhir dengan melepaskan gadisnya itu.
'Mungkin saat ini aku belum bisa menyebutnya sebagai cinta, Arsia. Tetapi aku menginginkanmu', dalam hati Salim membatin saat mata chartreuse-nya tenggelam ke kedalaman manik gadis itu.
Dan, yah... bukankah mereka akan -- harus -- menikah? Bagi Salim itu merupakan ikatan sakral yang mana dia tidak ingin bermain-main dengannya. Dia sudah berkata akan menikahi Arsia jadi dia akan serius terhadapnya. Dia akan menjalankan kewajibannya sebagai seorang sumi bagi Arsia dan mengasihi istrinya itu.
Apa-apa yang disebutkan Salim mengenai tidak saling menyentuh dan segala tetek-bengeknya hanya lah satu kuda yang dipindahnya untuk melangkah mendekati wilayah Arsia. Ingat, gadisnya itu juga mencintai lelaki lain. Ini berarti Arsia takkan mudah untuk didekati. Salim harus menggunakan strategi agar setidaknya Arsia tidak melihat dirinya sebagai ancaman lebih lanjut.
Salim dapat merasakan bila saat ini pun Arsia pasti tengah memandangnya sebagai duri dalam daging. Mata gadis itu berkaca-kaca dan menatapnya dengan sorot nanar.
Itu membuat Salim jengah. Cara Arsia bereaksi terhadapnya membuat dirinya benar-benar merasa buruk. Dia tidak suka dibuat merasa seperti itu.
'Sial, Arsia mengapa kau harus seperti itu?!', berang Salim dalam hati.
Tidak tahan, Salim akhirnya memutuskan untuk memberikan waktu bagi gadisnya itu. "Kau bisa memikirkannya lebih dulu, Arsia. Hari ini aku harus kembali ke istana. Dua atau tiga hari lagi aku akan kembali ke sini. Berikan kepastianmu saat itu -- apa yang kau inginkan dan apa yang akan kau lakukan," kata Salim sebelum hengkang dari sana.
"Baik," Arsia menyetujui dengan suara lirih. Pasalnya sekarang dia tidak dapat memikirkan apapun selain kekacauan dalam hatinya. Walaupun dia juga tidak yakin akan baik-baik saja dalam dua atau tiga hari ke depan, setidaknya dia berharap saat itu sudah dirinya dapat mengendalikan perasaannya.
"Silakan lanjutkan sarapanmu. Aku permisi dulu," pamit Salim sopan.
Arsia hanya mengangguk lemah sebagai jawabannya.
Sepeninggal Salim, Arsia masih bertahan pada posisinya. Mana tersisa nafsunya untuk makan? Alih-alih, matanya masih menatap nanar ke depan seolah Salim masih berada di sana. Dia lalu menghembuskan nafas yang tanpa sadar telah ditahannya sejak tadi. Namun tetap saja dadanya terasa sesak dan berat.
"Kenapa rasanya sakit sekali?" dia berbicara pada dirinya sendiri.
Tak lama, sebutir air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya. Kemudian diikuti oleh tetesan-tetesan lainnya. Kini air matanya mengalir bagaikan anak sungai. Arsia menundukkan wajahnya. Dia tersedu dengan kedua tangan menutupi wajahnya dan bahunya yang bergerak naik turun karena tubuhnya yang bergetar.
Tidak peduli betapa Arsia mencoba mengatur suaranya agar sepelan mungkin, tetap saja terdengar oleh Behram dan Salim.
Di dalam kamarnya, Behram terpaku. Dia merasa iba pada Arsia. Namun di sisi lain juga tidak ada yang dapat dilakukannya berkenaan dengan keputusan Salim. Tidak ada cara lain yang dapat mereka temukan tanpa membuat masalah ini menjadi lebih kompleks. Pernikahan Salim dengan Arsia sudah yang paling tepat.
Behram menghela nafas. Pikirannya tertuju pada putranya. 'Ah, Yıldıray, apa yang telah kau lakukan?', kesahnya.
Sebagai seorang ayah, tentu saja Behram khawatir akan nasib putranya itu. Entah apa yang akan dilakukan Salim terhadap Yıldıray bila mereka menemukannya nanti. Behram tidak sanggup membayangkannya karena kesalahan Yıldıray sudah mampu membuat pemuda itu dilabeli sebagai pengkhianat. Artinya, tanpa welas asih dari Salim, Yıldıray sudah pasti akan terancam hukuman mati. Salim bisa membunuh Yıldıray kapan saja.
Namun sebagai seorang Ağa yang mengabdi kepada Şehzade Salim, Behram harus memastikan kebaikan bagi tuannya itu. Bahkan termasuk harus mengeliminasi siapapun yang dapat membahayakan Salim. Mungkin tidak secara langsung menggunakan tangannya tetapi dia harus memberikan dukungan atas keputusan Salim. Termasuk bila nantinya tuannya itu akan menjatuhkan hukuman mati bagi Yıldıray.
Sang pangeran bukan orang yang bengis namun kesalahan Yıldıray kali ini juga tidak termaafkan.
"Anak bodoh itu, bukannya berterima kasih atas kebaikan Yang Mulia Salim selama ini dan mengabdi dengan benar, malah berbuat onar," Behram menumpahkan unek-unek hatinya pada dirinya sendiri. Karena putranya itulah dia jadi terjebak ke dalam posisi yang tidak menyenangkan saat ini.
Salim sendiri, yang tengah duduk pada sofa di kamarnya, memejamkan matanya mendengarkan suara tangisan Arsia. Di pangkuannya, kedua tangannya terkepal. Begitu erat kepalan tangannya itu kuku-kukunya sampai nyaris terbenam ke dalam telapak tangannya. Rahangnya mengeras dan nafasnya berhembus dengan berat.
Api yang tadi sempat sedikit padam dalam dirinya kini kembali berkobar. Bahkan lebih besar dan bercampur dengan badai. Menghantam keras setiap inci tubuhnya.
"Aku kemari bukan untuk ini," dia berbicara dengan dirinya sendiri. Suaranya dalam dan penuh penekanan.
Akhirnya, tidak mampu lagi menahan amarah dalam dirinya, Salim beranjak dari duduknya dengan gerakan ofensif. Tangannya melibas apa saja yang ada di atas meja di kamarnya. Membuat benda-benda itu berjatuhan menghantam karpet di bawahnya. Dada Salim naik turun akibat nafasnya yang memburu saat melampiaskan amarahnya. Teriakannya tertahan di kerongkongannya.
Salim sama sekali tidak menyesal bertemu dengan Arsia. Tetapi kekacauan seperti ini jelas bukan yang dia harapkan akan menyambutnya di jaman modern. Dia melintasi waktu meninggalkan masanya untuk melonggarkan dirinya dari tekanan di dalam istana. Mencari sedikit ketenangan di jaman modern di mana dirinya bisa bebas ke manapun tanpa tertahan oleh sistem kafes dan yang jelas, tidak ada yang merencanakan pembunuhan terhadapnya.
Itu benar. Bahkan dengan menyembunyikan kemampuan dirinya dan berperan sebagai 'yang terpinggirkan' di antara poros kekuasaan ternyata tidak menjadikannya benar-benar aman.
Sekitar dua bulan lalu Salim hampir saja mati dibunuh -- lagi -- dan sampai sekarang pelakunya masih belum ditemukan. Kalau tidak ada portal waktu itu sebagai jalannya untuk menyelamatkan dan memulihkan dirinya, mungkin dia sudah mati jauh-jauh hari. Karenanya portal waktu itu beserta pemegang kuncinya sangat krusial bagi Salim -- Arsia sangat penting baginya.
Salim memejamkan matanya. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Dengan begitu kobaran dalam dirinya mulai mereda.
Di luar sana suara tangisan Arsia masih terdengar. Sesuatu dalam diri Salim tidak ingin membiarkan gadisnya itu berlarut dalam keadaan seperti itu. Dia pun dengan tenang keluar dari kamarnya. Mendekati Arsia dari balik punggung gadis itu.
Ada sorot terluka di dalam sepasang mata chartreuse-nya ketika dilihatnya Arsia menangis. Terlebih karena Salim sadar bila penyebab tangisan Arsia adalah dirinya. Jelas dari kemarin dia mengancam gadis itu dengan gerakan yang lembut tapi menekan.
'Arsia, maaf, aku terpaksa melakukannya...', sesal Salim dalam hati sambil menatap nanar pada punggung Arsia yang terguncang.
Ah, bukankah pertemuan mereka sungguh tidak mudah? Baru saja bertemu tetapi Salim sudah membuat Arsia terluka.
Salim pun meraih bahu Arsia. Berniat untuk menenangkan gadisnya itu. Yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaannya. Arsia menarik tangannya sehingga membuat tubuhnya terhentak menempel pada gadis itu. Hanya punggung kursi yang menjadi penghalang di antara mereka.
Detik itu, Salim tidak tahu suara apa yang harus dikeluarkannya.