Sejak berita tentang Welasti ditayangkan, ratusan email telah membanjiri redaksi Media Terkini. Banyak pesan pribadi dari pihak pemerintahan masuk ke nomor pribadi Sander. Semuanya membawa pesan yang sama. Meminta Sander untuk menghentikan pemberitaan.
Pemberitaan tentang desa Welasti seperti menjabarkan kebobobrokan semua sistem pemerintahan yang masih memiliki celah besar. Sampai-sampai ada satu desa berisi dua ribu kepala keluarga begitu terisolasi. Lebih buruk lagi, mereka terjerumus ke dalam kejahatan yang tidak mereka sadari.
Waktu yang Sander janjikan pada Wuri untuk kembali ke rumah sudah lewat. Gadis itu menunggu Sander dengan gelisah. Sejak tadi siang dia terus keluar masuk rumah untuk memeriksa kedatangan SAnder.
Bu Yati yang melihat kegelisahan gadis itu hanya bisa tersenyum dan menghibur.
"Sudahlah Non, nanti juga Tuan pulang. Non kan bisa menikmati waktu dulu sebelum Tuan datang. Mau makan sesuatu barangkali?"
"Iya Bu. Tapi, saya ingin segera pulang. Banyak hal yang harus saya bereskan di rumah."
Wuri mulai merindukan anak-anak yang dia tinggalkan. Dia tidak meninggalkan banyak uang untuk para pengasuh anak-anak itu. Mereka sekarang pasti sudah mulai kesulitan mendapat bahan makanan.
Setelah keuar dri desa Welasti, Wuri harus segera mendapakan pekerjaan. Bekerja sebagai tenaga pengabdi dari Departemen Sosial, tidak cukup lagi untuk hidupnya sekarang. Banyak nyawa yang kebutuhannya tergantung Wuri. Nyawa-nyawa yang semakin hari semakin besar dan menuntut lebih banyak biaya.
"Tuan Sander pasti menepati janjinya untuk mengantar Non Wuri. Apa Non Wuri takut pada Tuan Sander?"
"Takut? Hmm … sedikit sih. Dia itu seperti pria yang berbahaya dan mata keranjang. Dia itu pria cabul."
Bu Yati tertawa mendengar pendapat Wuri tentang Sander.
"Sebenarnya itu bukan sikap asli Tuan Sander, Non. Dia itu adalah pria yang baik. Saya mengenal Tuan Sander sejak beliau masih muda. Dulu saya bekerja di rumah Ibu Tuan Sander. Awalnya keluarga itu adalah keluarga yang sangat bahagia."
Wuri mulai tertarik dengan apa yang akan Bu Yati sampaikan.
"Awalnya? Kenapa begitu, Bu?"
"Iya Non, karena setelah ayah Tuan Sander meninggalkan rumah, semuanya berubah. Nyonya besar yang semula seorang yang sangat lembut dan penuh kasih sayang berubah menjadi pendiam."
"Kemana ayah Sander, Bu?"
"Tidak ada yang tahu Non. Saya hanya mendengar sekilas pertengkaran Tuan dan Nyonya tentang adanya orang ketiga. Padahal sebelumnya keluarga mereka sangat harmonis. Tuan adalah seorang pria keturunan Jerman yang tampan. Nyonya adalah wanita dari salah satu keraton di Yogyakarta. Mereka bertemu ketika sama-sama belajar di Belanda."
"Aww … kisah cinta yang sangat romantis ya Bu."
"Iya Non, romantis tapi berakhir tragis. Ya begitulah kalau manusia tidak setia dengan hatinya."
"Benar … Lalu di mana Ibu Sander sekarang?"
"Saya tidak tahu Non. Setelah Tuan Besar meninggalkan rumah, seorang adik lelaki Tuan Sander berangkat ke Jerman untuk bekerja dan satu adik wanita Tuan Sander ikut Nyonya tinggal di sebuah apartemen. Nyonya tidak ingin lagi tinggal di rumah besar yang menyimpan banyak kenangan."
"Owh sedih sekali ya Bu, pasti ibu Sander sangat terluka oleh kejadian itu."
"Iyalah Non, menikah selama delapan belas tahun dan berakhir seperti bencana. Nyonya itu sebenarnya seorang dokter. Tapi, demi menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarga, Nyonya bahkan meninggalkan semuanya."
"Lalu kenapa Sander memilih tinggal di rumah ini dan bukan bersama ibunya, Bu?"
"Tuan Sander selalu mengatakan bahwa apartment bukanlah sebuah rumah. Dia ingin memiliki sebuah rumah, tempat di mana keluarganya akan pulang suatu hari nanti. Sewaktu tinggal di rumah bersama Tuan dan Nyonya, Tuan Sander adalah sosok yang sangat ceria. Dia selalu ramah menyapa para pekerja yang ada di dalam rumah."
"Benarkah? Lalu kenapa Sander sekarang begitu banyak berubah?"
"Waktu keluar dari rumah dan tinggal di rumah ini, Tuan Sander baru saja lulus kuliah. Dia mendapat pekerjaan yang bagus. Setelah menjual rumah yang lama, dia membeli rumah ini dan tinggal di sini. Saya ikut pindah ke rumah ini atas permintaan Tuan Sander. Sosok Tuan yang semula pemurung berubah menjadi ceria karena Tuan ternyata jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Arinda. Nah … Tuan membeli rumah ini untuk sebagai salah satu rencananya menikah dengan Nona Arinda. Saya pernah sekali bertemu dengan Nona Arinda. Dia sangat cantik."
"Selera Sander soal wanita memang tidak perlu diragukan lagi." Wuri tersenyum sinis menanggapi penjelasan Bu Yati.
"Tapi, setelah itu saya tidak pernah lagi melihat Nona Arinda. Beberapa bulan setelahnya, Tuan Sander kembali menjadi seorang yang pemurung. Bahkan lebih parah, Tuan menjadi seorang yang pemarah."
"Pemarah sama Bu Yati juga?"
Pembantu Sander itu menggeleng, "Dia tidak pernah marah pada kami. Cuma Bibi sering lihat tuh kalau Tuan Sander terima telepon pasti marah-marah. Padahal aslinya orangnya tuh baik lho Non."
"Hmm … Ibu Sander sering datang, Bu?"
"Jarang Non, beberapa bulan sekali saja. Non Wuri kenapa sih nggak mau panggil Bibi dengan sebutan Bibi aja?"
Wuri tersenyum ramah pada pembantu setengah baya yang ada di hadapannya.
"Saya kan bukan majikan Bu Yati. Lagi pula saya nggak suka dianggap sebagai bos atau atasan. Ah, gimana ya … saya ini hanya orang biasa Bu. Nggak usah pakai Non, panggil nama saja nggak apa juga kok."
Bu Yati melihat kagum pada sosok Wuri. Gadis itu terlihat cerdas, sederhana dan baik.
"Nggak ah Non, nanti kalau Non jadi istri Tuan Sander malah saya harus panggil Nyonya."
"Hah?! Jadi istri? Bu Yati ini bicara apa? Saya dan Sander itu tidak punya hubungan apa-apa. Teman pun bukan. Saya ada di rumah ini hanya singgah dan seharusnya saya sudah pergi sejak kemarin."
"Tapi, Non Wuri kelihatan cocok sama Tuan. Selama ada Non Wuri, Tuan jadi lebih sering ada di rumah."
"Memang sebelumnya gimana?"
"Tuan itu orang yang sangat gila kerja. Kadang dalam seminggu beliau hanya pulang sekali. Mungkin karena sibuk atau karena rumah ini selalu mengingatkannya pada Nona Arinda."
"Sebenarnya apa yang terjadi antara Arinda dan Sander, Bu?"
"Saya nggak tahu Non. Waktu itu pernah saya mendapati Tuan pulang dengan tangan penuh perban dan berdarah. Menurut supir yang menjemput Tuan di rumah sakt, Tuan kecelakaan. Lalu beberapa bagian di tangannya perlu di jahit. Setelah Tuan kembali ke rumah, setiap malam Tuan selalu mabuk dan menyebut-nyebut nama Nona Arinda."
Membayangkan Sander berada dalam kondisi seperti itu, Wuri merasa hatinya turut bersedih. Pria sekuat dan segagah Sander bisa terluka hanya karena cinta. Di balik sikap arogansinya, dia sedang menyembunyikan dirinya yang lemah tanpa cinta.