Dalam perjalanan menuju ke ruangan, Sander melihat Calista duduk gelisah di kursinya. Ruangan itu telah sepi. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Hanya beberapa orang yang masih tertinggal di sana.
Mereka adalah team Sander yang akan menjadi bagian penting dalam penerbitan berita tentang Welasti besok pagi. Ruangan itu tanpa suara. Semua sibuk menunduk dan serius dengan pekerjaan masing-masing di dalam bilik-bilik kerja mereka. Kecuali Calista.
Gadis itu menyandarkan kepala ke punggung kursi. Kedua kakinya masih bersepatu kets diletakkan di atas meja. Sander mendekati kursi Calista. Jurnalis kesayangannya itu sedang memejamkan mata.
Wajah Calista cantik. Meski pun gayanya selalu tomboy. Selain itu, Calista adalah gadis yang cerdas. Saat dia sedang di posisi ini, wajahnya menggemaskan. Calista seperti gadis kecil yang sedang tertidur.
Sander selalu tertarik menggodanya untuk melihat reaksi Calista. Dia berdiri di belakang kursi Calista. Lalu kedua tangannya tiba-tiba menangkup pipi Calista dari arah belakang. Telapak tangannya menekan di sana, sampai mulut Calista membentuk huruf O karena kedua pipinya menekan ke arah bibir.
Seketika dia pun memberontak. Marah dan terkejut, lalu sontak menoleh ke belakang dengan menurunkan kakinya dari meja dan memutar kursinya. Yang dia temukan adalah Sander. Pria itu sedang tersenyum sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Pak Sander! Mengganggu orang sedang santai saja!" Calista menghardik Sander sambil memonyongkan bibir.
Setelah melihat bahwa itu perbuatan Sander, Calista tidak berani memberikan reaksi marah yang sebenarnya. Dia hanya berpura-pura marah. Calista tahu, di antara para Jurnalis Sander, Calista satu-satunya yang tidak bisa Sander sentuh. Ancaman apa pun yang pernah Sander berikan ketika Calista mulai bergabung di Media Terkini tidak membuatnya gentar.
Simbiosis mutualisme antara Sander dan Calista tercipta secara alamiah. Sander membutuhkan Calista sebagai jurnalis yang cerdas. Sementara Calista membutuhkan Sander dan Media terkini. Perusahaan ini, adalah perusahaan media yang sagat berpengaruh di Indonesia. Semua orang yang bekerja di sana dianggap sebagai pekerja berkualitas dan profesioal.
"Kenapa kau malah santai dengan posisi seperti itu? Jika aku tidak menekan pipimu, mungkin kau sudah tertidur pulas sekarang. LIhat! Semua orang sedang sibuk melakukan tugas yang aku berikan."
Calista tersenyum kecil. Tidak mungkin dia tertidur. Dia memejamkan mata untuk mengurangi gelisah yang ada di hatinya.
"Nggaklah Pak. Saya cuma sedang meyakinkan diri sebelum melakukan pekerjaan."
"Ada yang mengganggu pikiranmu? Tentang pekerjaan atau masalah pribadi?"
"Tentang desa Welasti."
Jawaban Calista membuat Sander terdiam. Gadis di hadapannya ini kadang memiliki sudut pandang lain yang tidak bisa dilihatnya. Beberapa kali Calista menyelamatkan Sander dari kesalahan fatal saat akan menayangkan berita.
Dia belum pernah melihat Calista begitu ragu untuk merilis satu berita saja. Sander melihat sekeliling. Semua orang sibuk bekerja. Ruangan yang hening akan membuat suara mereka berdua terdengar jelas keseluruh penjuru ruangan.
"Masuk ke ruanganku!"
Sander lalu berjalan meninggalkan Calista. Gadis itu duduk termenung menatap punggung atasannya. Sulit mengartikan apakah Sander marah atau sedang memberinya kesempatan. Calista meraih laptop tipis yang ada di mejanya. Lalu segera mengikuti Sander.
Di dalam ruangan Sander sudah ada Dalu yang sedang sibuk mengetik di laptop miliknya. Dia bekerja di depan meja Sander. Sambil menunggu Sander kembali ke ruangan dan duduk di kursinya.
"Sudah kau rapikan semua notulen meeting tadi? Segera emailkan ke semua orang ya."
"Ok, Bos! Eh kok tumben lagi genting ngajak meeting pribadi?"
"Dalu, seseorang tinggal di rumahku sekarang."
Dalu yang sedang sibuk membuat jarinya menari di atas keyboard, mendadak berhenti. Dia melihat ke arah Sander. Pandangan bingung dan penuh tanya tentang apa yang baru saja diucapkan sahabatnya.
Baru saja Dalu hendak membuka mulut, Calista masuk ke dalam ruangan. Seperti biasa, tanpa mengetuk pintu.
"Duduk Calista!" Sander memerintahkan sambil matanya menunjuk pada kursi yang ada di sebelah Dalu.
Dalu menahan pertanyaannya di tenggorokan. Sander mungkin tidak ingin masalah pribadinya didengar oleh Calista. Dia akan menanyakan nanti saat gadis ini sudah pergi.
"Apa yang mengganggumu untuk menayangkan berita ini? Menurutku, takut bukan alasanmu kan? Karena kau bahkan berani menayangkan berita kejahatan seorang menteri."
Calista memindahkan laptopnya dari pangkuan dan meletakkan ke atas meja Sander. Dia lalu meletakkan kedua tangannya di meja. Kedua tangan Calista saling menggenggam satu sama lain.
Sander dan Dalu berpandangan. Belum pernah mereka melihat Calista segugup ini.
"Pak, yang paling saya takutkan dari berita ini bukan menteri atau aparat pemerintah yang akan merasa terusik. Tapi, bagaimana nasib warga yang ada di sana? Terutama gadis-gadis yang terlibat dalam berita ini. Itu seperti menunjukkan pada dunia tentang kerusakan mereka."
"Itu saja?" tanya Sander kembali bertanya pada Calista.
"Bukankah salah satu tujuan kta menerbitkan berita itu adalah membuka akses jalan desa. Agar mereka terhubung dengan dunia luar. Tapi jika ternyata, mereka sendiri direndahkan oleh masyarakat, siapa yang akan menerima mereka?"
"Lalu?"
"Gadis-gadis itu perlu masa depan. Mereka perlu diterima dan berhak untuk bahagia. Dalam pernikahan juga cinta dari seorang pria."
Sander mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang dia paham apa yang membuat Calista gelisah. Sudut pandang seorang gadis dan wanita yang tidak mampu dilihat oleh Sander. Begitu besar empati Calista, dia bisa menggambarkan efek lain di luar perhitungan Sander.
"Terima kasih telah memberiku point of view baru. Benar, semua yang kau katakan itu benar. Begini Calista, membuka Welasti akan menjadi pencucian ulang. Awalnya mungkin semua orang akan menganggap rendah warga desa itu. Tapi, seiring waktu dengan kemajuan yang mereka dapat. Juga mereka meninggalkan pekerjaan yang tidak seharusnya, maka Welasti akan kembali bersih."
"Berapa lama Pak? Dan siapa yang akan bertahan? Jika mereka sudah lebih dahulu menyerah? Jika akses menuju desa justru mempermudah bisnis 'hiburan' yang telah ada?"
Calista memberondong Sander dengan pertanyaan. Baru kali ini Calista berani meragukan keputusan Sander. Tujuan awal mereka membuat berita fenomenal untuk menaikkan harga saham Media Terkini justru berubah di tengah. Perubahan itu membawa kegelisahan pada Calista.
"Calista, jika kita tidak membawa perubahan desa itu akan semakin terpuruk. Semua orang terisolasi. Mereka akan percaya bahwa hanya pekerjaan 'hiburan' saja yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak bisa melihat dunia."
Dalu menutup laptopnya dan mendengarkan perdebatan antara Sander dan Calista. Dengan spontan dia menyahut, "Berapa lama?"
Sander melotot ke arah Dalu. Sahabatnya ini seperti berdiri di sisi Calista.
"Tidak ada yang tahu berapa lama. Tapi perubahannya dibawa oleh kita. Alam akan menyeleksi siapa yang bisa melihat kesempatan dan bertahan. Semua itu di luar kuasa kita. Menurutku semua itu lebih baik. Daripada kita harus berdiam diri dan membiarkan desa itu semakin tenggelam dengan menyedihkan."
Sander lalu kembali melihat Calista. Wajah Calista tampak lebih rileks. Ketegangan dan kecemasan di wajahnya menghilang perlahan.
"Kau setuju Calista?"
"Setuju, Pak."
"Efek berita ini akan seperti ledakan besar. Memang ledakan besar itu yang kita butuhkan untuk menghancurkan sebuah dinding penghalang."