Wajah tampan Sander terbingkai kaca mata hitam terlihat gagah dengan di antara siluet matahari siang yang mulai terik. Sementara Wuri yang sejak tadi duduk di samping kemudia hanya diam seribu bahasa. Sesekali Ratna yang duduk di belakang mencuri pandang pada pria tampan yang ada di hadapannya.
"Ratna, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar Sander memecah keheningan. Matanya terus nyalang mengawasi jalan yang banyak berlubang.
Jalan menuju desa Welasti memang hampir seluruhnya tidak beraspal. Bagi orang yang tidak biasa melewatinya tentulah tidak mudah. Belum lagi beberapa lubang yang menghadang. Namun Sander dengan lincah mengemudikan mobil jeep yang mereka naiki.
"Tentu Tuan, anda punya hak lebih dari sekedar bertanya." Ucap Ratna menggoda.
Kata-kata Ratna sontak membuat Wuri yang duduk di depan tersenyum sinis. Sementara Sander melirik lucu pada gadis yang ada di sampingnya itu. Jelas terlihat bahwa Wuri sangat kesal dengan perkataan genit Ratna.
"Apa cita-citamu?" tanya Sander lagi.
Senyum lucu yang semula menghias wajah Ratna mendadak sirna. Berganti dengan kesedihan yang mendalam.
"Cita-cita? Untuk apa Tuan pertanyakan itu?"
"Apa aku salah? Bukankah wajar untuk gadis seusia dirimu memiliki cita-cita?"
"Te-tentu saja aku punya cita-cita sejak kecil dan masih kubawa hingga sekarang. Tapi sejak ayahku pergi, aku belajar untuk melupakan cita-citaku dan berhadapan dengan dunia nyata."
"Dunia nyata? Seperti apa dunia dalam pengelihatanmu sekarang?"
"Bahwa dunia hanya mengenal satu kata yaitu uang. Dengan uang kau bisa mendapatkan dan melakukan segalanya."
Wajah penuh kemenangan menghias raut Sander saat dia melirik ke arah Wuri. Seolah kata-kata Ratna mengkonfirmasi ulang apa yang sebelumnya dia katakan kepada Wuri.
"Baiklah, sekarang katakan padaku, apa cita-cita dan mimpi terbesarmu?"
"Aku ingin menjadi seorang pramugari. Aku bisa terbang tinggi dengan pesawat bagusdan pergi ke banyak negara tanpa perlu membayar. Bukankah itu menyenangkan?"
"Ya, sebuah cita-cita yang menarik. Apa kau masih ingin mewujudkannya?"
"Bagaimana aku harus mewujudkannya, Tuan? keluargaku lebih membutuhkan aku untuk menghasilkan uang sekarang."
"Apa aku bertanya padamu cara mewujudkannya?" tanya Sander dingin.
"Maksud anda, Tuan?"
"Aku hanya bertanya apakah kau masih ingin mewujudkan cita-citamu itu?"
"Ya, aku masih ingin. Dan aku sangat berharap kesempatan itu akan datang entah bagaimana caranya."
Mobil jeep yang mereka naiki mulai memasuki kawasa desa Welasti dengan hamparan sawah yang menghijau juga beberapa petani yang sibuk di tengah sawah. Mereka pun masuk ke halaman rumah Ganda, ketiganya turun dari mobil jeep tinggi.
Di halaman rumah itu, Ganda sudah berdiri menyambut mereka bersama Darmin dan seorang pria tegap lainnya.
"Selamat datang kembali Tuan Sander." Sambut Ganda ramah.
"Terima kasih. Aku akan kembali menempati rumah yang sebelumnya kusewa. Ratna akan kembali ke rumah, Wuri akan mengatarnya."
"Anda ingin saya mengirim gadis lain?"
"Tidak, aku tidak ingin kau mengirim siapa pun. Aku akan tinggal di sini untuk beristirahat selam dua hari. Setelah itu aku akan kembali ke Jakarta."
"Baiklah, Tuan."
Wuri menggandeng Ratna dan mengajak gadis itu segera beranjak meninggalkan halaman rumah Ganda. Semua orang menatap dalam diam kepergian mereka sampai bayangan keduanya menghilang di ujung jalan.
Tiba-tiba senyum licik muncul di wajah Sander.
"Ganda, kau ingin uang lagi?"
Mendengar kata uang, wajah Ganda pun terlihat berbinar.
"Anda akan memperpanjang tinggal di desa kami?" ujarnya sumringah.
"Tidak, tapi aku bisa memberimu lima puluh juta jika … kau bisa membawa Wuri untuk tinggal bersamaku selama dua hari."
Ganda beserta dua asistennya saling berpandangan.
"Tidak mungkin Tuan. Wuri bukan gadis yang sama seperti Ratna. Kami bahwa tidak berani mengusiknya. Dia sangat kami butuhkan."
Sander mengangkat bahu dan sambil berlalu menuju rumah yang biasa dia tempati, "semua terserah padamu. Aku hanya akan memberikan uang untuk apa yang ingin aku dapatkan."
Sambil menatap geram dan mengepalkan tangan, Ganda melihat ke arah di mana Sander masuk dan menutup pintu.
"Bawa Wuri malam ini ke rumah Tuan Sander!" perintah Ganda pada dua asistennya.
"Tapi Pak, jika terjadi sesuatu pada Wuri, siapa yang akan menolong jika,…." Tampak segan Darmin mengutarakan alasannya.
"Kita punya Mak Inah, meskipun dia tidak secanggih bidan jaman sekarang tapi Mak Inah punya keahlian. Hal baik lainnya adalah, Mak Inah akan selalu menuruti perintah kita. berbeda dengan gadis itu yang selalu membangkang."
Kedua asisten Ganda itu pun mengangguk setuju. Sore hari keduanya mendatangi rumah di mana Wuri tinggal seorang diri. Setelah beberapa kali mengetk dengan kasar, Wuri pun membuka pintu.
"Darmin? Ada apa?"
"Pak Ganda memanggilmu."
"Memanggilku? Seingatku tidak ada yang akan melahirkan dalam waktu dekat ini. Untuk apa Pak Ganda memanggilku?"
"Kau ini terlalu banyak bertanya Wuri, sudah cepat saja datang!" gertak Darmin.
Sejenak Wuri memandang kedua asisten Ganda itu dengan penuh rasa curiga.
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku dulu."
"Kau tidak perlu membawa peralatan bidanmu!" sekali lagi Darmin berkata kasar pada Wuri.
"Hmm … baiklah!" ujar Wuri masih penuh nada segan.
Dengan segera Wuri mengambil tas dan ponselnya. Lalu setelah mengunci pintu dia mengikuti kedua asisten Ganda. Menuju rumah kepala desa Welasti.
Mendengar langkah kedatangan Darmin dan Wuri, Ganda yang semula duduk di teras segera datang menghampiri. Kali ini wajahnya sumringah dan tampak ramah. Membuat kecurigaan di hati Wuri kian menjadi.
"Selamat datang Wuri, terima kasih kau sudah mau memenuhi panggilanku."
"Segera katakan apa yang anda mau. Saya masih merasa lelah setelah hampir satu minggu menjaga Ratna di rumah sakit."
"Baiklah Wuri, Tuan Sander ingin bertemu denganmu."
"Sander? Ingin bertemu denganku? Aku baru bertemu dengannya tadi siang. Kami bersama dalam perjalanan dari rumah sakit menuju desa. Untuk apa Sander memanggilku?"
"Kau bisa tanyakan langsung padanya," ujar Ganda sambil mengamit lengat Wuri berjalan menuju rumah yang Sander tempati.
Beberapa kali Ganda mengetuk pintu namun tidak juga Sander membukanya. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu rumah yang Sander tempati. Terdengar suara deburan air dari kamar mandi.
"Wuri kau duduklah dulu. Sepertinya Tuan Sander sedang mandi."
"Untuk apa aku harus menunggunya? Kenapa dia membutuhkanku?"
"Kau bisa tanyakan ketika bertemu dengannya nanti."
Ganda keluar dari rumah yang Sander tempati dan menutup pintunya. Wuri yang merasa sangat lelah dan mengantuk itu pun meletakkan kepalanya di meja. Tak lama, gadis itu pun tertidur nyenyak.
Saat Sander keluar dari kamar mandi, dia terkejut melihat seoang gadis tertidur dengan kepala di meja. Gadis itu tampak nyenyak, dengan sebagian rambut menutupi wajah.
Sander pun menyibak rambut gadis itu untuk melihat wajahnya. Tiba-tiba mata gadis itu terbuka dan mereka pun beradu pandang.