Chereads / Vivianne's Scandal / Chapter 12 - Keinginan Terakhir

Chapter 12 - Keinginan Terakhir

"Itu, itu! Kau tidak lihat yang di sana itu masih kotor sekali, hah? Itu kotor, lho! Bagaimana bisa kau melewatinya begitu saja, hah?"

Vivi yang sedang menyapu lantai menghentikan kegiatannya saat mendengar perkataan dengan nada menyebalkan yang Eric ucapkan padanya. Bukan hanya perkataannya, gerakan Eric yang menunjuk-nunjuk lantai dengan kakinya itu juga terlihat sangat menyebalkan.

"Apa? Kenapa menatapku seperti itu?" Eric bertanya dengan nada menantang sambil mengupas kuaci yang kemudian kulitnya ia buang dengan santainya di lantai yang baru Viovi sapu.

"Kau tidak mau menyapunya? Kau ini pelayan, lho! Memang harus bersih-bersih begini. Atau sekarang kau sudah ingat jika kau ini aktris terkenal hingga tidak mau bersih-bersih lagi, hah?"

Vivi menggertakkan giginya untuk menahan emosinya mendengar apa yang Eric ucapkan padanya. Namun sebagai seorang aktris profesional ia tentu tahu bagaimana caranya menyembunyikan emosi karena kemudian dengan wajah polosnya ia berkata, "Aku tidak mengerti apa yang Tuan katakan. Siapa yang aktris?"

"Kalau tidak mengerti ya sudah." Eric kembali ebrkata dengan nada yang menyebalkan sambil menepuk-nepuk kedua tangannya di atas lantai untuk membersihkannya dari kotoran kulit kuaci, membuat Vivi menggenggam sapunya dengan erat melihat tingkah pria itu yang seperti sengaja ingin memancing emosinya.

"Apa yang kau lihat? Cepat sapu!" perintah Eric yang membuat Vivi memejamkan kedua matanya, menekan emosinya dengan menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.

Padahal Vivi harus menekan rasa sakitnya demi bisa kembali ke tempat Eric, berharap pria itu bisa menjadi penghibur dari rasa sakitnya namun kini justru bertindak sangat menyebalkan dengan memperlakukannya seperti pelayan sungguhan.

"Itu! Sapu yang di sana sampai bersih!" Eric kembali memberi perintah dengan menggunakan kakinya untuk menunjuk lantai. "Harus bersih, lho! Kau bekerja pada orang terkenal, jadi harus bekerja dengan serius agar tidak membuatku malu!"

"Baik, Tuan. Aku akan menyapu semuanya sampai benar-benar bersih," kata Vivi dan membawa sapunya ke arah yang Eric tunjuk dengan kakinya untuk membersihkannya.

"Padahal aku berharap dia akan menendangku atau memukuliku dengan sapunya. Tapi apa-apaan itu? Kenapa dia jadi sangat penurut begitu?" gerutu Eric sambil kembali mengotori lantai yang baru Vivi sapu itu dengan kulit kuacinya yang dibuang sembarangan.

"Itu bagus. Aku memang berniat untuk melampiaskan kekesalanku padanya. Aku benar-benar akan menjadikannya sebagai pelayan hari ini!" batin Eric sambil bangkit dari duduknya untuk menghampiri Vivi yang sedang menyapu lantai.

"Menyebalkan sekali!" Sementara itu, Vivi yang sedang menyapu itu juga tengah menggerutu di dalam hatinya. "Aku sengaja datang ke sini untuk mengalihkan perhatian dari sakitku. Tapi kenapa Pak Tua bodoh itu malah benar-benar menjadikanku sebagai pelayannya?"

Vivi terus menggerutu sampai ia menyadari jika seseorang sedang mendekat padanya. Wanita itu mengangkat kepalanya dan kedua matanya langsung membulat saat melihat Eric yang menghampirinya dengan kedua mata pria itu yang menatap tajam padanya.

"Tu-Tuan..." Vivi melangkah mundur saat melihat Eric menarik lepas kaos yang dikenakannya hingga kini tubuh bagian atas pria itu yang yang seperti dipahat enam kotak sempurna yang menghiasi perutnya terpampang di depan matanya.

"Tuan mau apa?" tanya Vivi sementara kedua tangannya menggenggam erat gagang sapu dengan gugup saat tiba-tiba dirinya teringat pada salah satu adegan antara Hana dan Aiden yang mirip dengan apa yang saat terjadi saat ini.

Dalam adegan tersebut, Hana sedang melakukan tugasnya sebagai pelayan yang membersihkan rumah Aiden saat tiba-tiba pria itu menghampirinya, melepas pakaiannya, kemudian melakukan‒

"Cuci baju sana!"

Vivi mengerjapkan kedua matanya dengan terkejut saat tiba-tiba sebuah kaos dilemparkan ke wajahnya, membuat tangan kanannya dengan refleks langsung menangkap kaos tersebut.

"Aku mau tidur siang. Sampai jam berapa pun aku tidurm jangan pernah berpikir untuk mengganggu atau memperingatkanku!" ujar Eric seraya melangkahkan kakinya menuju kamarnya.

"Cuci... Cuci baju...," gumam Vivi. "Kupikir mau apa, ternyata... Cuci baju. Ini benar-benar cuci baju."

***

"Aku bahkan tidak pernah mencuci pakaianku sendiri, berani sekali dia menyuruhku mencuci bajunya!"

Di dalam kamar mandi, sambil menggerutu kesal Vivi menginjak-injak pakaian milik Eric yang ada di dalam bak cuci besar berisi penuh sabun‒yang baknya terlalu besar dan sabunnya terlalu banyak untuk mencuci satu kaos saja.

"Dia terus menyuruhku melakukan ini-itu! Kenapa dia jadi lebih menyebalkan dari Aiden yang ada di film? Tidak, Aiden bahkan tidak pernah menyebalkan seperti ini! Dia itu meniru siapa sih padahal sudah kusuruh untuk jadi Aiden!"

Semakin panjang gerutuannya, semakin kuat injakan Vivi pada cucian bajunya. Namun kemudian gerakannya melemah saat ia teringat dengan alasannya berada di tempat ini dan berpura-pura menderita alzheimer hanya agar bisa menghabiskan sisa hidupnya di sisi Eric.

Semuanya berawal dari dua tahun yang lalu. Sebuah tumor tumbuh di dalam otaknya dan Lucas yang merupakan dokter pribadinya telah menyiapkan serangkaian perawatan untuknya. Namun saat itu ia justru melakukan sesuatu yang menjadi penyesalan terbesarnya hari ini.

Vivi mengabaikan saran Lucas untuk segera melakukan perawatan karena tumornya masih kecil dan ia sedang berada di puncak karirnya dengan proyek-proyek besar yang tidak bisa diitinggalkannya. Ia menjadi semakin populer dan mendapatkan harta yang berlimpah berkat pilihannya saat itu yang lebih mementingkan semua itu, namun kini semuanya sudah tidak berarti lagi saat Lucas bahkan sudah angkat tangan dan mengatakan jika tumornya sudah tidak bisa disembuhkan lagi karena terlanjur menyebar ke tubuhnya yang lain.

Jadi yang bisa Vivi lakukan saat ini adalah mengisi waktu yang tersisa dalam hidupnya yang entah sampai kapan itu dengan berada di sisi pria yang selama 5 tahun terakhir terus ia cintai diam-diam. Meski dengan cara yang pengecut, namun Vivi sadar jika berpura-pura menjadi Hana adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk bisa menunjukkan perasaannya pada Eric tanpa perlu mengkhawatirkan penolakan dari ppria itu.

"Padahal kuharap dia mau sekali lagi memerankan karakter Aiden dan membalas cintaku seperti yang ada di film. Tapi mengapa dia justru memperlakukanku seperti pelayannya sungguhan?" gerutu Vivi sambil menginjak-injak cuciannya dengan kasar.

"Kau bodoh, Eric! Aku sedang sekarat di sini dan tidak tahu kapan akan mati! Bahkan meski hanya akting, aku ingin merasakan dicintai olehmu sebelum mati! Tapi kenapa kau malah memperlakukanku sebagai pelayan sungguhan?"

Vivi sadar semakin banyak dirinya mengeluh hatinya jadi semakin terasa sakit. Dan rasanya jadi semakin sakit saat ia menyesali perasaan sepihak yang selama bertahun-tahun tidak pernah berani ia tunjukkan pada Eric.

"Aku yang bodoh," lirih Vivi. "Aku yang bodoh karena sudah jatuh cinta pada Pak Tua itu! Padahal ada banyak pria yang jauh lebih hebat yang jatuh cinta padaku, tapi kenapa aku justru jadi sebodoh ini untuk membiarkan hatiku jatuh pada seseorang yang bahkan tidak pernah menganggapku sebagai seorang wanita?"

**To Be Continued**