Chereads / Vivianne's Scandal / Chapter 13 - Pria Tidak Peka

Chapter 13 - Pria Tidak Peka

"Cih! Pangeran?" Vivi menatap wajah tidur Eric dengan pandangan jijik. "Mana ada pangeran yang tidurnya ngiler dan mendengkur begini?"

Ini sudah waktunya makan malam dan Vivi telah menyiapkan makanan untuk dirinya dan Eric. Bahkan meski Eric dengan sangat jelas melarang Vivi untuk membangunkannya, namun Vivi yang sudah sangat lapar ini tidak bisa menunggu lebih lama hingga memutuskan untuk membangunkanpria itu.

"Dia kelihatan seperti manusia biasa jika seperti ini," gumam Vivi sambil memanjangkan ujung lengan pakaiannya dan menggunakannya untuk dengan hati-hatti menyeka air liur di sekitar mulut Eric yang terbuka dan mengeluarkan suara dengkuran. Membuat sepasang bibirnya tanpa sadar membentuk senyuman saat ia melakukan hal tersebut.

"Bagaimana bisa aku berrakhir jattuh cinta pada pria seperti ini?" batin Vivi sambil terus menatap wajah Eric dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. "Dia menyebalkan dan kekanakan. Kenapa juga aku sampaii tergila-gila pada pria seperti ini?"

Itu masih misteri. Bahkan meski telah memendam perasaannya selama bertahun-tahun, sampai saat ini Vivi masih tidak tahu alasan sebenarnya yang membuatnya jatuh cinta pada Eric.

Yang bisa Vivi ingat adalah perasaannya mulai tumbuh pada Eric saat mereka mendappat pekerjaam bersama untuk yang pertama kalinya sekitar 5 tahun yang lalu.

Sebelum terlibat dalam proyek tersebut, Vivi dan Eric beberapa kali bertemu dalam acara penghargaan, acara varriety show, atau dalam pesta yang mengundang keduanya. Vivi merasa tidak ada yang istimewa pada diri Eric, hanya pria tampan yang kaya dan populer seperti para aktor yang ada di sekitarnya. Sampai kemudian ia memulai proyek film pertamanya dengan Eric dan mengetahui sisi lain yang selama ini tidak pernah ia tahu.

Bukan hanya aktor sempurna seperti yang selama ini terlihat di layar kaca, Vivi melihat bagaimana Eric bekerja sangat keras sampai kelelahan dan jatuh sakit. Ia melihat bagaimana pria itu makan dengan lahap setelah menunda makan seharian karena fokus pada pekerjaannya atau bagaimana pria itu tidur sangat nyenyak sampai mendengkur dan ngiler saking lelahnya.

Kadang Vivi melihat Eric berinteraksi dengan sangat ceria di hadapan para penggemarr yang datang ke lokasi syuting untuk menyemangatinya.

Namun di lain waktu ia akan melihat pria itu duduk termangu seorang diri seolah menjadi orang paling kesepian yang hidupnya hampa.

Vivi tidak sadar sejak kapan dirinya jadi sering memperhatikan Eric, namun saat menyadarinya ia tahu jika ia telah menempatkan Eric di tempat yang paling spesial di dalam hatinya. Sampai saat ini, meski cintanya hanya perasaan rahasia yang bertepuk sebelah tangan.

"Eungh..."

Vivi buru-buru menegakkan tubuhnya saat melihat Eric menggeliatkan tubuhnya. Ia menunggu sampai pria itu benar-benar bangun dan membuka matanya sebelum menyapanya. "Selamat malam, Tuan. Aku sudah‒"

"Kyaaa!"

Eric tidak menunggu sampai Vivi menyelesaikan ucapannya untuk langsung membungkam wanita itu dengan suara teriakannya yang membahana. Dengan kedua mata melotot pada Vivi, pria itu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

"Apa? Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Eric dengan tangan kirinya yang menahan selimut di dadanya sementara tangan kanannnya meraba-raba mulutnya yang kemudian membuatnya bersyukur saat tidak menemukan jejak air liur di sana‒sama sekali tidak sadar jika sebelumnya Vivi telah membersihkan air liurnya yang sangat banyak.

"Aku sudah menyiapkan malam," kata Vivi.

"Kan tidak kusuruh!" sengit Eric.

"Aku tetap akan melakukannya meski tidak disuruh. Itu sudah tugasku sebagai pelayanmu, Tuan."

"Kau ini Hana atau Bibi Vivi, uh? Jika keras kepala begini kau jadi mirip dengan Bibi Vivi, tahu!" sungut Eric seraya beranjak meningnggalkan kamarnya dengan Vivi yang mengekor di belakangnya.

"Memangnya kau menyiapkan apa untuk makan malam, hah? Kau tahu sendiri kan masakanmu itu tidak bisa dimakan. Kenapa juga kau harus memaksakan diri untuk memasak padahal... Oh?"

Eric yang sebelumnya mengomel menghentikan ucapannya saat melihat deretan makanan yang memenuhi meja makannya. Makanan yang kelihatan seperti hidangan dari restoran bintang lima, yang kemudian membuatnya menatap Vivi dengan kedua mata memicing curiga.

"Tidak mungkin masakanmu, kan? Kau beli, kan? Iya, kan?" tanya Eric dengan nada menuduh.

"Tapi aku masak nasinya sendiri," kata Vivi yang membuat Eric mendecakkan lidahnya.

"Untuk apa juga kau membelikanku makanan dari restoran begini? Jika memang ingin makan di restoran, aku bisa pergi dan memilih sendiri ke restoran mana aku akan makan."

"Jika pergi langsung ke restorannya kita tidak bisa datang bersama dan makan bersama. Karena itu aku memesan makanan dari restoran agar kita bisa memakannya bersama," jelas Vivi yang membuat Eric mengerutkan keningnya dengan ekspresi tidak senang.

"Duduklah, Tuan. Aku akan menyediakan makanannya untukmu," kata Vivi seraya mulai mengisi piring dengan nasi dan lauk.

Kemudian dengan nada yang terdengar sangat bangga, sambil meletakkan piring ddi hadapan Eric, Vivi berkata, "Makan nasinya yang banyak, Tuan. Aku yang memasaknya sendiri."

"Kau masak nasi atau bubur? Ini airnya kebanyakan, lho. Nasinya becek, lho," kata Eric sambil mngorek-ngorek nasi di piringnya dengan sendok. "Kau benar-benar tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan benar, ya?"

Senyuman di wajah Vivi perlahan memudar. Padahal ia sudah berusaha keras untuk bersabar dengan sikap Eric, namun pria itu seolah sengaja ingin menguji kesabarannya dengan terus bersikap menyebalkan seperti ini.

Vivi membuka mulutnya, sudah hampir berteriak di deppan muka Eric untuk meluapkan kekesalannya saat ingat jika saat ini dirinya adalah Hana yang mencintai Eric lebih dari apapun. Karena itu ia menghela napas panjang untuk menekan emosinya sebelum kembali tersenyum pada Eric.

"Itu tetap enak, kok. Coba saja. Pasti enak."

"Aku mau makan di luar saja," kata Eric yang kembali menghapus senyuman di wajah Vivi.

"Aku bisa masak nasinya lagi jika Tuan tidak bisa makan yang ini," bujuk Vivi.

"Tidak, tidak usah. Aku memang ingin makan di luar," tolak Eric seraya bangkit dari duduknya.

"Lalu bagaimana dengan semua makanan ini?" tanya Vivvi dengan nada sedih.

Eric menatap makanan yang sudah tersaji di atas meja makan sebelum menatap Vivi sambil menggedikkan bahunya. "Kau saja yang makan. Kau bilang nasi buatanmu enak, kan? Jadi makanlah yang banyak, Bibi Vivi."

Vivi menatap punggung Eric yang meninggalkannya tanpa sedikit pun menoleh lagi padanya. Beberapa saat kemudian ia mendengar bunyi pintu yang tertutup, yang artinya Eric benar-benar telah meninggalkannya dan semua makanan yang sudah ia siapkan ini untuk makan sendiri di luar.

"Padahal aku melakukan semua ini karena aku tidak ingin melalui hari-hari terakhirku seorang diri," lirih Vivi. Dadanya jadi terasa sangat sesak saat ia menatap deretan makanan yang memenuhi meja makan yang sama sekali belum dimakan itu.

"Tapi kenapa aku justru jatuh cinta pada pria yang tidak peka dan hanya selalu membuatku merasa kesepian seperti ini? Kenapa aku tidak jatuh cinta pada pria lain yang bisa menghargaiku saja?"

**To Be Continued**