"Apa yang kau lakukan di sini?"
Lucas bertanya dengan kaget. Tentu saja sangat kaget karena saat pulang ke rumahnya ia mendapati Vivi duduk berjongkok di depan pintunya.
"Kenapa pulangnya malam sekali?" Bukannya menjawab pertanyaan dokter pribadinya itu, Vivi justru balik bertanya dengan nada kesal. "Ini sudah hampir jam 9! Bukankah klinikmu tutup jam 6? Apa yang kau lakukan sampai selarut ini baru pulang?"
Lucas memasukkan kunci rumahnya sambil menatap Vivi dengan sebelah alis terangkat. "Kau mabuk, ya? Kenapa malam-malam datang ke rumahku dan mengomel begini?" tanya Lucas, sebelum kemudian menunjuk Vivi yang hendak masuk ke dalam rumahnya sambil berkata, "Jam praktekku sudah habis. Ini waktunya aku beristirahat sekarang."
"Aku tidak datang untuk menemui Dokter Lucas," kata Vivi yang membuat Lucas menatapnya dengan bingung.
Tapi kemudian dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, Vivi mengangkat tas berisi makanan yang dibawanya sambil berkata, "Aku datang untuk makan malam bersama temanku, Lucas. Jadi aku boleh masuk kan sekarang?"
***
"Dia sudah pergi?"
Eric berdiri di ambang pintu kamar yang selama ini Vivi gunakan saat menginap di apartemennya. Kamar itu kosong dan jaket yang Vivi gunakan saat datang tadi juga tidak ada. Begitu juga dengan tas dan sepatunya.
"Bibi itu pikir rumahku ini apa, hah? Seenaknya saja dia datang dan pergi begini!" gerutu Eric sambil berjalan menuju pintu apartemennya. "Lihat saja, akan kuganti sandinya agar ddia tidak bisa masuk seenaknya lagi!"
Eric cukup menekan enter saja untuk mengubah nomor sandi rumahnya dengan yang baru saat tiba-tiba wajah sedih Vivi terbayang olehnya. Tidak, itu bukan ekspresi sedih milik Vivi melainkan wajah sedih Hana yang paling mencintai Aiden. Namun saat mengingat wajah sedih itu...
"Ah, apa yang kupikirkan! Biarkan saja! Dia bukan Hana! Dia itu Bibi Vivi! Dia bukan pelayan yang menyedihkan, tapi bibi-bibi yang kaya raya! Aku tidak perlu merasa kasihan padanya!"
Eric menekan enter dengan kasar sebelum berbalik pergi. Namun baru beberapa langkah saja, bayangan wajah sedih kembali menghantuinya dan membuatnya mengacak-acak rambutnya dengan gusar sebelum berbalik untuk kembali mengganti sandi pintunya ke sandi lama yang ddiketahui Vivi.
"Tapi... Kenapa aku harus peduli?"
Dan lagi-lagi, Eric dibuat bimbang saat dirinya hanya perlu menekan enter untuk mengubah sandi.
"Memangnya kenapa jika dia sedih? Kenapa jika dia sakit? Kenapa aku harus peduli? Kami hanya rekan kerja dan bahkan aku sudah memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan proyek apapun bersamanya lagi. Jadi kami sudah putus hubungan sekarang. Putus hubungan!"
Eric meyakinkan dirinya untuk menghapus sandi lama yang ingin diubahnya lagi. Namun jadi ragu saat bayangan wajah Vivi muncul di benaknya.
"Bibi sialan itu! Setidaknya bilang jika ingin pergi? Dia pikir aku ini apa?!" Eric berseru dengan marah.
Tapi perlahan, ekspresi kesalnya memudar digantikan dengan wajah yang tampak sedih. "Aku ini apa? Sebenarnya dia anggap aku apa selama ini?"
***
"Aku sudah makan malam dan perutku bisa meledak jika kau terus memaksaku memakan semua ini, Vivi!"
"Tidak apa-apa. Kau pasti bisa. Ayo, semangat! Tinggal sedikit lagi."
Lucas menghela napas panjang sebelum mengangkat sendok ke depan mulutnya. Namun sebelum memasukkan sendok tersebut ke mulutnya, Lucas yang benar-benar sudah tidak sanggup makan lagi kembali meletakkan sendok tersebut di piringnya sambil menggelengkan kepala yang membuat Vivi langsung cemberut padanya.
"Kau mimpi apa sampai datang ke rumahku malam-malam dan membawaku semua makanan ini, hah?" tanya Lucas sebelum mengambil segelas air untuk diminum.
"Aku menyiapkan ini untuk Eric tapi dia pergi begitu saja bahkan sebelum menyentuhnya sedikit pun."
Jawaban Vivi membuat Lucas menghentikan gerakan tangannya sebelum bibirnya berhasil menyentuh gelas. Ia melirik Vivi dari balik gelas dan tanpa sadar tangannya menggenggam gelas tersebut dengan lebih kuat saat melihat raut kesedihan di wajah wanita itu.
"Jadi kau memberiku makanan sisa Eric karena sayang untuk membuangnya?" tanya Lucas seraya meletakkan gelasnya kembali di atas meja tanpa meminum isinya sedikit pun.
"Bukan sisa, kok! Itu masih baru, belum disentuh sama sekali!"
Lucas mendecakkan lidahnya, merasa menyesal karena sempat merasa tersanjung melihat Vivi mendatanginya malam-malam dengan membawa makanan hingga membuatnya rela makan lagi meski sebenarnya perutnya masih terasa penuh karena ia sudah makan malam sebelum pulang ke rumah.
"Sepertinya aku sia-sia saja melakukan ini," kata Vivi. "Eric sama sekali tidak tergerak dengan semua yang kulakukan dan rasanya menyakitkan untuk terus tinggal di sisinya sementara dia selalu memperlakukanku dengan buruk begitu."
"Sudah kubilang itu ide yang sangat buruk, kan?" Seperti yang sudah-sudah, Lucas tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan saat Vivi merasa ragu seperti ini untuk membujuk wanita itu agar menghentikan permainannya. "Sudahi saja semuanya. Berbohong seperti ini bukan hal yang benar untuk dilakukan."
"Tapi hanya itu satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk bisa berada di sisinya."
"Apa kau mau terus jadi pengecut?"
"Memangnya apa salahnya jadi pengecut? Jika itu artinya bisa terus bersama Eric, jadi pengecut pun aku tidak masalah."
Ucapan Vivi membuat Lucas terdiam. Sadar jika bukan hanya Vivi saja yang menjadi pengecut di hadapan orang yang dicintainya karena dirinya juga seperti itu.
Sejak dulu, sejak sepuluh tahun yang lalu, sejak perasaannya tumbuh menjadi cinta yang tidak pernah bisa ia ungkapkan pada Vivi, Lucas terus menjadi pengecut dengan menyembunyikan perasaannya hanya karena ia terlalu takut dengan kemungkinan yang akan terjadi jika dirinya mengungkapkan perasaannya pada wanita itu.
"Lagipula hidupku tidak akan lama lagi dan aku tidak tahu harus melakukan apa dengan sisa hidupku selain memenuhi harapanku untuk bisa terus bersama Eric," kata Vivi.
"Berhentilah bicara seolah kau akan segera meninggal!" Lucas menanggapi ucapan Vivi dengan nada tidak senang.
Namun Vivi justru membalasnya dengan nada yang lebih tajam. "Kau sendiri yang berkata begitu! Kau bilang aku sudah tidak bisa sembuh lagi dan hanya masalah waktu sampai penyakit ini membunuhku, kan?"
"Kenapa kau marah padaku sekarang?"
"Aku tidak marah!"
"Bukan aku yang memberimu penyakit itu!"
"Aku tahu! Aku kan tidak menyalahkanmu untuk hal itu!"
"Kau bicara seperti sedang marah padaku!"
Vivi tidak menyahuti ucapan Lucas lagi dan hanya menghela napas panjang. Namun seperti orang bodoh yang keras kepala ia bertanya, "Apa aku benar-benar tidak bisa disembuhkan lagi? Uangku banyak, tidak apa-apa untuk menghabiskan semuanya selama aku bisa sembuh."
Lucas menatap Vivi dengan sendu seolah ia bisa merasakan keputusasaan wanita itu. Ia tahu Vivi menyesal karena selalu mengentengkan penyakitnya hingga membuatnya berada di tahap yang tidak dapat disembuhkan lagi. Namun Vivi tidak akan pernah tahu jika penyesalan Lucas bahkan jauh lebih besar karena tidak berhasil meyakinkan wanita itu untuk menjalani pengobatan.
"Iya, iya! Tidak bisa, kan? Kalau begitu tidak usah mengomel lagi," ujar Vivi seraya bangkit dari duduknya. "Kalau begitu aku akan kembali ke apartemen Eric sekarang."
"Kau masih akan kembali ke apartemennya?" Lucas bertanya dengan nada protes. "Bukankah kau bilang dia selalu memperlakukanmu dengan buruk? Mengapa kau masih saja keras kepala dan ingin terus kembali padanya?"
"Itu karena aku masih sangat mencintainya bahkan meski dia selalu memperlakukanku dengan buruk," sahut Vivi. Kemudian dengan senyuman kecut menghiasi wajahnya ia menambahkan, "Aku ini benar-benar pengecut yang bodoh, kan?"
Lucas masih terus menatap Vivi, namun tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Karena dibandingkan Vivi, dirinya yang telah memendam perasaan pada wanita itu selama lebih dari 10 tahun ini jauh lebih pengecut dan bodoh.
**To Be Continued**